BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai
kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan filsafat
untuk membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang
saat itu sudah lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba
membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat yang diambil dari gagasan
filsafat Yunani tidak bertentangan dengan iman. Para filosof berusaha memadukan
ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan filsafat, atau
antara akal dengan wahyu.
Para filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato, maupun
Plotinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof
Muslim. Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi
sekitar masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan
dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab
seperti Yahudi dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan”
atau musyrik (penyembah bintang).
Dengan demikian filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih
mandiri dalam berfikir tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur,
memiliki ciri khas dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok Islam,
walaupun secara umum disadari pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya sama,
yaitu soal Tuhan, manusia (mikro kosmos), dan alam (makro kosmos)
B.
RUMUSAN MASALAH
- Apa Pengertian Filsafat Islam?
- Bagaimana Sejarah Timbulnya Filsafat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI SEJARAH
FILSAFAT ISLAM
Dalam perspektif
kamus umum bahasa Indonesia sejarah diartikan sebagai silsilah atau asal
usul,[1] ada juga yang mengasumsikan
bahwa kata sejarah memiliki padanan kata dengan haul, maklumat, masalah yang
kesemuaannya di ambil dari bahasa Arab.
Sementara itu, Taufik Abdullah memberikan batasan-batasan
dalam menentukan apakah yang terjadi di masa lalu itu termasuk bagian dari
sejarah atau tidak, ada empat batasan yang di kategorikan olehnya, yaitu waktu,
pristiwa, tempat, dan lulus seleksi.[2]
Sedangkan kata filsafat sudah menjadi kata serapan bahasa
Indonesia yang diambil dari kata barat fil dan safat sehingga
terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.[3] Asmoro Achmadi juga
sependapat bahwa kata filsafat berasal dari Barat yang tepatnya di Yunani,
yaitu filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan.[4]
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa filsafat adalah
hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis,
radikal, dan universal.[5]
Sedangkan kata Islam menurut kamus ilmiah populer berarti
damai, tentram dan agama yang di bawa Muhammad saw.[6]
Demikianlah pengertian sejarah, filsafat, dan Islam
secara etimologi, jadi dapat diasumsikan sementara bahwa sejarah filsafat Islam
adalah asal usul hasil kerja berpikir menemukan hakikat sesuatu secara
sistematis, radikal, dan universal melalui pendekatan Islami.
Dilihat dari sisi yang lain, banyak para filusuf yang
berbeda pendapat dalam menginterpretasikan filsafat Islam itu sendiri. Ada yang
menginterpretasikan filsafat Islam sebagai hasil pemikiran filusuf tentang
ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu
aturan pemikiran yang logis dan sistematis.[7]
Lain halnya dengan Ahmad Fu’ad al-Ahwani, ia mendefinisikan
filsafat Islam sebagai pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran
Islam.
Ibrahim Madkur memberikan batasan Filsafat islam itu
untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan
akal, agama dan filsafat.[8]
Tentang penamaan disiplin ilmu ini, terdapat dua versi pendapat, yaitu Filsafat
Islam dan Filsafat Arab, dengan masing-masing argumentasinya, yang
memberi nama Filsafat Arab pada pokoknya mengajukan alasan:
Pertama: Predikat “Arab”
diberikan kepada ilmu ini karena bahasa yang di pergunakan dalam
pengungkapannya adalah bahasa Arab. Maurice de Wulf sebagai pendukung pendapat
ini menyatakan, istilah Islam tidak tepat menjadi ciri dari ilmu ini, karena
hal itu berarti mengharuskan orang menelaah buku-buku selain berbahasa Arab,
misalnya Urdu, Persia, sedangkan karya yang diteliti itu adalah bertuliskan
Arab, tanpa memperhatikan agama penulisnya.
Kedua: Dengan memberi
cap Islam pada ilmu ini, berarti diharuskan menghilangkan sejumlah tokoh
pemikir dan penterjemah yang bukan beragama Islam dan tidak sedikit jasanya
dalam membangun perkembangan ilmu ini, tetapi masih dalam rumpun bangsa Arab,
seperti beragama Majusi, Nasrani, Yahudi, dan Shabiah.
Ketiga: Sejarah Arab
lebih tua dari sejarah Islam. Islam lahir di kalangan bangsa Arab,
disebarluaskan oleh bangsa Arab, maka seluruh kebudayaan yang berada di bawah
pengaruh sejarah bangsa ini haruslah diberi predikat “Arab” termasuk
filsafatnya.
Adapun yang memberi istilah Filsafat Islam, pada
pokoknya mengemukakan tiga alasan, yaitu:
Pertama: Para filusuf
yang tercatat memberikan sumbangan pengetahuannya kepada perkembangan ilmu ini
sendiri menamakannya dengan Filsafat Islam. Filusuf tersebut antara lain
Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Rusyd.
Kedua: Bahwa Islam
bukan sekedar nama agama, tetapi juga mengandung unsur kebudayaan dan
peradaban. Sejak lahirnya Islam telah merupakan kekuatan politik yang telah
berhasil mempersatukan pelbagai suku bangsa menjadi satu umat dalam
kekhilafahan Islam, Dengan memberi predikat Arab berarti harus mengeluarkan
para filusuf yang bukan bangsa Arab, padahal jumlah mereka lebih banyak, antara
lain Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun. Jadi, dengan predikat Islam akan
lebih umum dibanding Arab, sehingga keseluruhan tokoh-tokoh dimaksud tercakup
di dalamnya.
Ketiga: Filsafat Islam
tidak mungkin terbina tanpa Dawlah Islamiyyah, dan persoalan yang
dibahas juga persoalan agama Islam, maka yang tepat dalam penamaannya adalah
filsafat Islam.
Kalau dianalisis tentang penamaan tersebut, dapat
diasumsikan bahwa memberi predikat Arab tidaklah tepat, karena kebanyakan
filusuf yang membangun ilmu ini bukanlah orang Arab, melainkan orang Persia,
Turki, Afganistan, Spanyol, dan lain-lain, walaupun kebanyakan karya mereka
ditulis bahasa Arab, tetapi yang pasti bahwa orang Arab belum mengenal ilmu ini
sebelum ekspansi Islam. Jadi, amatlah tepat menamakan ilmu ini dengan Filsafat
Islam. Artinya, ilmu ini lahir di dunia Islam, tanpa memperbedakan etnis
dan bahasa.
B.
SEJARAH MUNCULNYA
FILSAFAT ISLAM
Berbagai teori telah dikemukakan mengenai asal mula
filsafat Islam oleh orang orang-orang yang tahu maupun sebaliknya, atau bahkan
menganggap tidak perlu mempelajari sumber aslinya. Satu diantara teori-teori
tersebut menyatakan bahwa filsafat Islam lahir berkat masuknya pemikiran Yunani
kedalam pemikiran Arab. Dikatakan hanya melalui melalui penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arablah kaum muslimin
dirangsang dan dipaksa untuk berpikir, oleh karena banyak ajaran dan
kepercayaan yang sampai kepada bangsa Arab melalui karya-karya itu yang
bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran
yang dianut oleh Plato dan muridnya Aristoteles bertentangan dengan al-Qur’an
dan tidak dapat diterima oleh umat Islam.[9]
kemudian muncul sebuah asumsi bahwa filsafat Islam tidak
akan lahir jika pemikiran-pemikiran Yunani tidak masuk ke negeri-negeri Islam
dengan ajaran-ajarannya yang berbeda dengan Islam adalah tidak benar adanya,
padahal sumber inspirasi yang sesungguhnya dan asli bagi pemikir dan
intelektual Islam adalah al-Qur’an dan Hadis.[10]
Sementara itu pemikiran Yunani telah memberikan motivasi
kepada sumber inspirasi tersebut, tidak dapat dielakkan lagi bahwa filsafat
Islam berhutang budi kepada pemikiran Yunani, akan tetapi masih ada saja
ditemukan perbedaan yang signifikan antara pemikir muslim dan pemikir Yunani
mengenai Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Disisi lain para pemikir dan intelektual Islampun
memasukkan masalah-masalah baru ke dalam filsafat yang asing bagi bangsa
Yunani, Misalnya para filusuf muslim menekankan wahyu sebagai salah satu sumber
pengetahuan dan membahas sifat kesadaran nubuat, mereka juga memberikan
perhatian yang besar kepada soal kehidupan di akhirat, serta pembuatan
perhitungan hari kiamat dan pembenarannya menurut ajaran al-Qur’an, selain itu
mengenai masalah penciptaan, kebaikan dan kejahatan, kebebasan kehendak dan
determenisme dibahas oleh para pemikir muslim dalam kaitannya dengan agama dan
kebudayaan mereka. Mereka juga berusaha mendamaikan filsafat dan agama berusaha
menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara keduannya.
Oleh sebab itu, jelaslah bahwa filsafat Islam bukan
jiplakan atau hanya sekedar imitasi dari pemikiran Yunani, karena filsafat
Islam pertama-tama dan secara khususnya menggarap masalah-masalah yang berasal
dari dan mempunyai relevansi bagi umat Islam, hal ini tidak berarti menyangkal
hutang budi pemikiran muslim kepada bangsa Yunani, melainkan hanya dimaksudkan
untuk meluruskan persoalan saja.[11]
Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat
Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan ditemukan dua faktor pendorong,
baik yang dari Islam sendiri (internal) maupun yang dari luar (eksternal).
Menurut Hadariansyah, faktor internal yang mendorong
munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang di
dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir.[12] Adapun faktor eksternal
yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku
bahasa Yunani ke bahasa Arab.[13]
Sebagaimana yang sudah tertera dalam sejarah, bahwa
filsafat awalnya berasal dari Yunani, selain berkembang di Yunani, orang-orang
luar Yunanipun ikut mengembangkan sayapnya di ranah filsafat, terutama
orang-orang romawi.
Ketika di Romawi sudah mengalami perkembangan, jelaslah
bahwa Alexander the Great tak mau kalau perkembangannya stagnan sampai situ
saja, lalu ia berinisiatif memperlebar wilayah kekuasaannya ke Afrika Utara dan
Asia, ia tak hanya membawa segerombolan tentara, tetapi mengikut sertakan para
ilmuan.
Setelah kemenangan dalam genggamannya, kemudian Alexander
mencoba mengkombinasikan antara kebudayaan Yunani dengan kebudayaan
negeri-negeri yang baru dikuasainya. Terbukti dengan didirikannya pusat-pusat
kebudayaan dengan mewujudkan kebudayaan Yunani sebagai intinya.
Untuk bagian Barat didirikan pusat kebudayaan yang
tepatnya di Athena dan Roma, sedangkan untuk bagian Timur didirikan pusat
kebudayaan yang tepatnya di Alexandria (Iskandariyah) Mesir, Antioch di Suriah,
Jundisyabur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia, bersamaan dengan pristiwa
tersebutlah filsafat mulai masuk ke Timur.
Ketika pemerintahan berada di bawah kekuasaan khulafaur
rasyidin mereka dapat menaklukan kota-kota penting seperti Mesir, Suriah, Irak,
dan Persia dengan sendirinya pun pusat-pusat kebudayaan yang berada di sana
dapat beralih tangan kepada mereka. Namun yang menjadi permasalahan pada waktu
itu umat Islam belum memberikan perhatian yang lebih terhadap ilmu pengetahuan
disertai ketidakbisaan mereka dalam berbahasa Yunani.
Pada masa selanjutnya tepatnya di masa Daulah Abbasiyah
berkuasa, terjadi perubahan yang sangat signifikan, yang dulunya umat Islam
kurang perhatiannya terhadap Ilmu Pengetahuan berevolusi menjadi umat yang
penuh antusias terhadap ilmu pengetahuan.
Harun ar-Rasyid merupakan khalifah di masa Daulah
Abbasiyah, beliaulah orang yang pada waktu itu menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap pengetahuan dan filsafat Yunani, terbukti dengan pernahnya
beliau belajar filsafat di Persia dibawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak.
Di masa pemerintahannya ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi,
memang dulu sempat ada juga kegiatan penerjemahan seperti ini namun tidak
dilakukan secara resmi. Buku-buku mengenai kedokteranlah yang didahulukan
didalam penerjemahan, kemudian baru ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya
termasuk filsafat. Awalnya kedalam bahasa Suryani kemudian ke dalam bahasa
Arab, namun pada akhirnya penerjemahan langsung ke bahasa Arab.
Kegiatan tersebut terus sampai mencapai puncak
kemajuannya di masa pemerintahan khalifah al-Makmun, beliau adalah seorang
intelektual yang sangat gandrung terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat.[14] Kemudian mendirikan sebuah
wadah penerjemahan sekaligus sebagai perpustakaan yang membantu perkembangan
ilmu pengetahuan dan filsafat.
Untuk kepentingan tersebut al-Makmun mengutus para
prajuritnya ke pelbagai daerah untuk menemukan buku-buku pengetahuan dan
filsafat yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan adanya kegiatan penerjemahan tersebut tanpa
disadari mulai menarik minat para intelektual dan pemikir Islam untuk
mempelajarinya. Sebagian dari mereka setelah mempelajari dan menyerap
pemikiran-pemikiran rasional filsafat Yunani tersebut, mulai menciptakan
pikiran-pikiran yang rasional juga, dan diwaktu itulah filsafat Islam mulai
dikenal.
Dalam perspektif yang lain Asmoro Achmadi
mengkronologiskan munculnya filsafat Islam di awali setelah Kaisar Yustianus
menutup akademi Neoplatonisme di Athena, beberapa guru besar hijrah ke Kresipon
tahun 527, yang kemudian disambut oleh Kaisar Khusrwa tahun 529. Setelah itu di
tempat yang baru mengadakan kegiatan mengajarkan filsafat, mereka dalam waktu
20 tahun di samping mengajarkan
filsafat, juga mempengaruhi lahirnya lembaga-lembaga yang mengajarkan filsafat
seperti di Alexandrian, Anthipia, Beirut.[15]
Sifat khas orang-orang Arab saat itu yaitu hidup
mengembara (kafilah) bergeser pada proses urbanisasi. Kemudian diikuti pudarnya
dasar kehidupan asli yang terpendam dalam jiwa Arab, dulu orang-orang Arab
mengutamakan kejantanan dalam menghadapi hidup yang serba keras, karena
terpengaruh keadaan geografis (luasnya padang pasir), setelah proses urbanisasi
mereka terikat oleh birokrasi dan mengalami krisis identitas dalam bidang
sosial dan agama (dari pola mengembara menuju pola ketertiban).
Setelah mendapatkan kemapanan mereka mengalami proses
akulturasi penguasaan ilmu, maka mulailah mengadakan kontak intelektual yang
pada saat itu tersedi warisan pemikiran Yunani.
Proses akulturasi tersebut terjadi lewat Via Diffusa
(kontak pergaulan sehari-hari) dan Via Bruditorum (kehendak mencari
karya-karya Yunani). Proses akulturasi ini mencapai puncaknya dengan
didirikannya lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan, dan perpustakaan.
Misalnya di tahun 833 h khalifah al-Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah di
Baghdad, selanjutnya di tahun 972 h khalifah Hakam mendirikan universitas al-Azhar
di Kairo Mesir.
Kenyataan inilah yang membuktikan bahwa filsafat Yunani
berperan sebagai alat integrasi sosial yang baru.[16]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Tak bisa dipungkiri bahwa filsafat awalnya memang berasal
dari Yunani, jadi merupakan hal yang
wajar bahkan sah-sah saja, ketika muncul perspektif bahwa filsafat Islam itu
merupakan jiplakan atau hanya sekedar imitasi dari filsafat Yunani.
Mengenai kronologis munculnya filsafat Islam beberapa
ilmuan mengalami sedikit perbedaan, seperti yang dijelaskan Hasyimah Nasution
pada bukunya “Filsafat Islam” ada yang mengatakan bahwa filsafat Islam
terlahir hanya gara-gara adanya penerjemahan buku-buku pengetahuan berbahasa
Yunani kedalam bahasa Arab.
Lain halnya dengan yang dipaparkan oleh Hadariansyah
dalam bukunya “Pengantar Filsafat Islam” bahwa filsafat Islam, terlahir
dari kitab suci umat Islam itu sendiri, dikarenakan banyaknya terkandung
ayat-ayat yang menyuruh untuk berpikir. Di sisi lain karena gencarnya
usaha-usaha yang dilakukan oleh Alexander the Great dengan menaklukkan
kota-kota penting seperti Mesir, Irak, Suriah dan Persia, yang kemudian di
kota-kota penting tersebut didirikan pusat-pusat kebudayaan yang membantu
mengembangkan usaha Alexander dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan Filsafat
Yunani.
namun, ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khulfa
ar-Rasyidin keadaan menjadi terbalik, mereka mampu menaklukkan Alexander
sehingga kota-kota penting beserta pusat-pusat kebudayaannya dapat di kuasai
oleh Khulafaur Rasyidin, namun yang disayangkan pada waktu itu perhatian
umat Islam tentang ilmu pengetahuan dan Filsafat masih minim karena
keterbatasan kemampuan dalam berbahasa Yunani.
Baru ketika pemerintahan dipimpin oleh Harun ar-Rasyid
lah rasa antusias terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani itu tumbuh,
yang kemudian ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi, yang kemudian
dilanjutkan oleh anaknya al-Makmun yang mendirikan sebuah wadah yang diberi
nama Bait al-Hikmah, yang difungsikan sebagai wadah penerjemahan dan
perpustakaan demi kelangsungan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan pada
waktu itulah filsafat Yunani mulai dikenal di dunia Islam.
Beda lagi dengan apa yang diungkapkan Asmoro Achmadi
dalam bukunya “Filsafat Umum” ia mengungkapkan bahwa munculnya filsafat
Islam di sebabkan adanya proses akulturasi baik sosial, agama, pengetahuan,
maupun budaya yang sampai akhirnya dapat mendirikan sebuah perpustakaan yang di
beri nama Bait al-Hikmah di Baghdad dan sebuah universitas yaitu al-Azhar di
Kairo yang sampai sekarang masih terkenal dengan bidang keilmuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Esha, Muhammad In’am. Percikan
Filsafat: Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Hadariansyah, Pengantar Filsafat
Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka. Banjarmasin: Kafusari Press, 2012.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Nasution, Hasyimah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Qadir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Terjemahan oleh
Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Rajasa, Sultan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama, tth.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar