Minggu, 13 November 2016

RASIONALISTIK DAN BAYANI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat merupakan induk dari cabang-cabang ilmu lain. Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
            Filsafat berkembang pesat di zamannya, filsafat berasal dari Yunani yakni filsafat Klasik dan filsafat modern, diantara filsafat pada masa modern yaitu: Renaissance, Rasionalisme, Idealisme, Empirisme, Pragmatisme dan sebagainya.
            Dalam pembahasan ini akan dibahas tentang filsafat modern yaitu, filsafat Rasionalisme. Rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan.  
Lebih jelas akan dibahas tentang rasionalistme pada makalah ini.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana ilmu pengetahuan  dalam pandangan  rasionalistik?
2.      Siapa tokoh filsafat yang mempelopori aliran rasionalistik ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Bayani?
4.      Bagaimana perkembangan epistimologi bayani?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Aliran Rasionalistik
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya di sebut rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya di warisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.[1]
Rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap empirisme. Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperoleh lewat kekuatan argumentasi rasio manusia. Kontras dengan kebenaran substantif dalam visi empirisme yang diperoleh lewat pengalaman empirik.[2]
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan di peroleh dengan jalan mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan di peroleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
Descartes, bapak dari rasionalisme, berusaha menemukan kebenaran yang tidak dapat diragukan, sehingga dengan memakai metode deduktif dapat disimpulakan semua pengetahuan kita. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian akal budi dipahaminya : (1) sebagai jenis perantara khusus untuk mengenal kebenaran,  (2) sebagai suatu teknik deduktif yang dapat menemukan kebenaran-kebenaran: artinya dengan melakukan penalaran.[3] 
Rasionalisme ada dua macam : dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya di gunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika. Penemuan-penemuan kogika dan matematika begitu pasti. Kita tidak hanya melihatnya sebagai benar, tetapi lebih dari pada itu kita melihatnya sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah, kebenarannya universal.[4] 
Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuna yang tidak mungkin salah. Menurut kaum rasionalisme, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindra kita. Bagi mereka akal budi saja sudah cukup memberi pemahaman bagi kita, terlepas dari pancaindra. Dengan demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita peroleh.[5]
Teori rasional adalah teori para filosof, Eropa seperti Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804) dan lain-lain. Teori-teori tersebut terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi, pertama, penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan kita terhadap semua itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah. Jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu  dari dirinya sendiri. Menurut Descartes, konsepsi-konsepsi fitri itu adalah ide”Tuhan”, jiwa, perluasan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia.[6]
Teori kedua tentang cara memperoleh pengetahuan adalah rasionalisme. Tidaklah mudah membuat definisi tentang rasionalisne sebagai suatu metode memperoleh pengetahuan. Rasionalisme berpendirian, sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul dalam hal ini akal berhajat pada bantuan panca indera untuk memperoleh data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainnya, sehingga terdapatlah apa yang di namakan pengetahuan. Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang di maksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abtraksi dari benda-benda konkrit, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak di akui.
            Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam idea dan bukan di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa di peroleh dengan akal budi saja.[7]
Descartes, salah seorang pelopor rasionalisme, berusaha menemukan sesuatu kebenaran yang tidak dapat di ragukan lagi. Kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu bahwa dia ragu. Pernyataan tersebut terkenal dengan semboyan cogito ergo sum (saya ragu maka saya ada). Ia yakin, kebenaran-kebenaran itu bisa di pahami lewat sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat di kenal kebenaran dan dengan suatu teknik deduktif, yang dengan memakai teknik tersebut dapat di temukan kebenaran.[8]
Namun, keragu-raguan Descartes adalah keragu-raguan metodis yang di pakai sebagai alat menguji penalaran dan pemikiran untuk mendapatkan kepastian pertama yang dapat mendasari dan menjadi titik pangkal mutlak bagi filsafat baru. Kebenaran dan kepastian pertama itu harus di temukan dalam kepastian dan keyakinan yang bersifat personal dan subjektif. Kebenaran itu harus di alami sehingga ia tak dapat di ragukan lagi. Dengan kata lain, pengertian benar harus dapat menjamin dirinya sendiri.[9]
Salah satu unsur utama yang menipu dan menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman indrawi kita. Contohnya, pancaindra menipu kita bahwa benda-benda ruang angkasa kecil saja atau botol berisi air sebagai kosong. Ini membuat Descartes meragukan semua yang di tangkapnya melalui pancaindra. Bahkan kenyataan bahwa ia sedang duduk menulis sebuah buku pun lalu di ragukan, jangan-jangan itu hanya sebuah mimpi belaka. Ia lalu berpikir, jangan sampai ada setan jenius yang telah menipunya bahwa ada bumi, ada langit, ada objek-objek di luar dirinya, ada bentuk, ada tempat dan seterusnya, padahal sesungguhnya semua itu hanya omong kosong, hanay khayalan belaka. Dengan keraguan inilah, Descartes mau mengatakan bahwa hanya kalau apa yang di tangkap oleh pancaindra telah di lihat melalui terang akal budi sebagai pasti dan tidak bisa di ragukan, apa yang di tangkap pancaindra itu bisa di terima sebagai pengetahuan. Semakinjelas ide tersebut dalam terang akal budi, semakin ide tersebut sesuai dengan realitas. Jadi, bukan sebaliknya bahwa semakin sesuai dengan realitas, ide itu semakin benar.[10]
Beberapa catatan perlu di berikan bagi maksud Descartes. Pertama-tama, perlu di catat bahwa isi dari cogito, yaitu apa yang di nyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah :cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir; yaitu eksistensi dari budi, sebuah substansi sadar. Namun hal ini tidak menjamin eksistensi dari badan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa ketika Descartes berbicara mengenai “berpikir”, ia tidak memaksudkan secara eksklusif pada penalaran saja; melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, yang di anggap sebagai kegiatan sadar, termasuk di dalam istilah “berpikir” ini. Meskipun mungkin status dari objek-objek mereka bisa di ragukan, kegiatan-kegiatan sadar ini tidak diragukan.
Perlu di catat pula, bahwa cogito bukanlah di capai melalui penyimpulan, dan “ergo” bukan lah ergo silogisme. Yang di maksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh di berikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan.[11]
            Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada pertanyaan: yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh halus itu, bila di lihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu; dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi : adakah beda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah jalan pikiran dalam metode cogito.
            Pada langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat di indera. Apa sekarang yang dapat di percaya, yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu itu adalah gerak, jumlah dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada dari pada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
            Betulkah yang tiga ini ( gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Descartes mengujinya. Kemudian ia pun meragukannya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata Descartes, matematika dapat salah, saya sering salah menjumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pastipun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti di ragukan. Kalau begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi filsafat ku? Aku ingin yang pasti, yang distinct. Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito.
            Masih ada satu yang tidak dapat di ragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu setan yang licik pun yang dapat mengganggu aku, tak seorang skeptis pun yang mampu meragukannya. Yaitu saya sedang ragu. Jelas sekali, pasti sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat di ragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu” benar-benar tidak dapat di ragukan adanya.
Saya sedang ragu, ada
Saya ragu karena saya berpikir
Benda inderawi tidak ada
Gerak, jumlah, besaran (ilmu pasti tidak ada)
Jadi, saya berpikir ada
            Aku yang sedang ragu itu di sebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes itu dapat di ringkaskan sebagai berikut:
 

                          
                                                                                                                                   [12]

            Spinoza memberi penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalisme atas dasar sistem ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil ilmu kebenaran yang tidak perlu di buktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika seseorang memahami makna yang terkandung oleh pernyataan,” sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik.,” maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya, tidak perlu ada bahan-bahan bukti yang lain kecuali makna yang di kandung oleh kata-kata yang di gunakan.[13]
Emanuel kant berpendapat bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus membedakan empat macam pengetahuan, yaitu analitis a priori, sintetis a priori, analitis a posteriari, dan sintetis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalamn atau yang ada sebelum pengalaman, sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi akibat pengalaman. Pengetahuan analitis merupakan hasil analisis, sedangkan sintetis merupakan hasil keadaan yang merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah.
Menurut kant, analitis a priori adalah pengetahuan yang tidak mendatangkan sesuatu yang baru kepada subjeknya dan di peroleh tanpa pengalaman, contoh lingkaran itu bulat. Bulat sebagai perdikat tidak memberikan hal yang baru pada subjek lingkaran. Sintetis a posteriori adalah kebajikan dari sintetis a priori, bahwa pengetahuan yang di peroleh mendatangkan hal yang baru akibat dari pengalaman, seperti meja bundar. Bundar adalah predikat yang memberikan arti baru bagi subjek meja sebab tidak semua meja bundar. Pengetahuan sintetis a priori adalah pengetahuan yang kendati bersifat a priori, tetapi sintetis juga seperti segala kejadian ada sebabnya.[14]
            Untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang tidak di ragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan empat langkah/aturan sebagai berikut: Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil suatu keputusan, dan hanya menerima yang di hadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil di sangsikan. Setiap perrsoalan yang di teliti, di bagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang di perlukan bagi pemecahan yang memadai. Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang kompleks dan nisbi. Setiap permasalahan di tinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang di lalaikan.
Langkah-langkah yang di ajukan Descartes dalam upaya untuk memperoleh kebenaran ini pada prinsipnya bersifat analitik, terutama langkah kedua dan ketiga.[15]  Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapat di percaya, maka menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dengan menggunakan norma cogito ergo sum. Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada sejak lahir, yaitu ”pemikiran”, ”Allah”, dan “keluasan”.[16]
Riwayat Hidup dan Karya Descartes
            Rene Descartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempatoachim Descartes, seorang anggota parlemen kota Britari, propensi Renatus di Prancis. KakeknyaPiere Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakng kedokteran. Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye  (sekarang disebut La Heye Descartes), propensi Teuraine, Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rane, tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan Si Filsuf Cilik.
            Pada tahun 1612, Rane Descartes pergi ke Paris untuk kemudian di sana ia mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia mengucilkan diri ke Faobourg Saint German untuk mengerjakn ilmu ukur. Pada tahun 1617 masuklah Descartes ke dalam tentara Belanda. Selama dua tahun ia mengalami suasana damai dan tentram di Negara Kincir Angin ini, sehingga ia dapat mengerjakan renungan falsafatnya. Tahun 1619 Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Dan selama musim dingin antara tahun 1619-1620, di kota ini ia mempunyai pengalaman, yang kemudian dituangkan ke dalam buku pertamanya, Descours de la Methode, salah satu pengalamannya yang unik adalah tentang mimpi yang dialami sebanayk tiga kali dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagian penulis bagaikan ilham dari tuhan.
            Descartes menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala ia memenuhi undangan Ratu Cristene yang menginginkan pelajaran-pelajaran yang diharuskan diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit yang menjemput ajalnya pada tahun 1650, ketika ia belum sempat menikah.
            Karya-karya Descartes cukup bnyak. Beberapa karyanya, antara lain adalah Discours de la Methode(1637) yang bearti uraian tentang metode yang isinya melukiskan pengembangan intelektualnya. Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti,  semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga.Satu-satunya kekecualian adalah ilmu pasti. Demikian menurut Descartes.

B.     Bayani
Secara bahasa kata al-bayan adalah penjelas, mengungkap dan menuangkan maksud pembicaraan dengan menggunakan lafad yang baik. Dalam hal ini bayan dapat di kategorikan menjadi dua: pertama, bayan yang menekankan dasar penafsiran wacana (khitab); kedua, bayan yang menekankan syarat pengambilan kesimpulan. Bayan yang pertama telah berkembang sejak Nabi hingga sahabat, sedang yang kedua berkembang setelah muncul perbedaan pemahaman di tengah umat akibat akses politik dan teologis.
Wacana pemikiran Arab Islam yang mengkategorikan ilmu menjadi dua yaitu aqliyah dan naqliyah, antara ilmu bahasa dan agama, yang akhirnya melahirkan di kotomi ilmu. Al-Jabiri melihat wacana tersebut adalah sebuah kefatalan, menurutnya ilmu-ilmu tersebut sesungguhnya dalam rumpun yang sama.
Ilmu bayany pada masa tadwin telah menghegemoni seluruh wacana keilmuan  Arab Islam yang di dalamnya karya fikih yang di hasilkan oleh empat imam mazhab, sehingga AL-Jabiri memandang ilmu yang di hasilkan oleh produk bayany tersebut tidak jauh dari ilmu politik.[17]

Prinsip epistimologi bayany
Al-Jabiri memberi tiga catatan penting karakter utama pengetahuan bayany yang berakar dari tradisi arab badui atau jahiliyah yaitu: pertama prinsip discontinue (infishal), yang memandang bahwa alam seisinya berdiri sendiri dan tidak berkaitan antara satu dengan yang lain, yang akhirnya berimplikasi dalam  memahami Tuhan dan ciptaan-Nya, yang akhirnya memunculkan wacana di kotomi, antara ilmu agama dan umum, kedua, prinsip keserbamungkinan (tajwiz), yang kurang mengindahkan hukum sebab akibat, dan tidak tertarik untuk mencari jawaban”mengapa sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi?” ketiga, prinsip kedekatan (muqarabah) sebagai perimbangan dari prinsip infishal dan tajwiz, yang di dasarkan pada kedekatan dan keserupaan yang akhirnya muncul logika analogis-deduktif, yang kurang memberikan peluang pendekatan lain.[18]

Perkembangan epistimologi bayany
Pada awalnya bayan hanya di pahami sebagai penjelasan (al-wadhu al-idzhar), tetapi akhirnya mengalami perkembangan makna sebagai pola pikir pada masa tiga tokoh yaitu Al-Syafi’I, Al-Jahiz, dan Ibnu Wahb.
Al-Syafi’I (W.204 H) berkecenderungan bahwa  bayan dalam perspektif dasar penafsiran. Ia memaknainya sebagai nama yang mencakup makna yang mengandung persoalan pokok (al-ashl) dan berkembang hingga cabang (al-far’). Al-Syafi’i merumuskan hirarkinya yang berkaitan dengan Al-Qur’an kedalam lima tingkatan yaitu: 1) bayan yang tidak memerlukan penjelasan. 2) bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan penjelasan as-Sunnah. 3) bayan yang keseluruhannya bersifat umum yang memerlukan penjelasan as-Sunnah. 4) bayan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an tetapi terdapat dalam al-Sunnah. 5) bayan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang akhirnya muncul qiyas sebagai upaya penyelesaiannya. Dari lima hirarki tersebut, Syafi’I kemudian merumuskan dasar agama yaitu Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
            Al-Jahiz (W.255 H) untuk memaknai bayan yang tepat, ia menatapkan syarat-syarat yaitu: 1) ucapan harus fasih, karena sebagai penentu makna. 2) huruf dan lafal harus selektif. 3) makna harus terbuka yang dapat di dekati dengan lima bentuk penjelasan yaitu lafal, isyarat, tulisan, keyakinan, dan keadaan/nisbah. 4) makna harus indah.  Sementara Ibnu Wahb merumuskan tingkat kepastian penunjukannya menjadi empat tingkatan: 1) penjelasan dengan menunjukkan bentuk materi pernyataan (bayan bi al-ikhtibar). 2) penjelasan dengan pemahamn dalam batin (bayan bi al-qalb). 3) penjelsan dengan redaksi lisan (bayan bi al-ibarah). 4) penjelasan denga redaksi tulisan (bayan bi al-kitab).
            Tiga pengertian sama-sama menjadikan teks (nash) sebagai rujukan pokok untuk membangun konsepsi tentang alam semesta untuk memperkuat akidah agama.
Ciri dan metodologi ini bahwa ia senantiasa menjadikan teks sebagai rujukan pokok. Oleh karena itu teks juga merupakan sumber ilmu pengetahuan, dan untuk menapatkan ilmu pengetahuan, potensi akal harus di kerahkan sebagai upaya pembenaran terhadap rujukan utamanya, yaitu teks. Kegigihan usaha tersebut lazim di sebut dengan ijtihad, yang dalam frame fikih di kontekskan dengan qiyas dan istinbath. Sementara dalam frame kalam di kontekskan dalam istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib.
Kerangka pikir tersebut berawal dari asumsi, bahwa apapun yang terjadi dalam pengalaman hidup, baik yang lampau, yang kini maupun yang akan datang tak satupun yang lepas dari rangkaian firman Tuhan dalam nash. Dengan kata lain bayany merupakan telaah teks baik Qur’an maupun Hadist. Setiap penafsiran yang berbeda, acuan kebenarannya adalah eksis dari adanya teks yang given. Oleh karena itu dalam dunia islam, bayany menjadi aliran yang paling dominan khususnya dalam kajian ulum al-Din.[19]    
























BAB III
PENUTUP
 Simpulan

            Rasionalisme adalah aliran modern yang dipelopori oleh Descartes. Di mana aliran ini beranggapan bahwa semua yang ada ini didasarkan pada akal pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam idea dan bukan di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa di peroleh dengan akal budi saja.
            Menurut kaum rasionalisme, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu. Konsekuensinya, kaum rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindra kita. Bagi mereka akal budi saja sudah cukup memberi pemahaman bagi kita, terlepas dari pancaindra. Dengan demikian, akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita peroleh.











DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Lolos Wacana Ilmu.
Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr Terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia terjemahkan oleh M. Nur Mufid bin Ali. 1992. Bandung: Mizan.
Keraf, A.Sonny, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Muhajir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarakin.
Rizal Mustansyir. 2001.  Filsafat Analitik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
S.Praja, Juhayai. 2003.  Aliaran-aliran filsafat & Etika. Jakarta: Kencana.
Suyudi.  2005. Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta: Mikraj.
T.Galagher, Kenneth. 1994. Epistimologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Tafsir, Ahmad. 1990.  Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Zubaedi. dkk . 2007. Filsafat Barat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.



[1] Juhayai S.Praja, Aliaran-aliran filsafat & Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 91
[2] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarakin, 1998), hlm. 71
[3] Juhayai S.Praja, Op.cit. hlm. 26
[4] Ahmad  Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), hlm. 111
[5] A.Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 44
[6] Falsafatuna pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr Terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia terjemahkan oleh M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 28. 
[7] Drs.Amsal Bakhtiar,MA., Filsafat Agama, (Jakarta: Lolos Wacana Ilmu, 1997),hlm.  45
[8] Drs.Amsal Bakhtiar,MA., Filsafat Agama, (Jakarta: Lolos Wacana Ilmu, 1997),hlm.  46
[9] Dr.Zubaedi, M.Ag.,M.Pd., dkk Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 21
[10] A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 45
[11] Kenneth T.Galagher, Epistimologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 33-34
[12] Ahmad  Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), hlm. 114-115
[13] Drs. Amsal Bakhtiar,MA., Filsafat Agama, (Jakarta: Lolos Wacana Ilmu, 1997),hlm.  45-46
[14] Ibid, hlm.  47-48
[15] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 28-29
[16] Drs. A. Susanto, M.Pd., Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2011), hlm. 37
[17] Dr.H.M.Suyudi,M.Ag, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mikraj,2005), hlm. 19
[18] Ibid, hlm. 20
[19] Dr.H.M.Suyudi,M.Ag, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mikraj, 2005), hlm. 21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar