Sabtu, 12 November 2016

SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG

Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan filsafat untuk membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang saat itu sudah lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat yang diambil dari gagasan filsafat Yunani tidak bertentangan dengan iman. Para filosof berusaha memadukan ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan filsafat, atau antara akal dengan wahyu.
Para filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato, maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Muslim. Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi sekitar masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab seperti Yahudi dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan” atau musyrik (penyembah bintang).
Dengan demikian filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih mandiri dalam berfikir tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur, memiliki ciri khas dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok Islam, walaupun secara umum disadari pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya sama, yaitu soal Tuhan, manusia (mikro kosmos), dan alam (makro kosmos)

B.     RUMUSAN MASALAH

  1. Apa Pengertian Filsafat Islam?
  2. Bagaimana Sejarah Timbulnya Filsafat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI SEJARAH FILSAFAT ISLAM
Dalam perspektif  kamus umum bahasa Indonesia sejarah diartikan sebagai silsilah atau asal usul,[1] ada juga yang mengasumsikan bahwa kata sejarah memiliki padanan kata dengan haul, maklumat, masalah yang kesemuaannya di ambil dari bahasa Arab.
Sementara itu, Taufik Abdullah memberikan batasan-batasan dalam menentukan apakah yang terjadi di masa lalu itu termasuk bagian dari sejarah atau tidak, ada empat batasan yang di kategorikan olehnya, yaitu waktu, pristiwa, tempat, dan lulus seleksi.[2]
Sedangkan kata filsafat sudah menjadi kata serapan bahasa Indonesia yang diambil dari kata barat fil dan safat sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.[3] Asmoro Achmadi juga sependapat bahwa kata filsafat berasal dari Barat yang tepatnya di Yunani, yaitu filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan.[4]
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.[5]
Sedangkan kata Islam menurut kamus ilmiah populer berarti damai, tentram dan agama yang di bawa Muhammad saw.[6]
Demikianlah pengertian sejarah, filsafat, dan Islam secara etimologi, jadi dapat diasumsikan sementara bahwa sejarah filsafat Islam adalah asal usul hasil kerja berpikir menemukan hakikat sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal melalui pendekatan Islami.
Dilihat dari sisi yang lain, banyak para filusuf yang berbeda pendapat dalam menginterpretasikan filsafat Islam itu sendiri. Ada yang menginterpretasikan filsafat Islam sebagai hasil pemikiran filusuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.[7]
Lain halnya dengan Ahmad Fu’ad al-Ahwani, ia mendefinisikan filsafat Islam sebagai pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
Ibrahim Madkur memberikan batasan Filsafat islam itu untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.[8]
Tentang penamaan disiplin ilmu ini,  terdapat dua versi pendapat, yaitu Filsafat Islam dan Filsafat Arab, dengan masing-masing argumentasinya, yang memberi nama Filsafat Arab pada pokoknya mengajukan alasan:
Pertama: Predikat “Arab” diberikan kepada ilmu ini karena bahasa yang di pergunakan dalam pengungkapannya adalah bahasa Arab. Maurice de Wulf sebagai pendukung pendapat ini menyatakan, istilah Islam tidak tepat menjadi ciri dari ilmu ini, karena hal itu berarti mengharuskan orang menelaah buku-buku selain berbahasa Arab, misalnya Urdu, Persia, sedangkan karya yang diteliti itu adalah bertuliskan Arab, tanpa memperhatikan agama penulisnya.

Kedua: Dengan memberi cap Islam pada ilmu ini, berarti diharuskan menghilangkan sejumlah tokoh pemikir dan penterjemah yang bukan beragama Islam dan tidak sedikit jasanya dalam membangun perkembangan ilmu ini, tetapi masih dalam rumpun bangsa Arab, seperti beragama Majusi, Nasrani, Yahudi, dan Shabiah.

Ketiga: Sejarah Arab lebih tua dari sejarah Islam. Islam lahir di kalangan bangsa Arab, disebarluaskan oleh bangsa Arab, maka seluruh kebudayaan yang berada di bawah pengaruh sejarah bangsa ini haruslah diberi predikat “Arab” termasuk filsafatnya.
Adapun yang memberi istilah Filsafat Islam, pada pokoknya mengemukakan tiga alasan, yaitu:
Pertama: Para filusuf yang tercatat memberikan sumbangan pengetahuannya kepada perkembangan ilmu ini sendiri menamakannya dengan Filsafat Islam. Filusuf tersebut antara lain Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Rusyd.
Kedua: Bahwa Islam bukan sekedar nama agama, tetapi juga mengandung unsur kebudayaan dan peradaban. Sejak lahirnya Islam telah merupakan kekuatan politik yang telah berhasil mempersatukan pelbagai suku bangsa menjadi satu umat dalam kekhilafahan Islam, Dengan memberi predikat Arab berarti harus mengeluarkan para filusuf yang bukan bangsa Arab, padahal jumlah mereka lebih banyak, antara lain Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun. Jadi, dengan predikat Islam akan lebih umum dibanding Arab, sehingga keseluruhan tokoh-tokoh dimaksud tercakup di dalamnya.
Ketiga: Filsafat Islam tidak mungkin terbina tanpa Dawlah Islamiyyah, dan persoalan yang dibahas juga persoalan agama Islam, maka yang tepat dalam penamaannya adalah filsafat Islam.
Kalau dianalisis tentang penamaan tersebut, dapat diasumsikan bahwa memberi predikat Arab tidaklah tepat, karena kebanyakan filusuf yang membangun ilmu ini bukanlah orang Arab, melainkan orang Persia, Turki, Afganistan, Spanyol, dan lain-lain, walaupun kebanyakan karya mereka ditulis bahasa Arab, tetapi yang pasti bahwa orang Arab belum mengenal ilmu ini sebelum ekspansi Islam. Jadi, amatlah tepat menamakan ilmu ini dengan Filsafat Islam. Artinya, ilmu ini lahir di dunia Islam, tanpa memperbedakan etnis dan bahasa.

B.     SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT ISLAM
Berbagai teori telah dikemukakan mengenai asal mula filsafat Islam oleh orang orang-orang yang tahu maupun sebaliknya, atau bahkan menganggap tidak perlu mempelajari sumber aslinya. Satu diantara teori-teori tersebut menyatakan bahwa filsafat Islam lahir berkat masuknya pemikiran Yunani kedalam pemikiran Arab. Dikatakan hanya melalui melalui penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arablah kaum muslimin dirangsang dan dipaksa untuk berpikir, oleh karena banyak ajaran dan kepercayaan yang sampai kepada bangsa Arab melalui karya-karya itu yang bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran yang dianut oleh Plato dan muridnya Aristoteles bertentangan dengan al-Qur’an dan tidak dapat diterima oleh umat Islam.[9]
kemudian muncul sebuah asumsi bahwa filsafat Islam tidak akan lahir jika pemikiran-pemikiran Yunani tidak masuk ke negeri-negeri Islam dengan ajaran-ajarannya yang berbeda dengan Islam adalah tidak benar adanya, padahal sumber inspirasi yang sesungguhnya dan asli bagi pemikir dan intelektual Islam adalah al-Qur’an dan Hadis.[10]
Sementara itu pemikiran Yunani telah memberikan motivasi kepada sumber inspirasi tersebut, tidak dapat dielakkan lagi bahwa filsafat Islam berhutang budi kepada pemikiran Yunani, akan tetapi masih ada saja ditemukan perbedaan yang signifikan antara pemikir muslim dan pemikir Yunani mengenai Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Disisi lain para pemikir dan intelektual Islampun memasukkan masalah-masalah baru ke dalam filsafat yang asing bagi bangsa Yunani, Misalnya para filusuf muslim menekankan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan dan membahas sifat kesadaran nubuat, mereka juga memberikan perhatian yang besar kepada soal kehidupan di akhirat, serta pembuatan perhitungan hari kiamat dan pembenarannya menurut ajaran al-Qur’an, selain itu mengenai masalah penciptaan, kebaikan dan kejahatan, kebebasan kehendak dan determenisme dibahas oleh para pemikir muslim dalam kaitannya dengan agama dan kebudayaan mereka. Mereka juga berusaha mendamaikan filsafat dan agama berusaha menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara keduannya.
Oleh sebab itu, jelaslah bahwa filsafat Islam bukan jiplakan atau hanya sekedar imitasi dari pemikiran Yunani, karena filsafat Islam pertama-tama dan secara khususnya menggarap masalah-masalah yang berasal dari dan mempunyai relevansi bagi umat Islam, hal ini tidak berarti menyangkal hutang budi pemikiran muslim kepada bangsa Yunani, melainkan hanya dimaksudkan untuk meluruskan persoalan saja.[11]
Dari sumber yang berbeda dijelaskan Munculnya filsafat Islam jika ditilik dari sejarahnya, maka akan ditemukan dua faktor pendorong, baik yang dari Islam sendiri (internal) maupun yang dari luar (eksternal).
Menurut Hadariansyah, faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir.[12] Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa Arab.[13]
Sebagaimana yang sudah tertera dalam sejarah, bahwa filsafat awalnya berasal dari Yunani, selain berkembang di Yunani, orang-orang luar Yunanipun ikut mengembangkan sayapnya di ranah filsafat, terutama orang-orang romawi.
Ketika di Romawi sudah mengalami perkembangan, jelaslah bahwa Alexander the Great tak mau kalau perkembangannya stagnan sampai situ saja, lalu ia berinisiatif memperlebar wilayah kekuasaannya ke Afrika Utara dan Asia, ia tak hanya membawa segerombolan tentara, tetapi mengikut sertakan para ilmuan.
Setelah kemenangan dalam genggamannya, kemudian Alexander mencoba mengkombinasikan antara kebudayaan Yunani dengan kebudayaan negeri-negeri yang baru dikuasainya. Terbukti dengan didirikannya pusat-pusat kebudayaan dengan mewujudkan kebudayaan Yunani sebagai intinya.
Untuk bagian Barat didirikan pusat kebudayaan yang tepatnya di Athena dan Roma, sedangkan untuk bagian Timur didirikan pusat kebudayaan yang tepatnya di Alexandria (Iskandariyah) Mesir, Antioch di Suriah, Jundisyabur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia, bersamaan dengan pristiwa tersebutlah filsafat mulai masuk ke Timur.
Ketika pemerintahan berada di bawah kekuasaan khulafaur rasyidin mereka dapat menaklukan kota-kota penting seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Persia dengan sendirinya pun pusat-pusat kebudayaan yang berada di sana dapat beralih tangan kepada mereka. Namun yang menjadi permasalahan pada waktu itu umat Islam belum memberikan perhatian yang lebih terhadap ilmu pengetahuan disertai ketidakbisaan mereka dalam berbahasa Yunani.
Pada masa selanjutnya tepatnya di masa Daulah Abbasiyah berkuasa, terjadi perubahan yang sangat signifikan, yang dulunya umat Islam kurang perhatiannya terhadap Ilmu Pengetahuan berevolusi menjadi umat yang penuh antusias terhadap ilmu pengetahuan.
Harun ar-Rasyid merupakan khalifah di masa Daulah Abbasiyah, beliaulah orang yang pada waktu itu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pengetahuan dan filsafat Yunani, terbukti dengan pernahnya beliau belajar filsafat di Persia dibawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak. Di masa pemerintahannya ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi, memang dulu sempat ada juga kegiatan penerjemahan seperti ini namun tidak dilakukan secara resmi. Buku-buku mengenai kedokteranlah yang didahulukan didalam penerjemahan, kemudian baru ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya termasuk filsafat. Awalnya kedalam bahasa Suryani kemudian ke dalam bahasa Arab, namun pada akhirnya penerjemahan langsung ke bahasa Arab.
Kegiatan tersebut terus sampai mencapai puncak kemajuannya di masa pemerintahan khalifah al-Makmun, beliau adalah seorang intelektual yang sangat gandrung terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat.[14] Kemudian mendirikan sebuah wadah penerjemahan sekaligus sebagai perpustakaan yang membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Untuk kepentingan tersebut al-Makmun mengutus para prajuritnya ke pelbagai daerah untuk menemukan buku-buku pengetahuan dan filsafat yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan adanya kegiatan penerjemahan tersebut tanpa disadari mulai menarik minat para intelektual dan pemikir Islam untuk mempelajarinya. Sebagian dari mereka setelah mempelajari dan menyerap pemikiran-pemikiran rasional filsafat Yunani tersebut, mulai menciptakan pikiran-pikiran yang rasional juga, dan diwaktu itulah filsafat Islam mulai dikenal.
Dalam perspektif yang lain Asmoro Achmadi mengkronologiskan munculnya filsafat Islam di awali setelah Kaisar Yustianus menutup akademi Neoplatonisme di Athena, beberapa guru besar hijrah ke Kresipon tahun 527, yang kemudian disambut oleh Kaisar Khusrwa tahun 529. Setelah itu di tempat yang baru mengadakan kegiatan mengajarkan filsafat, mereka dalam waktu 20 tahun di samping  mengajarkan filsafat, juga mempengaruhi lahirnya lembaga-lembaga yang mengajarkan filsafat seperti di Alexandrian, Anthipia, Beirut.[15]
Sifat khas orang-orang Arab saat itu yaitu hidup mengembara (kafilah) bergeser pada proses urbanisasi. Kemudian diikuti pudarnya dasar kehidupan asli yang terpendam dalam jiwa Arab, dulu orang-orang Arab mengutamakan kejantanan dalam menghadapi hidup yang serba keras, karena terpengaruh keadaan geografis (luasnya padang pasir), setelah proses urbanisasi mereka terikat oleh birokrasi dan mengalami krisis identitas dalam bidang sosial dan agama (dari pola mengembara menuju pola ketertiban).
Setelah mendapatkan kemapanan mereka mengalami proses akulturasi penguasaan ilmu, maka mulailah mengadakan kontak intelektual yang pada saat itu tersedi warisan pemikiran Yunani.
Proses akulturasi tersebut terjadi lewat Via Diffusa (kontak pergaulan sehari-hari) dan Via Bruditorum (kehendak mencari karya-karya Yunani). Proses akulturasi ini mencapai puncaknya dengan didirikannya lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan, dan perpustakaan. Misalnya di tahun 833 h khalifah al-Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad, selanjutnya di tahun 972 h khalifah Hakam mendirikan universitas al-Azhar di Kairo Mesir.
Kenyataan inilah yang membuktikan bahwa filsafat Yunani berperan sebagai alat integrasi sosial yang baru.[16]

BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN

Tak bisa dipungkiri bahwa filsafat awalnya memang berasal dari Yunani, jadi  merupakan hal yang wajar bahkan sah-sah saja, ketika muncul perspektif bahwa filsafat Islam itu merupakan jiplakan atau hanya sekedar imitasi dari filsafat Yunani.
Mengenai kronologis munculnya filsafat Islam beberapa ilmuan mengalami sedikit perbedaan, seperti yang dijelaskan Hasyimah Nasution pada bukunya “Filsafat Islam” ada yang mengatakan bahwa filsafat Islam terlahir hanya gara-gara adanya penerjemahan buku-buku pengetahuan berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab.
Lain halnya dengan yang dipaparkan oleh Hadariansyah dalam bukunya “Pengantar Filsafat Islam” bahwa filsafat Islam, terlahir dari kitab suci umat Islam itu sendiri, dikarenakan banyaknya terkandung ayat-ayat yang menyuruh untuk berpikir. Di sisi lain karena gencarnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Alexander the Great dengan menaklukkan kota-kota penting seperti Mesir, Irak, Suriah dan Persia, yang kemudian di kota-kota penting tersebut didirikan pusat-pusat kebudayaan yang membantu mengembangkan usaha Alexander dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan Filsafat Yunani.
namun, ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khulfa ar-Rasyidin keadaan menjadi terbalik, mereka mampu menaklukkan Alexander sehingga kota-kota penting beserta pusat-pusat kebudayaannya dapat di kuasai oleh Khulafaur Rasyidin, namun yang disayangkan pada waktu itu perhatian umat Islam tentang ilmu pengetahuan dan Filsafat masih minim karena keterbatasan kemampuan dalam berbahasa Yunani.
Baru ketika pemerintahan dipimpin oleh Harun ar-Rasyid lah rasa antusias terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani itu tumbuh, yang kemudian ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya al-Makmun yang mendirikan sebuah wadah yang diberi nama Bait al-Hikmah, yang difungsikan sebagai wadah penerjemahan dan perpustakaan demi kelangsungan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan pada waktu itulah filsafat Yunani mulai dikenal di dunia Islam.
Beda lagi dengan apa yang diungkapkan Asmoro Achmadi dalam bukunya “Filsafat Umum” ia mengungkapkan bahwa munculnya filsafat Islam di sebabkan adanya proses akulturasi baik sosial, agama, pengetahuan, maupun budaya yang sampai akhirnya dapat mendirikan sebuah perpustakaan yang di beri nama Bait al-Hikmah di Baghdad dan sebuah universitas yaitu al-Azhar di Kairo yang sampai sekarang masih terkenal dengan bidang keilmuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Esha, Muhammad In’am. Percikan Filsafat: Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UIN Maliki Press, 2011.

Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka. Banjarmasin: Kafusari Press, 2012.

Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Nasution, Hasyimah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Qadir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Terjemahan oleh Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Rajasa, Sultan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama, tth.

Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.




[1] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta :Balai Pustaka, 1976), h. 887.
[2] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 2-3.
[3] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 9.
[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 1.
[5] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 2.
[6] Sultan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, tth), h. 259.
[7] Hasyimsyah Nasution. Op. Cit., h. 2.
[8] Ibid, h. 3.
[9] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 30.
[10] Ibid.
[11] Ibid., h. 30-31.
[12] Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat Mereka, (Banjarmasin: Kafusari Press, 2012), h. 4.
[13] Ibid., h. 7.
[14] Ibid., h. 9-10.
[15]Asmoro Achmadi.Op. Cit., h. 98.
[16] Ibid.,h . 99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar