Kamis, 17 November 2016

ASBABUL NUZUL



BAB I
PENDAHULUAN

 1.1.      Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan untuk membimbing manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang lurus, menegakkan suatu kehidupan yang  didasarkan kepada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga mengajar mereka dalam menyikapi sejarah masa lalu, kejadian-kejadian kontemporer dan tentang berita-berita masa depan.
Sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya diturunkan untuk tujuan umum ini. Tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah, atau menghadapi masalah yang masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui bagaimana hukum Islam dalam hal itu. Maka Al-Qur’an turun untuk merespon peristiwa khusus tadi atau pertanyaan yang muncul itu. Hal-hal itu yang disebut asbab an-nuzul.[1]
Ilmu asbab an-nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang asbab an-nuzul, bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Oleh karena pentingnya ilmu asbab an-nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah  dalam memahami ayat-ayatnya, dapat dikatakan bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin dapat diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu asbab an-nuzul.[2]
Berbicara tentang ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan sebenarnya terbagi kepada dua bagian :
1.      yaitu ayat yang diturunkan tanpa didahului oleh sebab khusus tertentu, dan ini banyak ditemukan didalam Al-Qur’an, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang hukum-hukum dan juga adab berprilaku, yang tujuannya adalah sebagai petunjuk bagi manusia untuk kebahagian hidup mereka didunia dan di akhirat.
2.      Adalah ayat-ayat yang diturunkankannya berkaitan dengan sebab khusus tertentu.
Manakala pengetahuan mengenai asbab an-nuzul sangat urgen dalam memahami Al-Qur’an, maka sudah seyogyanya kita sebagai kaum muslim yang mencintai Al-Qur’an dan sebagai pecinta ilmu, mempelajari tentang disiplin ilmu ini.

 1.2.      Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang di paparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan asbab an-nuzul dan apa macam-macamnya
2.      Apa urgensi mengetahui asbab an-nuzul dan apa saja manfaat mengetahuinya
3.      Bagaimana metode atau pedoman mengetahui asbab an-nuzul
4.      Bagaiman penerapan makna ayat Al-Qur’an apakah berdasarkan lafazh nya secara umum ataukah berdasrakan sebabnya diturunkan secara khusus

 1.3.      Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Memahami tentang asbab an-nuzul, mengetahui jenis-jenisnya, serta bebarapa kaidah yang berkaitan dengannya
2.      Mengetahui kedudukan dan peran asbab an-nuzul dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an

 1.4.      Metode Penulisan
Metode penulisan yang diambil dalam penyelesaian makalah ini adalah studi pustaka.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab an-nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus di gunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[3]
Adapun secara terminologi ada banyak pengertian yang dirumuskan para ulama, diantaranya:
1.      Menurut Az-Zarqani dan Abu Syuhbah :
 ما نزلت الآية أو الآيات متحدثة عنه أو مبينة لحكمه أيام وقوعه [4]
Artinya :
“asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat serta ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”
2.      Shubhi Shalih :
ما نزلت الآية أو الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه [5]
Artinya :
“ asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadangmenyiratkan peristiwa itu sebagai respon atasnya, atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum saat peristiwa itu terjadi”
3.      Manna’ Al-Qaththan :
ما نزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة أو سؤال  [6]
Artinya:
“Sesuatu yang karenanya Al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”
4.      Aly As-Shabuni :
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa atau kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama” [7]

2.2  URGENSI MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Mengetahui asbab an-nuzul adalah sangat urgen dalam upaya mengetahui dan memaham maksud suatu ayat, hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum.
Adalah tidak diragukan, bahwa bentuk suatu ayat dan cara pengungkapannya dalam skala besar sangat terpengaruh oleh sebab turunnya. Istifham (kalimat tanya) umpamanya, adalah sekedar suatu kalimat, namun ia bisa mempunyai pengertian lain seperti taqrir (penegasan), nafyi (penafian) dan pengertian-pengertian lainnya. Maksud dari pengertian tersebut tidak bisa difahami kecuali melalui faktor-faktor ekstern dan korelasi-korelasi dari kondisi yang ada.[8]

2.3  MANFAAT MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Az-Zarqani mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan kedalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang waktu tertentu. Dan keberatan seperti ini tidaklah berdasar, karena asbab an-nuzul memiliki banyak manfaat :
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
Diantara contohnya ada dalam surat Al-Baqarah ayat 115
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”

 Dinyatakan bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat zhair ayat diatas, seseorang boleh menghadap ke arah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Ia seakan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi ketika melihat asbab an-nuzulnya, tahapan bahwa interpretasi tersebut keliru. Sebab ayat diatas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat diatas kendaraan, atauberkaitan dengan ornag yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.
2.      Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
Umpamanya dalam surat Al-An’am ayat 145 dikatakan:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š­/u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ  
Artinya: “katakanlah tidak ku dapati didalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai, darah yang mengalir, daging babi,karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih bukan atas nama Allah”

Menurut Asy-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat hashr (dugaan tertentu), untuk mengatasi  kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas As-Syafi’i menggunakan alat bantu asbab an-nuzul. Menurutnya ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharmkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang Yahudi,maka turunlah ayat diatas.
3.      Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafazh).
Seperti pada ayat “zhihar” dalam permulaan surat Al-Mujadalah yang turun berkenaan dengan Aus Ibn Samit yang menzhihar istrinya (Khaulah Binti Hakim Ibn Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zhihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu ditentukan dengan jalan analogi (qiyas)
4.      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun. Umpamanya, ‘Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abd Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunnya ayat “Dan orang yang mengatakan kepada orang tuanya “cih kamu berdua”.......(Q.S. Al-Ahqaf:17). Untuk meluruskan persoalan, Aisyah berkata kepada Marwan: “Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun, dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang sebenarnya”.
5.      Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat-ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.[9]

2.4  PEDOMAN MENGETAHUI ASBAB AN-NUZUL
Untuk mengetahui asbab an-nuzul secara shahih, para ulama berpegang pada riwayat shahih  yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Sebab, pemberitaan seorang sahabat mengenai hal ini bila jelas berarti bukan pendapatnya, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Menurut Al-Wahidi “tidak diperbolehkan main akal-akalan dalam asbab an-nuzul Al-Qur’an, kecuali berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah metodologi ulama salaf. Mereka amat berhati-hati mengatakan sesuatu mengenai asbab an-nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Oleh karena itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbab an-nuzul adalah riwayat-riwayat dari sahabat yang bersanad dan secara pasti menunjukkan sebab an-nuzul. Kata As-Suyuthi, bila ucapan seorang tabi’in itu benar menunjukkan asbab an-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, serta didukung oleh hadits mursal yang lain. [10]

2.5  MACAM-MACAM ASBAB AN-NUZUL
1.      Di Lihat dari Sudut Pandang Redaksi-redaksi yang Dipergunakan dalam Riwayat Asbab An-Nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab an-nuzul, yaitu: [11]
a.       Sharih (visionable/jelas), redaksi sharih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab An-nuzul, dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawi mengatakan:
سبب نزول هذه الآية هذا........
Artinya : “sebab turun ayat ini adalah.......”
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa ta’qibiyah) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu, misalnya ia mengatakan:
حدث هذا ...... فنزلت الآية .......
Artinya : “ telah terjadi ...... maka turunlah ayat ......
سئل رسول الله عن كذا ...... فنزلت الآية ......
Artinya : “Rasulullah pernah ditanya tentang ...... maka turunlah ayat ...... Contoh asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Jabir bahwa orang-orang Yahudi berkata : “apabila seorang suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling.” Maka turunlah ayat 223 dari surat Al-Baqarah:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ̍Ïe±o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËËÌÈ  

Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

b.      Muhtamilah (kemungkinan),adapun redaksi yang digunakan termasuk muhtamilah jika perawi mengatakan :

نزلت هذه الآية فى كذا .......
Artinya : “ayat ini turun berkenaan dengan.......
Misalnya riwayat Ibnu Umar yang menyatakan:
نزلت فى إتيان النساء فى أدبارهن
Artinya : “ayat, istri-istri kalian adalah ibarat tanah tempat bercocok tanam, turun berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) istri dari belakang (H.R.Bukhari)

Atau perawi pengatakan:
أحسب هذه الآية نزلت فى كذا.......
Artinya : “saya kira ayat ini turun berkenaan dengan......”

Atau
ما أحسب نزلت هذه الآية إلا فى كذا.......
Artinya : “saya tidak mengira ayat ini turun kecuali berkenaan dengan.....”






سبب نزول هذه الآية هذا.....
حدث هذا.....فنزلت الآية.....
سئل رسول الله عن كذا....فنزلت الآية....
 
نزلت هذه الآية  فى كذا.....
أحسب هذه الآية نزلت فى كذا.....
ما أحسب نزلت هذه الآيات إلا فى كذا...



 
Tidak pasti (muhtamil)
 
Pasti (sharih)
 
Redaksi riwayat asbab an-nuzul
 
Skema Redaksi Periwayatan Asbab An-Nuzul










2.      Di Lihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat atau Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul
a.      Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud Al-Asbab wa An-Nazil Wahid)
Pada kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-nuzul dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-nuzul. Tentu saja hal itu tidak akan menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbab an-nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara-cara berikut [12]:
1.      Tidak mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat=riwayat asbab an-nuzul ini menggunakan  redaksi muhtamilah (tidak pasti). Misal satu versi menggunakan redaksi “ayat ini diturunkan berkenaan dengan....., dan versi lain menggunakan redaksi “saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan....”


2.      Mengambil versi riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-nuzul itu tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Seperti dua riwayat asbab an-nuzul pada ayat “nisaukum hartsun lakum”,diriwayatkan bahwa Ibnu umar mengatakan “ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”,sedang dalam salah satu riwayat Jabir dikatakan “seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhi istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling, maka diturunkanlah ayat : “nisaukum hartsun lakum”. Dalam kasus seperti ini maka riwayat Jabir-lah yang harus dipakai.
3.      Mengambil versi riwayat yang shahih (valid)
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih, tetapi kualitas salah satunya tidak shahih.
Adapun terhadap variasi riwayat asbab an-nuzul dalam satu ayat versi berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:       
1.      Mengambil versi riwayat yang shahih
Cara ini diambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asba an-nuzul satu ayat, satu versi berkualitas shahih, sedangkan yang lainnya tidak.
2.      Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua variasi asbab an-nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya sama-sama shahih
3.      Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status keshahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih.
Skema Variasi Periwayatan Asbab An-Nuzul


 


Variasi periwayatan  asbab an-nuzul
 
Sisi kualitas
 
  





b.      Variasi Ayat untuk Satu Sebab (ta’addud an-nazil wa as-sabab wahid)

Terkadang suatu kejadian menjadi sebab turunnya dua ayat atau lebih, hal ini dalam ulum Al-Qur’an disebut dengan istilah “ta’addud an-nazil wa as-sabab wahid” (berbilang ayat yang turun sedangkan sebab turunnya satu)[13]
Contohnya , Ummu Salamah berkata: “wahai Rasulullah, saya tidak pernah mendengar sedikitpun Allah menyebutkan perempuan dalam hijrah”. Maka Allah SWT menurunkan ayat:
“maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain, maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang di bunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai sungai dibawahnya, sebagai pahala disisi Allah, dan Allah pada sisinya ada pahala yang baik” (Q.S.Ali Imran:195)
Allah SWT juga menurunkan ayat berikut ini:
“sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Q.S.Al-Ahzab:35)
Dengan demikian, sebab turunnya ayat tersebut adalah satu, yaitu pertanyaan Ummu Salamah, sedangkan ayat yang diturunkan lebih dari satu, yaitu dua ayat dari surat Ali Imran dan Al-Ahzab tersebut diatas.[14]

2.6  PEMBAHASAN SEKITAR PENERAPAN MAKNA AYAT BERDASARKAN LAFAL SECARA UMUM ATAU SEBAB SECARA KHUSUS
Ada sebuah persoalan penting dalam pembahasan asbab an-nuzul, misalkan telah terjadi suatu peristiwa atau ada suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘aam (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalannya adalah apakah ayat tersebut harus dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus (spesifik) itu. Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah umum?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khushus as-sabab). As-Suyuthi memberikan alasan bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat lain dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, antara lain ketika turun ayat zhihar dalam kasus Salman Ibnu Sakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal Ibnu Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap ‘Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa.[15]
2.      Zamakhsyari dalam penafsiran surat Al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup didalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibn Abbas pun mengatakan bahwa ayat 38 dari surat Al-Maidah
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian seorang wanita dalam asbab an-nuzul itu.[16]
3.      Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkam kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, kemudian difahami sebagai berlaku umum. Mislanya surat Al-Maidah ayat 49
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ  
Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”

Tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraizhah dan Bani Nadhir. Namun menurut Ibnu Taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap dua qabilah itu. [17]
4.      Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Qur’an harus dipandang dari segi kekhususan sebab bukan keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khushus as-sabab la bi ‘umum al-lafazh). Jadi cakupan ayat terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat diturunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan dari dalil lain, yaitu dengan qiyas apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf misalnya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan melalui jalan qiyas.[18]
5.      Ulama ushul menetapkan bahwa ungkapan hukum itu didasarkan pada umumnya lafal bukan berdasarkan khususnya sebab yang melatarbelakanginya. Yang mereka maksudkan dengan pendapat tersebut ialah bahwa sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu itu tidak membelenggu syariat yang umum dan tidak membatasinya, tetapi sekedar mempengaruhi turunnya wahyu. Dengan demikian ia mencakup hukum yang terdapat dalam ayat yang diturunkan, dan hukum tersebut akan tetap berada dalam keumumannya yang berlaku bagi semua peristiwa yang sesuai dengan sebab nuzul tersebut.[19]
Diantara hal-hal yang memperkuat pengertian seperti itu adalah riwayat-riwayat yang diterima dari Ahl Bayt An-Nabi. Diriwayatkan dari Imam Muhammad bin Ali Al-Baqir katanya “sesungguhnya Al-Qur’an itu hidup, tidak mati, dan sesungguhnya ayat itu hidup, tidak mati, dan sesungguhnya ayat itu hidup, tidak mati.kalau ayat itu hanya diturunkan (khusus) bagi suatu kaum, kemudian mereka mati, niscaya ayat Al-Qur’an ikut mati (bersama matinya kaum tersebut). Tidak demikian, tetapi ia terus berlaku bagi orang-orang yang masih tinggal, sebagaimana ia berlaku bagi orang-orang yang  telah lampau.[20]
Namun perlu diperhatikan bahwa perbedaan pendapat yang terjdi antara jumhur ulama dan yang lainnya hanya terjadi pada kasus ayat yang bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku khusus. Namun jika ternyata ada petunjuk pengkhususannya, seluruh ulama sepakat bahwa hukum ayat itu hanya berlaku untuk kasus yang disebutkan itu. [21]






           BAB III
KESIMPULAN

Setelah mengupas pembahasan tentang asbab an-nuzul, dapat di simpulkan bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul ini dalam memahami Al-Qur’an dan memahami pesan-pesan yang disampaikannya sangatlah penting, apalagi yang berkaitan dengan ayat yang mengandung hukum syara’, dengan demikian kaum muslimin dapat memposisikan diri dalam menyikapinya.
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Adapun secara terminologi ada banyak pengertian yang dirumuskan para ulama, diantaranya menurut Az-Zarqani dan Abu Syuhbah :
 ما نزلت الآية أو الآيات متحدثة عنه أو مبينة لحكمه أيام وقوعه
Artinya : “asbab an-nuzul” adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat serta ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”
Macam-macam asbab an-nuzul:
1.      Di lihat dari sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul ada dua jenis yaitu : Sharih (visionable/jelas) dan muhtamilah (kemungkinan)
2.      Di lihat dari sudut pandang berbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk asbab an-nuzul ada dua jenis yaitu : Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk  satu ayat (Ta’addud al-asbab wa an-nazil wahid) dan variasi ayat untuk satu sebab (ta’addud an-nazil wa as-sabab wahid)
Urgensi mengetahui asbab an-nuzul :  Mengetahui asbab an-nuzul adalah sangat urgen dalam upaya mengetahui dan memaham maksud suatu ayat, hikmah yang terkandung dalam penetapan suatu hukum
Manfaat mengetahui asbab an-nuzul :
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
2.      Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3.      Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafazh).
4.      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5.      Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat-ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
Metode atau pedoman untuk mengetahui asbab an-nuzul secara shahih, para ulama berpegang pada riwayat shahih  yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Ulama berbeda pendapat dalam penerapan  makna ayat berdasarkan lafal secara umum atau sebab secara khusus :
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khushus as-sabab).
2.      Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkam kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, kemudian difahami sebagai berlaku umum.
3.      Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Qur’an harus dipandang dari segi kekhususan sebab bukan keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khushus as-sabab la bi ‘umum al-lafazh).
4.      Ulama ushul menetapkan bahwa ungkapan hukum itu didasarkan pada umumnya lafal bukan berdasarkan khususnya sebab yang melatarbelakanginya.













DAFTAR PUSTAKA


Dr.Abu Syuhbah , المدخل لدراسة القرآن الكريم, Kairo : Maktabah As-Sunnah, 1996, cet.1
DR.Shubhi As-Shalih, مباحث فى علوم القرآن ¸ Beirut : Dar Al-Al-Qalam li al-malayyin, 1988
  DR.Dawud Al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an,  terjemahan buku asli موجز علوم القرآن , Bandung :Pustaka Hidayah, 1994, cet.1
 Jalaludin As-Suyuthi, الإتقان فى علوم القرآن, Beirut: Dar Al-Fikr
Mohammad aly Ash Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At Tibyan), terjemahan buku asli التبيان فى علوم القرآن , Bandung: PT Al-Ma’arif, 1984, cet.1
 Prof.Dr.Rosihan Anwar.M.Ag, Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010, cet.2
 Syaikh Abdul Azhim Az-Zarqani, مناهل العرفان في علوم القرآن  , Beirut : Dar  Al-Kotob, 1996
Syaikh Manna’ Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan buku asli 
            مباحث فى علوم القرآن   , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, cet.4

















[1] Syaikh Manna’ Al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan buku asliمباحث فى علوم القرآن   , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, cet.4, hal.92
[2] Mohammad aly Ash Shabuny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At Tibyan), terjemahan buku asli التبيان فى علوم القرآن , Bandung: PT Al-Ma’arif, 1984, cet.1, hal.37

[3] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010, cet.2, hal.60
[4] Abdul Azhim Az-Zarqani, مناهل العرفان في علوم القرآن  , Beirut : Dar  Al-Kotob, 1996, hal. 108
Abu Syuhbah , المدخل لدراسة القرآن الكريم, Kairo : Maktabah As-Sunnah, 1996, cet.1, hal 122
[5] Shubhi As-Shalih, مباحث فى علوم القرآن ¸ Beirut : Dar Al-Al-Qalam li al-malayyin, 1988, hal.132
[6] Manna’ Al-Qatthan, Op.Cit. hal. 78

[7] Mohammad aly Ash Shabuny, Op.Cit. hal.45
[8]Dawud Al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an,  terjemahan buku asli موجز علوم القرآن , Bandung :Pustaka Hidayah, 1994, cet.1, hal.130

[9]  Rosihan Anwar, Op.Cit. hal.63-65
[10] Manna’ Al-Qatthan, Op.Cit.  hal.93-94
[11] Rosihan Anwar, Op.Cit. hal.67-69

[12] Ibid, hal.69-74

[13] Ibid, hal.73

[14] Dawud Al-Aththar, Op.Cit. hal.134-135
[15] Jalaludin As-Suyuthi, الإتقان فى علوم القرآن, Beirut: Dar Al-Fikr, jilid.1, hal.110
[16] Ibid
[17] ibid
[18] Abdul Azhim Az-Zarqani, Op.Cit. hal. 108
[19] Dawud Al-Aththar, Op.Cit. hal.136
[20] Ibid, hal.137
[21] Abu Syuhbah , Op.Cit. hal 144


Tidak ada komentar:

Posting Komentar