BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman
Etika dalam pengembangan ilmu ternyata sangat dibutuhkan. Hubungan antara ilmu
dan etika akan membangun masyarakat ilmiyah, yang berbudaya ilmu pengetahuan.
Dari pokok bahasan itulah maka kita perlu membahas secara lebih dalam tentang
unsur-unsur ilmu dan etika seperti kehendak manusia yang bebas, tujuan dari suatu
perilaku cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai tujuan, akibat yang
ditimbulkan oleh masyarakat, tentang pilihan bebas atau tidak, pemahaman
tentang ada batas atau tidak ada batas nilai baik dan buruk itu, konsep tentang
kesadaran moralitas adanya hakikat manusia, adanya hakikat tuhan, perlawanan
etis terhadap nilai baik dan buruk, dinamika diri manusia, yang mana mencari
keseimbangan moral, sifat keras kepala dan hilangnya rasa malu dan dosa dari
perilaku manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
Sebagai
usaha mengarahkan pembahasan di dalam makalah ini, maka dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Apa Hakikat ilmu dan pengembanganya?
2.
Apakah yang di maksud dengan etika?
3.
Apa etika keilmuan itu?
C. TUJUAN
Berdasarkan
point-point pertanyaan tersebu diatas maka penulis mempunyai tujuan dalam
penulisan makalah ini, yaitu :
1.
Memahami Hakikat ilmu pengatahuan dan pengembanganya
2.
Memahami arti etika
3.
Memahami etika keilmuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT ILMU
DAN PENGEMBANGANYA
istilah ilmu sendiri sebenarnya
diambil dari bahasa arab “alima, ya’lamu, ‘ilman’ ” yang artinya
mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris istilah ilmu berasal
dari kata science, yang berasal dari bahasa latin scienta dari
bentuk kata kerja sciere yang berarti mempelajari dan mengetahui.[1]
Menurut The Liang Gie beliau menuturkan bahwa ilmu sebagai pengetahuan,
aktivitas, atau metode merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu
adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu
yang akhirnya aktivitas metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah. Sedangkan
Menurut w. Atmojo (1998: 324) ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan
itu.
Pengembangan ilmu sendiri disebabkan beberapa faktor-faktor yang menyebabkan
berkembang ilmu, yaitu antara lain bahasa (komunikasi) dan penalaran
(berpikir). Melalui bahasa manusia tidak hanya berkomunikasi antara sesamanya,
namun juga dapat memperdebatkan temuan dan pengetahuannya tehadap manusia
lainya, manusia juga dapat , menambah dan berbagi pengetahuan yang dimilikinya.
Pengungkapan dan peninjauan latar belakang dan reasoning dari sebuah informasi
dapat dikomunikasikan dan disebarluaskan kepada orang lain, sehingga proses ini
dapat saling menguntungkan. Demikian juga dengan penalaran, manusia dapat
mengembangkan pengetahuan dengan cepat dan mantap, dengan upaya
pengantisipasian terhadap gejala-gejala yang terjadi, sehingga pengetahuan
manusia senantiasa berubah, semakin dinamis, progresif dan inovatif.[2] Dalam hati dan akal manusia
terdapat keinginan untuk mengetahui, apabila pengetahuan itu dikumpulkan secara
teratur dan sistematis serta dilakukan dengan kesadaran akan pengetahuan
tersebut sehingga apa yang sebelumnya tersirat menjadi tersurat.
Karena kedua faktor utama inilah manusia terus melakukan pengembangan
pengetahuan untuk menyempurnakan, memperoleh kepuasan, kesenangan, dan
pemenuhan rasa ingin tahu dengan melakuan pemikiran dan inovasi yang kemudian
berusaha memecahkan masalah-masalah yang terjadi di lingkunganya dan
mengembangkan kerangka berpikir tertentu untuk menghasilkan ilmu.
B. ETIKA
Istilah etika memiliki banyak arti,
secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu ethos
atau ethikos, yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam
pemahaman lain ethos diartikan sifat, watak, kebiasaan, atau tempat yang biasa.
Sedangkan kata ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan
yang baik. Kata lain yang lebih dekat maknanya dengan etika adalah kata moral,
yang dalam bahasa latin disebut dengan istilah mores, yang berarti kebiasaan,
watak, kelakuan, tabiat, atau cara hidup. Jadi jika dilihat dari asal-usul kata
etika diatas, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[3]
Adapun dalam kamus bahasa besar bahasa indonesia (1988), etika dirumuskan dalam
tiga arti sebagai berikut:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2. Kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak.
Etika juga
disebut ilmu normatif, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan
(norma-norma) dan nilai-nilai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etika
juga berisikan tentang pemahaman masyarakat mengenai baik dan buruk.
Beberapa
ahli lain menyoroti makna etika lebih lengkap dan detail seperti dikemukakan
oleh Wiramiharja , beliau mengungkapkan pada dasarnya etika meliputi empat
pengertian, yaitu sebagai berikut:
1. Etika merupakan sistem nilai
kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia.
2. Etika digunakan pada suatu di antara
sistem-sistem khusus tersebut, yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari
kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu.
3. Etika adalah sistem moralitas itu
sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.
4. Etika adalah suatu daerah dalam
filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.[5]
Pengertian etika
sebagai ilmu juga merupakan suatu studi yang mempelajari tentang segala soal
kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa
yang merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuanya.
Ahmad Yamin
juga mengungkapkan pengertian etika, beliau mengertikan etika sebagai ilmu yang
menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[6]
Ki Hajar
Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan
keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik
pikiran, rasa yang dapat merupakan perbuatanya. Tokoh seperti Franz Magnis
suseno juga mengartikan etika, beliau mengungkapkan etika sebagai usaha manusia
manusia untuk mempergunakan akal budi daya pikirannya untuk memecahkan masalah
bagaimana ia harus hidup apabila ia menjadi baik. Kemudian etika adalah
pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkanya secara langsung bukan
kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.[7]
Berdasarkan
penjelas dari beberapa tokoh setidaknya dapat diambil garis merah mengenai
definis etika , yaitu bahwa etika pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
1. Etika sebagai ilmu, yang merupakan
kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang. Definis
terebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan
lebih bersifat sosiologis. Etika dalam domain banyak dikaji dalam dimensi
agama, misalnya kajian yang membahas tentang akidah.
2. Etika dalam arti perbuatan, yaitu
perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah
berbuat kebajikan. Pada bagian ini etika dimaknai sebagai sebagai etiket,
kaidah atau akhlak. Etika pada tataran ini sangat diperlukan agar perilaku
seseorang lebih baik dan terarah hidupnya sesuai dengan norma atau ketentuan
yang ada.
3. Etika sebagai filsafat, yang
mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan, yang berhubungan dengan
masalah kesusilaan. Etika pada kajian filsafat ini sangat menarik perhatian
para filosof dalam menanggapi makan etika secara lebih serius dan mendalam.
C. ETIKA KEILMUAN
Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis, etika
mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma-norma
itu, mempersoalkan hak dari setiap lembaga seperti orang tua, negara, dan agama
untuk memberi perintah atau larangan yang harus ditaati. Hak dan wewenang untuk
menuntut ketaatan dari lembaga tersebut harus dibuktikan. Dengan demikian,
etika menuntut orang bersikap rasional terhadap semua orang. Sehingga etika
akhirnya membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonomi ilmuwan tidak terletak
pada kebebasan dari norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan
tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakininya sebagai
kewajibanya.[8]
Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pengantar dari pemikiran kritis, yang
dapat membedakan apa yang sah dan tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa
yang tidak benar. Sehingga, etika memberi kemungkinan kepada kita untuk
mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
Dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu pengetahuan yang diperlukan manusia
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan secara lebih cepat dan sebagai sebuah
kenyataan bahwa peradaban masyarakat sangat bergantung kepada kemajuan ilmu.
Setiap ilmu yang diterapkan dimasyarakat, setiap proses ilmu yang dijadikan
sebuah teknologi yang benar-benar akan diterapkan dimasyarakat sangat berkaitan
dengan sikap ilmuwan itu terhadap ilmu. Untuk itu tanggung jawab seorang
ilmuwan haruslah dijaga dengan baik, dalah hal tanggung jawab akademis ataupun
moral.
Sebenarnya ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik
atau buruk dan pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap dan etika,
jalan mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar itu
terletak pada sistem nilai pemilik pengetahun.
Menurut Amsal Bachtiar tanggung jawab keilmuan menyangkut kegiatan maupun pengunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi.[9] Ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia,
menjaga ekosistem, bertanggung jawab, pada kepentingan umum, dan generasi
mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan meperkokoh ekosistem manusia bukan
untuk menghancurkan ekosistem tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral
atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia
sehingga baik dan lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai
pelakuknya, tentu akan timbul perbedaan penafsiran tentang yang baik dan buruk.
Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika
pengembangan ilmu tidak dibarengi dengan etika maka pengembangan etika akan
merusak ekosistem manusia bukan menjaga kelangsungan ekosistem manusia, serta
teknologi nilai kemanfaatanya akan mejadi tidak berarti, dan bahkan bisa
digunakan untuk kepentingan kelompok untuk memperbudak yang lain, maka etika
sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Etika merupakan cabang
filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk.
Maka dengan belajar etika maka diharapkan kita dapat
mengikuti dan menjalankan kaidah-kaidah etika dalam pengembangan dan
kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Susanto, A. Filsafat Ilmu: suatu
kajian dalam dimensi ontologis, epsitomologis, dan aksiologi.
jakarta ( Bumi Aksara: 2011)
jakarta ( Bumi Aksara: 2011)
Rahmat, Aceng .DKK. Filsafat Ilmu
lanjutan. Jakarta (kencana:2011)
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. (Raja
Grafindo Persada:2005)
Semiawan, cony DKK. Panorama
Filsafat Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman .
Jakarta( Teraju: 2007)
Jakarta( Teraju: 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar