BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Al-Qur’an
diturunkan untuk membimbing manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang
lurus, menegakkan suatu kehidupan yang
didasarkan kepada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga mengajar
mereka dalam menyikapi sejarah masa lalu, kejadian-kejadian kontemporer dan
tentang berita-berita masa depan.
Sebagian besar
ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya diturunkan untuk tujuan umum ini. Tetapi
kehidupan para sahabat bersama Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka
peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah, atau menghadapi
masalah yang masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada
Rasulullah untuk mengetahui bagaimana hukum Islam dalam hal itu. Maka Al-Qur’an
turun untuk merespon peristiwa khusus tadi atau pertanyaan yang muncul itu.
Hal-hal itu yang disebut asbab an-nuzul.[1]
Ilmu asbab
an-nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya
kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang asbab an-nuzul, bahkan ada
yang menyusunnya secara khusus. Oleh karena pentingnya ilmu asbab an-nuzul
dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapat dikatakan
bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak
mungkin dapat diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu asbab an-nuzul.[2]
Berbicara
tentang ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan sebenarnya terbagi kepada dua
bagian :
1.
yaitu ayat yang diturunkan tanpa didahului oleh sebab khusus
tertentu, dan ini banyak ditemukan didalam Al-Qur’an, seperti ayat-ayat yang
berbicara tentang hukum-hukum dan juga adab berprilaku, yang tujuannya adalah
sebagai petunjuk bagi manusia untuk kebahagian hidup mereka didunia dan di
akhirat.
2.
Adalah ayat-ayat yang diturunkankannya berkaitan dengan sebab
khusus tertentu.
Manakala pengetahuan mengenai asbab an-nuzul
sangat urgen dalam memahami Al-Qur’an, maka sudah seyogyanya kita sebagai kaum
muslim yang mencintai Al-Qur’an dan sebagai pecinta ilmu, mempelajari tentang
disiplin ilmu ini.
1.2.
Perumusan
Masalah
Dari latar belakang yang
di paparkan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah :
1. Apa yang dimaksud dengan asbab an-nuzul dan apa
macam-macamnya
2. Apa urgensi mengetahui asbab an-nuzul dan apa saja
manfaat mengetahuinya
3. Bagaimana metode atau pedoman mengetahui asbab an-nuzul
4. Bagaiman penerapan makna ayat Al-Qur’an apakah berdasarkan lafazh nya secara umum
ataukah berdasrakan sebabnya diturunkan secara khusus
1.3.
Tujuan
Penulisan
Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami
tentang asbab an-nuzul, mengetahui jenis-jenisnya, serta bebarapa kaidah yang
berkaitan dengannya
2. Mengetahui
kedudukan dan peran asbab an-nuzul dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an
1.4.
Metode
Penulisan
Metode penulisan yang diambil
dalam penyelesaian makalah ini adalah studi pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab
an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya
sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu
bisa disebut asbab an-nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan asbab an-nuzul
khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi
turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus di gunakan
bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[3]
Adapun secara
terminologi ada banyak pengertian yang dirumuskan para ulama, diantaranya:
1.
Menurut Az-Zarqani dan Abu Syuhbah :
ما نزلت الآية أو الآيات متحدثة عنه أو مبينة لحكمه أيام وقوعه [4]
Artinya :
“asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat serta ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat Al-Qur’an
sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”
2.
Shubhi Shalih :
ما نزلت الآية أو الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه
زمن وقوعه [5]
Artinya :
“ asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu
atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadangmenyiratkan peristiwa itu sebagai
respon atasnya, atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum saat peristiwa itu
terjadi”
3.
Manna’ Al-Qaththan :
ما نزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة أو سؤال [6]
Artinya:
“Sesuatu yang karenanya Al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas
terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”
4.
Aly As-Shabuni :
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa atau
kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau
kejadian yang berkaitan dengan urusan agama” [7]
2.2
URGENSI MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Mengetahui
asbab an-nuzul adalah sangat urgen dalam upaya mengetahui dan memaham maksud
suatu ayat, hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum.
Adalah tidak
diragukan, bahwa bentuk suatu ayat dan cara pengungkapannya dalam skala besar
sangat terpengaruh oleh sebab turunnya. Istifham (kalimat tanya) umpamanya,
adalah sekedar suatu kalimat, namun ia bisa mempunyai pengertian lain seperti
taqrir (penegasan), nafyi (penafian) dan pengertian-pengertian lainnya. Maksud
dari pengertian tersebut tidak bisa difahami kecuali melalui faktor-faktor
ekstern dan korelasi-korelasi dari kondisi yang ada.[8]
2.3
MANFAAT MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Az-Zarqani
mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul
merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa
mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan kedalam konteks historis adalah
sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang waktu tertentu. Dan keberatan
seperti ini tidaklah berdasar, karena asbab an-nuzul memiliki banyak manfaat :
1.
Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
Diantara contohnya ada dalam surat Al-Baqarah ayat 115
¬!ur
ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4
$yJuZ÷ƒr'sù
(#q—9uqè?
§NsVsù çmô_ur «!$# 4
žcÎ) ©!$# ììÅ™ºur
ÒOŠÎ=tæ
ÇÊÊÎÈ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.”
Dinyatakan bahwa timur dan barat merupakan
kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat zhair ayat diatas,
seseorang boleh menghadap ke arah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Ia
seakan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi
ketika melihat asbab an-nuzulnya, tahapan bahwa interpretasi tersebut keliru.
Sebab ayat diatas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam
perjalanan dan melakukan shalat diatas kendaraan, atauberkaitan dengan ornag
yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.
2.
Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
Umpamanya dalam surat Al-An’am ayat 145 dikatakan:
@è%
Hw
߉É`r&
’Îû
!$tB
zÓÇrré&
¥’n<Î)
$·B§ptèC
4’n?tã
5OÏã$sÛ
ÿ¼çmßJyèôÜtƒ
HwÎ)
br&
šcqä3tƒ
ºptGøŠtB
÷rr&
$YByŠ
%·nqàÿó¡¨B
÷rr&
zNóss9
9ƒÍ”\Åz
¼çm¯RÎ*sù
ê[ô_Í‘
÷rr&
$¸)ó¡Ïù
¨@Ïdé&
ÎŽötóÏ9
«!$#
¾ÏmÎ/
4 Ç`yJsù
§äÜôÊ$#
uŽöxî
8ø$t/
Ÿwur
7Š$tã
¨bÎ*sù
š/u‘
Ö‘qàÿxî
ÒO‹Ïm§‘
ÇÊÍÎÈ
Artinya:
“katakanlah tidak ku dapati didalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang ingin memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai,
darah yang mengalir, daging babi,karena semua itu kotor, atau binatang yang
disembelih bukan atas nama Allah”
Menurut Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat hashr (dugaan
tertentu), untuk mengatasi kemungkinan
adanya keraguan dalam memahami ayat diatas As-Syafi’i menggunakan alat bantu
asbab an-nuzul. Menurutnya ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang
kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan
sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan
apa yang telah diharmkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama
orang Yahudi,maka turunlah ayat diatas.
3.
Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, bagi ulama
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus
(khusus as-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafazh).
Seperti pada ayat “zhihar” dalam permulaan surat Al-Mujadalah yang
turun berkenaan dengan Aus Ibn Samit yang menzhihar istrinya (Khaulah Binti
Hakim Ibn Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zhihar
yang berlaku bagi selain kedua orang itu ditentukan dengan jalan analogi
(qiyas)
4.
Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
Umpamanya, ‘Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abd
Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat “Dan orang
yang mengatakan kepada orang tuanya “cih kamu berdua”.......(Q.S. Al-Ahqaf:17).
Untuk meluruskan persoalan, Aisyah berkata kepada Marwan: “Demi Allah bukan dia
yang menyebabkan ayat ini turun, dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang
yang sebenarnya”.
5.
Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat-ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.[9]
2.4
PEDOMAN MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Untuk
mengetahui asbab an-nuzul secara shahih, para ulama berpegang pada riwayat
shahih yang berasal dari Rasulullah SAW
atau dari sahabat. Sebab, pemberitaan seorang sahabat mengenai hal ini bila
jelas berarti bukan pendapatnya, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan
pada Rasulullah). Menurut Al-Wahidi “tidak diperbolehkan main akal-akalan dalam
asbab an-nuzul Al-Qur’an, kecuali berdasarkan pada riwayat atau mendengar
langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya
dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah
metodologi ulama salaf. Mereka amat berhati-hati mengatakan sesuatu mengenai
asbab an-nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Oleh karena itu yang dapat
dijadikan pegangan dalam asbab an-nuzul adalah riwayat-riwayat dari sahabat
yang bersanad dan secara pasti menunjukkan sebab an-nuzul. Kata As-Suyuthi,
bila ucapan seorang tabi’in itu benar menunjukkan asbab an-nuzul, maka ucapan
itu dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada
tabi’in itu benar dan termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya
dari para sahabat, seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, serta didukung
oleh hadits mursal yang lain. [10]
2.5
MACAM-MACAM ASBAB AN-NUZUL
1.
Di Lihat dari Sudut Pandang Redaksi-redaksi yang Dipergunakan dalam
Riwayat Asbab An-Nuzul
Ada dua jenis
redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul,
yaitu: [11]
a.
Sharih (visionable/jelas), redaksi sharih artinya riwayat yang
sudah jelas menunjukkan asbab An-nuzul, dan tidak mungkin pula menunjukkan yang
lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawi mengatakan:
سبب نزول هذه الآية هذا........
Artinya : “sebab turun ayat ini
adalah.......”
Atau ia
menggunakan kata “maka” (fa ta’qibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa
tertentu, misalnya ia mengatakan:
حدث هذا ...... فنزلت الآية .......
Artinya : “ telah terjadi ...... maka turunlah ayat ......
سئل رسول الله عن كذا ...... فنزلت الآية ......
Artinya : “Rasulullah pernah ditanya tentang ...... maka turunlah
ayat ...... Contoh asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah
riwayat yang dibawakan oleh Jabir bahwa orang-orang Yahudi berkata : “apabila
seorang suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan
juling.” Maka turunlah ayat 223 dari surat Al-Baqarah:
öNä.ät!$|¡ÎS
Ó^öym
öNä3©9
(#qè?ù'sù
öNä3rOöym
4’¯Tr&
÷Läê÷¥Ï©
( (#qãBÏd‰s%ur
ö/ä3Å¡àÿRL{
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
(#þqßJn=ôã$#ur
Nà6¯Rr&
çnqà)»n=•B
3 ÌÏe±o0ur
šúüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËËÌÈ
Artinya
: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman.”
b.
Muhtamilah (kemungkinan),adapun redaksi yang digunakan termasuk
muhtamilah jika perawi mengatakan :
نزلت هذه الآية فى كذا .......
Artinya : “ayat ini turun berkenaan dengan.......
Misalnya
riwayat Ibnu Umar yang menyatakan:
نزلت فى إتيان النساء فى أدبارهن
Artinya : “ayat, istri-istri kalian adalah ibarat tanah tempat
bercocok tanam, turun berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari
belakang (H.R.Bukhari)
Atau perawi pengatakan:
أحسب هذه الآية نزلت فى كذا.......
Artinya : “saya kira ayat ini turun berkenaan dengan......”
Atau
ما أحسب نزلت هذه الآية إلا فى كذا.......
Artinya : “saya tidak mengira ayat ini turun kecuali berkenaan
dengan.....”
|
|




|
|
|
2.
Di Lihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu
Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul
a.
Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud Al-Asbab wa
An-Nazil Wahid)
Pada
kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-nuzul dalam satu
versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-nuzul.
Tentu saja hal itu tidak akan menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak
mengandung kontradiksi. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan
terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbab
an-nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara-cara
berikut [12]:
1.
Tidak mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat=riwayat asbab an-nuzul
ini menggunakan redaksi muhtamilah
(tidak pasti). Misal satu versi menggunakan redaksi “ayat ini diturunkan
berkenaan dengan....., dan versi lain menggunakan redaksi “saya kira ayat ini
diturunkan berkenaan dengan....”
2.
Mengambil versi riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi
sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-nuzul itu
tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Seperti dua riwayat asbab an-nuzul
pada ayat “nisaukum hartsun lakum”,diriwayatkan bahwa Ibnu umar mengatakan
“ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”,sedang
dalam salah satu riwayat Jabir dikatakan “seorang Yahudi mengatakan bahwa
apabila seseorang menyetubuhi istrinya dari belakang, anak yang lahir akan
juling, maka diturunkanlah ayat : “nisaukum hartsun lakum”. Dalam kasus seperti
ini maka riwayat Jabir-lah yang harus dipakai.
3.
Mengambil versi riwayat yang shahih (valid)
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi
sharih, tetapi kualitas salah satunya tidak shahih.
Adapun terhadap
variasi riwayat asbab an-nuzul dalam satu ayat versi berkualitas, para ulama
mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Mengambil versi riwayat yang shahih
Cara ini diambil bila terdapat dua
versi riwayat tentang asba an-nuzul satu ayat, satu versi berkualitas shahih,
sedangkan yang lainnya tidak.
2.
Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua
variasi asbab an-nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya sama-sama shahih
3.
Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua
riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status keshahihan hadis yang
sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih.
Skema Variasi Periwayatan Asbab
An-Nuzul
![]() |


|
|
b.
Variasi Ayat untuk Satu Sebab (ta’addud an-nazil wa as-sabab wahid)
Terkadang suatu
kejadian menjadi sebab turunnya dua ayat atau lebih, hal ini dalam ulum
Al-Qur’an disebut dengan istilah “ta’addud an-nazil wa as-sabab wahid”
(berbilang ayat yang turun sedangkan sebab turunnya satu)[13]
Contohnya , Ummu Salamah berkata: “wahai Rasulullah, saya tidak
pernah mendengar sedikitpun Allah menyebutkan perempuan dalam hijrah”. Maka
Allah SWT menurunkan ayat:
“maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
“sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain, maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang di bunuh,
pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir sungai sungai dibawahnya, sebagai pahala
disisi Allah, dan Allah pada sisinya ada pahala yang baik” (Q.S.Ali Imran:195)
Allah SWT juga menurunkan ayat berikut ini:
“sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.
(Q.S.Al-Ahzab:35)
Dengan
demikian, sebab turunnya ayat tersebut adalah satu, yaitu pertanyaan Ummu
Salamah, sedangkan ayat yang diturunkan lebih dari satu, yaitu dua ayat dari
surat Ali Imran dan Al-Ahzab tersebut diatas.[14]
2.6
PEMBAHASAN SEKITAR PENERAPAN MAKNA AYAT BERDASARKAN LAFAL SECARA
UMUM ATAU SEBAB SECARA KHUSUS
Ada sebuah
persoalan penting dalam pembahasan asbab an-nuzul, misalkan telah terjadi suatu
peristiwa atau ada suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan
penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi
‘aam (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak
terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalannya adalah apakah ayat
tersebut harus dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus
(spesifik) itu. Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah
umum?
Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat:
1.
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan
adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum
al-lafzhi la bi khushus as-sabab). As-Suyuthi memberikan alasan bahwa itulah
yang dilakukan oleh para sahabat lain dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan,
antara lain ketika turun ayat zhihar dalam kasus Salman Ibnu Sakhar, ayat li’an
dalam perkara Hilal Ibnu Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap
‘Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga diterapkan
terhadap peristiwa lain yang serupa.[15]
2.
Zamakhsyari dalam penafsiran surat Al-Humazah mengatakan bahwa
boleh jadi surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang
tercakup didalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat
kejahatan yang disebutkan. Ibn Abbas pun mengatakan bahwa ayat 38 dari surat
Al-Maidah
ä-Í‘$¡¡9$#ur
èps%Í‘$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù
$yJßgtƒÏ‰÷ƒr&
Lä!#t“y_
$yJÎ/
$t7|¡x.
Wx»s3tR
z`ÏiB
«!$#
3 ª!$#ur
͕tã
ÒOŠÅ3ym
Artinya
: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku
pencurian seorang wanita dalam asbab an-nuzul itu.[16]
3.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa banyak ayat yang diturunkan
berkenaan dengan kasus tertentu, bahkam kadang-kadang menunjuk pribadi
seseorang, kemudian difahami sebagai berlaku umum. Mislanya surat Al-Maidah
ayat 49
Èbr&ur
Nä3ôm$#
NæhuZ÷t/
!$yJÎ/
tAt“Rr&
ª!$#
Ÿwur
ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr&
öNèdö‘x‹÷n$#ur
br&
š‚qãZÏFøÿtƒ
.`tã
ÇÙ÷èt/
!$tB
tAt“Rr&
ª!$#
y7ø‹s9Î)
( bÎ*sù
(#öq©9uqs?
öNn=÷æ$$sù
$uK¯Rr&
߉ƒÌãƒ
ª!$#
br&
Nåkz:ÅÁãƒ
ÇÙ÷èt7Î/
öNÍkÍ5qçRèŒ
3 ¨bÎ)ur
#ZŽÏWx.
z`ÏiB
Ĩ$¨Z9$#
tbqà)Å¡»xÿs9
ÇÍÒÈ
Artinya
: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik.”
Tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini
sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraizhah dan Bani Nadhir. Namun menurut
Ibnu Taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya
berlaku adil terhadap dua qabilah itu. [17]
4.
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh
Al-Qur’an harus dipandang dari segi kekhususan sebab bukan keumuman lafazh
(al-‘ibrah bi khushus as-sabab la bi ‘umum al-lafazh). Jadi cakupan ayat
terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat diturunkan. Adapun kasus
lainnya yang serupa kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu
bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan dari dalil lain,
yaitu dengan qiyas apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf
misalnya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya.
Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan
melalui jalan qiyas.[18]
5.
Ulama ushul menetapkan bahwa ungkapan hukum itu didasarkan pada
umumnya lafal bukan berdasarkan khususnya sebab yang melatarbelakanginya. Yang
mereka maksudkan dengan pendapat tersebut ialah bahwa sebab yang
melatarbelakangi turunnya wahyu itu tidak membelenggu syariat yang umum dan
tidak membatasinya, tetapi sekedar mempengaruhi turunnya wahyu. Dengan demikian
ia mencakup hukum yang terdapat dalam ayat yang diturunkan, dan hukum tersebut
akan tetap berada dalam keumumannya yang berlaku bagi semua peristiwa yang
sesuai dengan sebab nuzul tersebut.[19]
Diantara hal-hal yang memperkuat pengertian seperti itu adalah
riwayat-riwayat yang diterima dari Ahl Bayt An-Nabi. Diriwayatkan dari Imam
Muhammad bin Ali Al-Baqir katanya “sesungguhnya Al-Qur’an itu hidup, tidak
mati, dan sesungguhnya ayat itu hidup, tidak mati, dan sesungguhnya ayat itu
hidup, tidak mati.kalau ayat itu hanya diturunkan (khusus) bagi suatu kaum,
kemudian mereka mati, niscaya ayat Al-Qur’an ikut mati (bersama matinya kaum
tersebut). Tidak demikian, tetapi ia terus berlaku bagi orang-orang yang masih
tinggal, sebagaimana ia berlaku bagi orang-orang yang telah lampau.[20]
Namun perlu diperhatikan bahwa perbedaan pendapat yang terjdi
antara jumhur ulama dan yang lainnya hanya terjadi pada kasus ayat yang
bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku khusus.
Namun jika ternyata ada petunjuk pengkhususannya, seluruh ulama sepakat bahwa
hukum ayat itu hanya berlaku untuk kasus yang disebutkan itu. [21]
BAB III
KESIMPULAN
Setelah
mengupas pembahasan tentang asbab an-nuzul, dapat di simpulkan bahwa pengetahuan
tentang asbab an-nuzul ini dalam memahami Al-Qur’an dan memahami pesan-pesan
yang disampaikannya sangatlah penting, apalagi yang berkaitan dengan ayat yang
mengandung hukum syara’, dengan demikian kaum muslimin dapat memposisikan diri
dalam menyikapinya.
Ungkapan asbab
an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya
sesuatu. Adapun secara terminologi ada banyak pengertian yang dirumuskan para
ulama, diantaranya menurut Az-Zarqani dan Abu Syuhbah :
ما نزلت الآية أو الآيات متحدثة عنه أو مبينة لحكمه أيام وقوعه
Artinya : “asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab
turunnya satu atau beberapa ayat serta ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat
Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”
Macam-macam
asbab an-nuzul:
1. Di lihat dari sudut pandang
redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul ada dua jenis
yaitu : Sharih (visionable/jelas) dan muhtamilah (kemungkinan)
2. Di lihat dari sudut pandang
berbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk asbab
an-nuzul ada dua jenis yaitu : Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat (Ta’addud al-asbab wa an-nazil wahid)
dan variasi ayat untuk satu sebab (ta’addud an-nazil wa as-sabab wahid)
Urgensi
mengetahui asbab an-nuzul : Mengetahui
asbab an-nuzul adalah sangat urgen dalam upaya mengetahui dan memaham maksud
suatu ayat, hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum
Manfaat
mengetahui asbab an-nuzul :
1.
Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.
Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3.
Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, bagi ulama
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus
(khusus as-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafazh).
4.
Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5.
Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat-ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
Metode atau pedoman untuk mengetahui asbab
an-nuzul secara shahih, para ulama berpegang
pada riwayat shahih yang berasal dari
Rasulullah SAW atau dari sahabat. Ulama berbeda
pendapat dalam penerapan makna ayat
berdasarkan lafal secara umum atau sebab secara khusus :
1. Jumhur ulama
berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan
bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khushus
as-sabab).
2. Ibnu Taimiyah
berpendapat, bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu,
bahkam kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, kemudian difahami sebagai
berlaku umum.
3. Ada juga ulama
yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Qur’an harus dipandang dari segi
kekhususan sebab bukan keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khushus as-sabab la bi
‘umum al-lafazh).
4. Ulama ushul
menetapkan bahwa ungkapan hukum itu didasarkan pada umumnya lafal bukan
berdasarkan khususnya sebab yang melatarbelakanginya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Abu Syuhbah , المدخل
لدراسة القرآن الكريم, Kairo : Maktabah
As-Sunnah, 1996, cet.1
DR.Shubhi As-Shalih, مباحث فى علوم القرآن ¸ Beirut : Dar
Al-Al-Qalam li al-malayyin, 1988
DR.Dawud Al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terjemahan buku asli موجز علوم القرآن , Bandung :Pustaka
Hidayah, 1994, cet.1
Jalaludin As-Suyuthi, الإتقان فى علوم القرآن, Beirut: Dar Al-Fikr
Mohammad aly Ash Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At Tibyan),
terjemahan buku asli التبيان فى علوم
القرآن , Bandung: PT Al-Ma’arif,
1984, cet.1
Prof.Dr.Rosihan Anwar.M.Ag,
Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010, cet.2
Syaikh Abdul Azhim
Az-Zarqani, مناهل العرفان
في علوم القرآن , Beirut : Dar
Al-Kotob, 1996
Syaikh Manna’ Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,
terjemahan buku asli
مباحث فى علوم القرآن , Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2009, cet.4
[1] Syaikh Manna’
Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan buku asliمباحث
فى علوم القرآن , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, cet.4,
hal.92
[2] Mohammad aly
Ash Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At Tibyan), terjemahan buku asli التبيان
فى علوم القرآن , Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1984, cet.1, hal.37
[3] Rosihan Anwar,
Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010, cet.2, hal.60
Abu Syuhbah ,
المدخل لدراسة القرآن الكريم,
Kairo
: Maktabah As-Sunnah, 1996, cet.1, hal 122
[6] Manna’
Al-Qatthan, Op.Cit. hal. 78
[7] Mohammad aly
Ash Shabuny, Op.Cit. hal.45
[8]Dawud
Al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terjemahan buku asli موجز علوم
القرآن , Bandung :Pustaka Hidayah, 1994, cet.1,
hal.130
[9] Rosihan Anwar, Op.Cit. hal.63-65
[10] Manna’
Al-Qatthan, Op.Cit. hal.93-94
[11] Rosihan Anwar,
Op.Cit. hal.67-69
[12] Ibid,
hal.69-74
[13] Ibid, hal.73
[14] Dawud
Al-Aththar, Op.Cit. hal.134-135
[16] Ibid
[17] ibid
[18] Abdul Azhim
Az-Zarqani, Op.Cit. hal. 108
[19] Dawud
Al-Aththar, Op.Cit. hal.136
[20] Ibid, hal.137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar