Jumat, 11 November 2016

MUNASABAH AYAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al Quran sebagai kitab suci terakhir yang diwahyukan pada nabi terakhir diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih. Ayat dan surat-suratnya tertata secara rapi dan rajin berdasarkan petunjuk Allah, hingga demikian sepotong ayat belum atau tidak dapat dipahami maknanya secara umum dengan tepat kecuali dengan menghubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya atau sesudahnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa masing-masing ayat memiliki tanasub antara satu ayat dengan ayat lainnya,atau antara surat dengan surat lainnya. Hubungan tersebut boleh  jadi berupa kesesuaian,kemiripan,ataupun keberlawanan, baik yang terjadi antar ayat maupun antar surat-surat. Itulah yang disebut oleh para ulama’ sebagai tanasub al ayat wa as suwar.[1]
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al Quran sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al Quran. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan tauqifi dar Nabi Saw. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihad.[2]
Ilmu Munasabah termasuk kajian yang penting dalam Qawaid Al-tafsir. Dengan demikian, tidak mengherankan jika banyak pakar tafsir di masa lampau yang mencurahkan perhatian terhadap kajian ini. Kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (w.324 H) di kota baghdad sebagaimana diakui oleh syeh Abu al Hasan al Syahrobani seperti dikutip alma’i. Al  suyuthi juga berpendapat serupa itu, dan ditambahkannya bahwa Bakar An-Naisaburi ini ialah seorang pakar yang menonjol dalam ilmu syariat dan sastra. Jika pendapat ini diterima, itu berarti pembahasan terhadap permasalahan Munasabah ayat-ayat dan surat-surat dalam al Quran telah mulai menjadi obyek studi dikalangan ulama tafsir sejak abad ke-4 H.[3]
Hubungan antara ayat ataupun surat dalam Al Quran tentulah tidak disususn secara sembarangan karena setiap penyusunan dalam Al Quran memiliki makna yang saling berkaitan dan sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an. Bahkan, sebagian mufassir ada yang lebih mempercayai Munasabah dalam Al Quran daripada asbab an-nuzul yang belum diketahui betul kebenarannya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti Munasabah dalam Al Quran sehingga dapat menganalisa keterkaitan antar ayat, surat, maupun juz dalam Al Quran sehingga akan mempermudah mempelajari Al Quran dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam Al Quran secara komprehensif dan ilmiah.
Kami akan menjelaskan “Munasabah” lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Munasabah Ayat ?
2.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Munasabah Ayat ?
3.      Bagaimana Cara Mengetahui Munasabah Ayat ?
4.      Apa Macam-macam Munasabah Ayat ?
5.      Apa Manfaat Mempelajarai Munasabah Ayat ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN MUNASABAH AYAT
Munasabah berasal dari kata نَاسَبَ - يُنَاسِبُ – مُنَاسَبَةً yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat   اَلْمُنَاسَبَة  sama artinya dengan اَلْمُقَارَبَة  yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya: اَلنَّسِبُ  artinya اَلْقَرِبُ الْمُتَّصِلُ  (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud bila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian adda ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-nasib juga berati ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[4] Munasabah secara bahasa berarti kedekatan atau kesesuaian.
Secara terminologis, Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh secara ‘aqli dan bukan diperoleh melaui tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikianlah Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan Munasabah.[5]
Yang dimaksud dengan Munasabah di sini ialah sisi-sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain  dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lain hingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan suatu ilmu yang besar.[6]
Sedangkan menurut para ulama :

1.      Menurut Manna’ al-Qattan
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan :

وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
 Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.

2.      Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى  الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.

3.      Menurut Ibn Al-Arabi :

إرتـبــاط أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.


4.      Menurut Al-Biqa’i, yaitu :

“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.


B.     SEJARAH PERKEMBANGA MUNASABAH AYAT
Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 342 H). Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburu merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1.      Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2.      Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3.      Al-Imam al-Farahi al-Hindi – Dala’il an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani, as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.[7]

C.    CARA MENGETAHU MUNASABAH
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad. Artiya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenakan memaksakan diri. Dalam hal ini, syekh’Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antarkalam mensyaratkn adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan adalah salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya. Apalagi kalam yang terbaik.”
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al Quran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1.      Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.      Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.      Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.      Dalam mengambil kesimpulan dengan benar dan tidak berlebihan.

D.    MACAM-MACAM MUNASABAH AYAT
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1.      Munasabah antara surat dengan surat.
2.      Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
3.      Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5.      Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6.      Munasabah antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7.      Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.      Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1.      Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S  al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)

2.      Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a.       Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.      Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.       Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.      Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah tangga.
e.       Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.

3.      Munasabah Antara Satu Kalimat  dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
"فإن لم تفعلوا", diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh tafsir:
سبحان الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.       Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah. Salah satu contoh :
ولإن سألتهم من خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله لقمن 25
b.      Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh :
يسألونك عن الأهله___قل هي___البقره 189
c.       Munasabah berbentuk nazhir / matsil (hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___البقرة 177

4.      Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.



5.      Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين  mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة  bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).

6.      Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.

7.      Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :

سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

8.      Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.[8]

E.     MANFAAT MEMPELAJARAI MUNASABAH AYAT
Dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an, munasabah juga membantu dalam interpretasi dan ta’wil ayat dengan baik dan cermat. Di antara para mufassir, menafsirkan ayat atau surat dengan menampilkan asbabun nuzul ayat atau surat. Tetapi sebagian dari mereka bertanya-tanya, manakah yang harus di dahulukan? Aspek asbabun nuzul-nya ataukah munasabah-nya. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaiannya yang serasi.[9]
Dengan demikian ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu dirangkai dalam sebuah susunan yang baku.
Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, maka ilmu munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu pemahaman dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) arti penting dari munasabah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an.[10] Pertama, dari segi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an. Dan bahasa al-Qur’an adalah suatu susunan yang paling baligh (tinggi nilai sastranya) dalam hal keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Dalam hal penafsiran bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhpan pemahaman mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis, ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya.[11]
Jadi, sudah jelas bahwa memahami munasabah dalam al-Qur’an merupakan hal yang penting dan sangat urgen, terutama dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih tepat dan rinci, serta akan lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan rasio demi memberikan pencerahan dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari uraian tentang “Munasabah Al-Qur’an” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ‘Ilm Munâsabah adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lainnya yang merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sedangkan Munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Ilahi, sekaligus sanggahan-Nya, bagi mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Secara umum Munasabah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Munasabah antara surah dengan surah
2. Munasabah antara nama surah dengan kandunganya
3. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam surah yang sama.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dan hubungan antara satu sama lain.
5. Munasabah antara akhir suatu surat dengan awal surat berikunya.
6. Munasabah antara kalimah dengan kalimah dalam satu surah.
7. Munasabah awal uraian surat dengan akhirnya
Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.


DAFTAR PUSTAKA
A.    BUKU
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Quran. Bandung. Pustaka Setia. 2012.

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2005.

Chirzin ,Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta .PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 2003.

Syafe’, Rachmat i. Pengantar Ilmu Tasir. Bandung. Pustaka Setia. 2006.

Syaikh Manna Al-Qathan. Pengantar Studi Ilmu Al-quran (terj) oleh Aunur Rafiq El-Mazni dari Mabahis fi ‘Ulumul Quran. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar. 2006.

Syakur,  M.. Ulum al-Quran. Semarang. PKPI. 2001.

Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta. Teras. 2009.

B.     INTERNET
http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 3 Oktober 2016 pukul 11.30 Wita.

http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html di akses tanggal 10 Oktober 2016 pukul 12.00 WITA.



[1] M. Syakur, Ulum al-Quran, (Semarang: PKPI, 2001), h. 91.
[2] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), cet. III, h. 81.
[3] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2005 h. 185.
[4] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tasir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 97.
[5] Ibid, hal 97
[6] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-quran (terj) oleh Aunur Rafiq El-Mazni dari Mabahis fi ‘Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 119.
[7] http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 3 Oktober 2016 pukul 11.30 Wita.
[8] http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html di akses tanggal 10 Oktober 2016 pukul 12.00 WITA.
[9] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta :PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), Cet. ke II,  h. 56.
[10] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 172.
[11] Ibid., h. 173-174.

2 komentar: