BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat merupakan induk dari
cabang-cabang ilmu lain. Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang
mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata
lain: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat
kebenaran segala sesuatu.
Filsafat berkembang pesat di zamannya, filsafat berasal
dari Yunani yakni filsafat Klasik dan filsafat modern, diantara filsafat pada
masa modern yaitu: Renaissance, Rasionalisme, Idealisme, Empirisme, Pragmatisme
dan sebagainya.
Dalam pembahasan
ini akan dibahas tentang filsafat modern yaitu, filsafat Rasionalisme.
Rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan.
Lebih jelas akan dibahas tentang
rasionalistme pada makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
ilmu pengetahuan dalam pandangan rasionalistik?
2.
Siapa
tokoh filsafat yang mempelopori aliran rasionalistik ?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Bayani?
4.
Bagaimana
perkembangan epistimologi bayani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Rasionalistik
Aliran
filsafat yang berasal dari Descartes biasanya di sebut rasionalisme, karena
aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan
itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di
luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua
masalah utama yang keduanya di warisi dari Descartes. Pertama, masalah
substansi, kedua masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.[1]
Rasionalisme
pada dasarnya kontras terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi
rasionalisme diperoleh lewat kekuatan argumentasi rasio manusia. Kontras dengan
kebenaran substantif dalam visi empirisme yang diperoleh lewat pengalaman
empirik.[2]
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan akal (reason) adalah alat terpenting
dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika empirisme
mengatakan bahwa pengetahuan di peroleh dengan jalan mengalami objek empiris,
maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan di peroleh dengan cara
berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah
logika.
Descartes,
bapak dari rasionalisme, berusaha menemukan kebenaran yang tidak dapat
diragukan, sehingga dengan memakai metode deduktif dapat disimpulakan semua
pengetahuan kita. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan bahwa
kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi
sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian akal budi
dipahaminya : (1) sebagai jenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran, (2) sebagai suatu teknik deduktif yang dapat
menemukan kebenaran-kebenaran: artinya dengan melakukan penalaran.[3]
Rasionalisme
ada dua macam : dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang
agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme
adalah lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya di gunakan
untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam filsafat terutama berguna
sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat
bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh
yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika. Penemuan-penemuan
kogika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar,
tetapi lebih dari pada itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin
salah, kebenarannya universal.[4]
Inti
dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur
tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya,
yaitu pengetahuna yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalisme, sumber
pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah
yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya,
kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui
pancaindra kita. Bagi mereka akal budi saja sudah cukup memberi pemahaman bagi
kita, terlepas dari pancaindra. Dengan demikian, akal budi saja bisa
membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa
pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita peroleh.[5]
Teori
rasional adalah teori para filosof, Eropa seperti Descartes (1596-1650) dan
Immanuel Kant (1724-1804) dan lain-lain. Teori-teori tersebut terangkum dalam
kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi, pertama, penginderaan (sensasi).
Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan kita
terhadap semua itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia
memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari
indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah. Jiwa menggali
gagasan-gagasan tertentu dari dirinya
sendiri. Menurut Descartes, konsepsi-konsepsi fitri itu adalah ide”Tuhan”,
jiwa, perluasan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu
dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia.[6]
Teori
kedua tentang cara memperoleh pengetahuan adalah rasionalisme. Tidaklah mudah
membuat definisi tentang rasionalisne sebagai suatu metode memperoleh
pengetahuan. Rasionalisme berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal.
Betul dalam hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh
data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama
lainnya, sehingga terdapatlah apa yang di namakan pengetahuan. Dalam penyusunan
ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep
tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang di
maksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abtraksi dari benda-benda
konkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. sebaliknya,
bagi empirisme hukum tersebut tidak di akui.
Para
penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam
idea dan bukan di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa di peroleh dengan akal budi
saja.[7]
Descartes,
salah seorang pelopor rasionalisme, berusaha menemukan sesuatu kebenaran yang
tidak dapat di ragukan lagi. Kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu
bahwa dia ragu. Pernyataan tersebut terkenal dengan semboyan cogito ergo sum
(saya ragu maka saya ada). Ia yakin, kebenaran-kebenaran itu bisa di pahami
lewat sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat di kenal
kebenaran dan dengan suatu teknik deduktif, yang dengan memakai teknik tersebut
dapat di temukan kebenaran.[8]
Namun,
keragu-raguan Descartes adalah keragu-raguan metodis yang di pakai sebagai alat
menguji penalaran dan pemikiran untuk mendapatkan kepastian pertama yang dapat
mendasari dan menjadi titik pangkal mutlak bagi filsafat baru. Kebenaran dan
kepastian pertama itu harus di temukan dalam kepastian dan keyakinan yang
bersifat personal dan subjektif. Kebenaran itu harus di alami sehingga ia tak
dapat di ragukan lagi. Dengan kata lain, pengertian benar harus dapat menjamin
dirinya sendiri.[9]
Salah
satu unsur utama yang menipu dan menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan
sejati adalah pengalaman indrawi kita. Contohnya, pancaindra menipu kita bahwa
benda-benda ruang angkasa kecil saja atau botol berisi air sebagai kosong. Ini
membuat Descartes meragukan semua yang di tangkapnya melalui pancaindra. Bahkan
kenyataan bahwa ia sedang duduk menulis sebuah buku pun lalu di ragukan,
jangan-jangan itu hanya sebuah mimpi belaka. Ia lalu berpikir, jangan sampai
ada setan jenius yang telah menipunya bahwa ada bumi, ada langit, ada
objek-objek di luar dirinya, ada bentuk, ada tempat dan seterusnya, padahal
sesungguhnya semua itu hanya omong kosong, hanay khayalan belaka. Dengan
keraguan inilah, Descartes mau mengatakan bahwa hanya kalau apa yang di tangkap
oleh pancaindra telah di lihat melalui terang akal budi sebagai pasti dan tidak
bisa di ragukan, apa yang di tangkap pancaindra itu bisa di terima sebagai
pengetahuan. Semakinjelas ide tersebut dalam terang akal budi, semakin ide tersebut
sesuai dengan realitas. Jadi, bukan sebaliknya bahwa semakin sesuai dengan
realitas, ide itu semakin benar.[10]
Beberapa
catatan perlu di berikan bagi maksud Descartes. Pertama-tama, perlu di catat
bahwa isi dari cogito, yaitu apa yang di nyatakan kepadanya adalah melulu
dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah :cogito, ergo sum
cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir; yaitu
eksistensi dari budi, sebuah substansi sadar. Namun hal ini tidak menjamin
eksistensi dari badan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa ketika Descartes
berbicara mengenai “berpikir”, ia tidak memaksudkan secara eksklusif pada
penalaran saja; melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, yang
di anggap sebagai kegiatan sadar, termasuk di dalam istilah “berpikir” ini.
Meskipun mungkin status dari objek-objek mereka bisa di ragukan,
kegiatan-kegiatan sadar ini tidak diragukan.
Perlu
di catat pula, bahwa cogito bukanlah di capai melalui penyimpulan, dan “ergo”
bukan lah ergo silogisme. Yang di maksud Descartes adalah bahwa eksistensi
personal saya yang penuh di berikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan.[11]
Benda-benda
dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: yang manakah
sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam
mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus itu, bila di lihat dari
posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu; dalam
mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi : adakah beda yang tegas
antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
Pada
langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat
di indera. Apa sekarang yang dapat di percaya, yang sungguh-sungguh ada?
Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh
halus), juga dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu itu adalah gerak,
jumlah dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita
berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada dari pada benda-benda. Ketiga
macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
Betulkah
yang tiga ini ( gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes
mengujinya. Kemudian ia pun meragukannya. Yang tiga macam itu adalah
matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah, saya sering salah menjumlah
(angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu
pastipun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada benda,
tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti di ragukan.
Kalau begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi
filsafat ku? Aku ingin yang pasti, yang distinct. Sampailah ia sekarang kepada
langkah ketiga dalam metode cogito.
Masih
ada satu yang tidak dapat di ragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan
yang licik pun yang dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun yang mampu
meragukannya. Yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, pasti sekali, saya sedang
ragu. Tidak dapat di ragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya
sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan,
misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu”
benar-benar tidak dapat di ragukan adanya.
Saya sedang ragu, ada
|
Saya ragu karena saya berpikir
|
Benda inderawi tidak ada
|
Gerak, jumlah, besaran (ilmu pasti tidak ada)
|
Jadi, saya berpikir ada
|
Spinoza
memberi penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalisme atas
dasar sistem ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil ilmu
kebenaran yang tidak perlu di buktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika
seseorang memahami makna yang terkandung oleh pernyataan,” sebuah garis lurus
merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik.,” maka seseorang mau tidak
mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya, tidak perlu ada bahan-bahan
bukti yang lain kecuali makna yang di kandung oleh kata-kata yang di gunakan.[13]
Emanuel
kant berpendapat bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang
harus membedakan empat macam pengetahuan, yaitu analitis a priori, sintetis a
priori, analitis a posteriari, dan sintetis a posteriori. Pengetahuan a priori
adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalamn atau yang ada
sebelum pengalaman, sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi akibat
pengalaman. Pengetahuan analitis merupakan hasil analisis, sedangkan sintetis
merupakan hasil keadaan yang merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal
yang biasanya terpisah.
Menurut
kant, analitis a priori adalah pengetahuan yang tidak mendatangkan sesuatu yang
baru kepada subjeknya dan di peroleh tanpa pengalaman, contoh lingkaran itu bulat.
Bulat sebagai perdikat tidak memberikan hal yang baru pada subjek lingkaran.
Sintetis a posteriori adalah kebajikan dari sintetis a priori, bahwa
pengetahuan yang di peroleh mendatangkan hal yang baru akibat dari pengalaman,
seperti meja bundar. Bundar adalah predikat yang memberikan arti baru bagi
subjek meja sebab tidak semua meja bundar. Pengetahuan sintetis a priori adalah
pengetahuan yang kendati bersifat a priori, tetapi sintetis juga seperti segala
kejadian ada sebabnya.[14]
Untuk
mendapatkan suatu pengetahuan yang tidak di ragukan lagi kebenarannya,
Descartes menggariskan empat langkah/aturan sebagai berikut: Kita harus
menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil suatu keputusan,
dan hanya menerima yang di hadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga
mustahil di sangsikan. Setiap perrsoalan yang di teliti, di bagikan dalam
sebanyak mungkin bagi sejauh yang di perlukan bagi pemecahan yang memadai. Mengatur
pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai
pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak
sampai pada pengertian yang kompleks dan nisbi. Setiap permasalahan di tinjau
secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang di lalaikan.
Langkah-langkah
yang di ajukan Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran ini pada
prinsipnya bersifat analitik, terutama langkah kedua dan ketiga.[15] Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapat
di percaya, maka menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam
diri saya dengan menggunakan norma cogito ergo sum. Descartes berpendapat bahwa
dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada sejak
lahir, yaitu ”pemikiran”, ”Allah”, dan “keluasan”.[16]
Riwayat Hidup dan Karya Descartes
Rene
Descartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempatoachim Descartes, seorang
anggota parlemen kota Britari, propensi Renatus di Prancis. KakeknyaPiere
Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakng kedokteran.
Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (sekarang disebut La Heye Descartes),
propensi Teuraine, Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rane, tumbuh
sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya
pun memanggilnya dengan julukan Si Filsuf Cilik.
Pada
tahun 1612, Rane Descartes pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan
kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint
German untuk mengerjakn ilmu ukur. Pada tahun 1617 masuklah Descartes ke dalam
tentara Belanda. Selama dua tahun ia mengalami suasana damai dan tentram di
Negara Kincir Angin ini, sehingga ia dapat mengerjakan renungan falsafatnya.
Tahun 1619 Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Dan selama musim dingin
antara tahun 1619-1620, di kota ini ia mempunyai pengalaman, yang kemudian
dituangkan ke dalam buku pertamanya, Descours de la Methode, salah satu
pengalamannya yang unik adalah tentang mimpi yang dialami sebanayk tiga kali
dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagian penulis bagaikan ilham dari
tuhan.
Descartes
menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala ia memenuhi undangan Ratu Cristene
yang menginginkan pelajaran-pelajaran yang diharuskan diajarkan setiap jam lima
pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit yang menjemput ajalnya pada tahun 1650,
ketika ia belum sempat menikah.
Karya-karya
Descartes cukup bnyak. Beberapa karyanya, antara lain adalah Discours de la
Methode(1637) yang bearti uraian tentang metode yang isinya melukiskan
pengembangan intelektualnya. Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang
dianggap pasti, semuanya dapat
dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga.Satu-satunya
kekecualian adalah ilmu pasti. Demikian menurut Descartes.
B.
Bayani
Secara bahasa kata al-bayan adalah penjelas, mengungkap dan
menuangkan maksud pembicaraan dengan menggunakan lafad yang baik. Dalam hal ini
bayan dapat di kategorikan menjadi dua: pertama, bayan yang menekankan
dasar penafsiran wacana (khitab); kedua, bayan yang menekankan syarat
pengambilan kesimpulan. Bayan yang pertama telah berkembang sejak Nabi
hingga sahabat, sedang yang kedua berkembang setelah muncul perbedaan pemahaman
di tengah umat akibat akses politik dan teologis.
Wacana pemikiran Arab Islam yang mengkategorikan ilmu menjadi dua
yaitu aqliyah dan naqliyah, antara ilmu bahasa dan agama, yang
akhirnya melahirkan di kotomi ilmu. Al-Jabiri melihat wacana tersebut adalah
sebuah kefatalan, menurutnya ilmu-ilmu tersebut sesungguhnya dalam rumpun yang
sama.
Ilmu bayany pada masa tadwin telah menghegemoni seluruh wacana
keilmuan Arab Islam yang di dalamnya
karya fikih yang di hasilkan oleh empat imam mazhab, sehingga AL-Jabiri
memandang ilmu yang di hasilkan oleh produk bayany tersebut tidak jauh
dari ilmu politik.[17]
Prinsip epistimologi bayany
Al-Jabiri memberi tiga catatan penting karakter utama pengetahuan bayany
yang berakar dari tradisi arab badui atau jahiliyah yaitu: pertama prinsip
discontinue (infishal), yang memandang bahwa alam seisinya berdiri
sendiri dan tidak berkaitan antara satu dengan yang lain, yang akhirnya
berimplikasi dalam memahami Tuhan dan
ciptaan-Nya, yang akhirnya memunculkan wacana di kotomi, antara ilmu agama dan
umum, kedua, prinsip keserbamungkinan (tajwiz), yang kurang mengindahkan
hukum sebab akibat, dan tidak tertarik untuk mencari jawaban”mengapa sesuatu
itu terjadi atau tidak terjadi?” ketiga, prinsip kedekatan (muqarabah)
sebagai perimbangan dari prinsip infishal dan tajwiz, yang di
dasarkan pada kedekatan dan keserupaan yang akhirnya muncul logika analogis-deduktif,
yang kurang memberikan peluang pendekatan lain.[18]
Perkembangan epistimologi bayany
Pada awalnya bayan hanya di pahami sebagai penjelasan (al-wadhu
al-idzhar), tetapi akhirnya mengalami perkembangan makna sebagai pola pikir
pada masa tiga tokoh yaitu Al-Syafi’I, Al-Jahiz, dan Ibnu Wahb.
Al-Syafi’I (W.204 H)
berkecenderungan bahwa bayan dalam
perspektif dasar penafsiran. Ia memaknainya sebagai nama yang mencakup makna
yang mengandung persoalan pokok (al-ashl) dan berkembang hingga cabang (al-far’).
Al-Syafi’i merumuskan hirarkinya yang berkaitan dengan Al-Qur’an kedalam lima
tingkatan yaitu: 1) bayan yang tidak memerlukan penjelasan. 2) bayan
yang beberapa bagiannya membutuhkan penjelasan as-Sunnah. 3) bayan yang
keseluruhannya bersifat umum yang memerlukan penjelasan as-Sunnah. 4) bayan
yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an tetapi terdapat dalam al-Sunnah. 5) bayan
yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang akhirnya muncul qiyas
sebagai upaya penyelesaiannya. Dari lima hirarki tersebut, Syafi’I kemudian
merumuskan dasar agama yaitu Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Al-Jahiz (W.255 H)
untuk memaknai bayan yang tepat, ia menatapkan syarat-syarat yaitu: 1) ucapan
harus fasih, karena sebagai penentu makna. 2) huruf dan lafal harus selektif.
3) makna harus terbuka yang dapat di dekati dengan lima bentuk penjelasan yaitu
lafal, isyarat, tulisan, keyakinan, dan keadaan/nisbah.
4) makna harus indah. Sementara Ibnu
Wahb merumuskan tingkat kepastian penunjukannya menjadi empat tingkatan: 1)
penjelasan dengan menunjukkan bentuk materi pernyataan (bayan bi al-ikhtibar).
2) penjelasan dengan pemahamn dalam batin (bayan bi al-qalb). 3)
penjelsan dengan redaksi lisan (bayan bi al-ibarah). 4) penjelasan denga
redaksi tulisan (bayan bi al-kitab).
Tiga pengertian
sama-sama menjadikan teks (nash) sebagai rujukan pokok untuk membangun konsepsi
tentang alam semesta untuk memperkuat akidah agama.
Ciri dan metodologi ini bahwa ia senantiasa menjadikan teks sebagai
rujukan pokok. Oleh karena itu teks juga merupakan sumber ilmu pengetahuan, dan
untuk menapatkan ilmu pengetahuan, potensi akal harus di kerahkan sebagai upaya
pembenaran terhadap rujukan utamanya, yaitu teks. Kegigihan usaha tersebut
lazim di sebut dengan ijtihad, yang dalam frame fikih di
kontekskan dengan qiyas dan istinbath. Sementara dalam frame
kalam di kontekskan dalam istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib.
Kerangka pikir tersebut berawal dari asumsi, bahwa apapun yang
terjadi dalam pengalaman hidup, baik yang lampau, yang kini maupun yang akan
datang tak satupun yang lepas dari rangkaian firman Tuhan dalam nash.
Dengan kata lain bayany merupakan telaah teks baik Qur’an maupun Hadist.
Setiap penafsiran yang berbeda, acuan kebenarannya adalah eksis dari adanya
teks yang given. Oleh karena itu dalam dunia islam, bayany
menjadi aliran yang paling dominan khususnya dalam kajian ulum al-Din.[19]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Rasionalisme
adalah aliran modern yang dipelopori oleh Descartes. Di mana aliran ini
beranggapan bahwa semua yang ada ini didasarkan pada akal pikiran. Para
penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam
idea dan bukan di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa di peroleh dengan akal budi
saja.
Menurut
kaum rasionalisme, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal
budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar
tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita
bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindra kita. Bagi mereka akal budi saja
sudah cukup memberi pemahaman bagi kita, terlepas dari pancaindra. Dengan
demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan
kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita
peroleh.
DAFTAR PUSTAKA
A. Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
|
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Lolos
Wacana Ilmu.
|
Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr Terhadap pelbagai
Aliran Filsafat Dunia terjemahkan oleh M. Nur Mufid bin Ali. 1992. Bandung:
Mizan.
|
Keraf, A.Sonny, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah
Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
|
Muhajir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake
Sarakin.
|
Rizal Mustansyir. 2001. Filsafat
Analitik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
S.Praja, Juhayai. 2003.
Aliaran-aliran filsafat & Etika. Jakarta: Kencana.
Suyudi. 2005. Pendidikan dalam perspektif
Al-Qur’an. Yogyakarta: Mikraj.
|
T.Galagher, Kenneth. 1994. Epistimologi Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius.
|
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat
Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya.
|
Zubaedi. dkk . 2007. Filsafat
Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
|
[1]
Juhayai S.Praja, Aliaran-aliran filsafat & Etika, (Jakarta: Kencana, 2003),
hlm. 91
[2]
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarakin, 1998), hlm. 71
[3]
Juhayai S.Praja, Op.cit. hlm. 26
[4]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1990), hlm. 111
[5]
A.Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 44
[6]
Falsafatuna pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr Terhadap pelbagai Aliran
Filsafat Dunia terjemahkan oleh M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1992)
hlm. 28.
[7]
Drs.Amsal Bakhtiar,MA., Filsafat Agama, (Jakarta: Lolos Wacana Ilmu,
1997),hlm. 45
[8]
Drs.Amsal Bakhtiar,MA., Filsafat Agama, (Jakarta: Lolos Wacana Ilmu,
1997),hlm. 46
[9]
Dr.Zubaedi, M.Ag.,M.Pd., dkk Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007),
hlm. 21
[10]
A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 45
[11]
Kenneth T.Galagher, Epistimologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius,
1994), hlm. 33-34
[12]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1990), hlm. 114-115
[13]
Drs. Amsal Bakhtiar,MA., Filsafat Agama, (Jakarta: Lolos Wacana Ilmu,
1997),hlm. 45-46
[14]
Ibid, hlm. 47-48
[15]
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.
28-29
[16]
Drs. A. Susanto, M.Pd., Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2011), hlm. 37
[17]
Dr.H.M.Suyudi,M.Ag, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Mikraj,2005), hlm. 19
[18]
Ibid, hlm. 20
[19]
Dr.H.M.Suyudi,M.Ag, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mikraj,
2005), hlm. 21-22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar