BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al Quran sebagai kitab suci terakhir yang
diwahyukan pada nabi terakhir diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih. Ayat dan
surat-suratnya tertata secara rapi dan rajin berdasarkan petunjuk Allah, hingga
demikian sepotong ayat belum atau tidak dapat dipahami maknanya secara umum
dengan tepat kecuali dengan menghubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya atau
sesudahnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa masing-masing ayat memiliki
tanasub antara satu ayat dengan ayat lainnya,atau antara surat dengan surat
lainnya. Hubungan tersebut boleh jadi
berupa kesesuaian,kemiripan,ataupun keberlawanan, baik yang terjadi antar ayat
maupun antar surat-surat. Itulah yang disebut oleh para ulama’ sebagai tanasub
al ayat wa as suwar.[1]
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munasabah)
ini berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al Quran sebagaimana terdapat
dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya.
Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di
dalam Al Quran. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan tauqifi
dar Nabi Saw. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad
para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi.
Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat
Al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihad.[2]
Ilmu Munasabah termasuk kajian yang penting
dalam Qawaid Al-tafsir. Dengan demikian, tidak mengherankan jika banyak
pakar tafsir di masa lampau yang mencurahkan perhatian terhadap kajian ini. Kajian
ini pertama kali dimunculkan oleh Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (w.324 H) di
kota baghdad sebagaimana diakui oleh syeh Abu al Hasan al Syahrobani seperti
dikutip alma’i. Al suyuthi juga
berpendapat serupa itu, dan ditambahkannya bahwa Bakar An-Naisaburi ini ialah
seorang pakar yang menonjol dalam ilmu syariat dan sastra. Jika pendapat ini
diterima, itu berarti pembahasan terhadap permasalahan Munasabah
ayat-ayat dan surat-surat dalam al Quran telah mulai menjadi obyek studi
dikalangan ulama tafsir sejak abad ke-4 H.[3]
Hubungan antara ayat ataupun surat dalam Al Quran tentulah tidak disususn
secara sembarangan karena setiap penyusunan dalam Al Quran memiliki makna yang
saling berkaitan dan sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an. Bahkan,
sebagian mufassir ada yang lebih mempercayai Munasabah dalam Al Quran
daripada asbab an-nuzul yang belum diketahui betul kebenarannya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami
arti Munasabah dalam Al Quran sehingga dapat menganalisa keterkaitan
antar ayat, surat, maupun juz dalam Al Quran sehingga akan mempermudah
mempelajari Al Quran dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam Al
Quran secara komprehensif dan ilmiah.
Kami akan menjelaskan “Munasabah” lebih rinci dalam makalah
sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang sesuai dengan
Rumusan Masalah dalam makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Pengertian Munasabah Ayat ?
2.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Munasabah Ayat
?
3.
Bagaimana Cara Mengetahui Munasabah Ayat ?
4.
Apa Macam-macam Munasabah Ayat ?
5.
Apa Manfaat Mempelajarai Munasabah Ayat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MUNASABAH AYAT
Munasabah berasal dari kata نَاسَبَ - يُنَاسِبُ –
مُنَاسَبَةً yang berarti dekat, serupa, mirip, dan
rapat
اَلْمُنَاسَبَة sama artinya dengan اَلْمُقَارَبَة
yakni mendekatkannya dan
menyesuaikannya: اَلنَّسِبُ artinya اَلْقَرِبُ الْمُتَّصِلُ
(dekat dan
berkaitan). Misalnya,
dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud bila kedua-duanya saling
berdekatan dalam artian adda ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-nasib
juga berati ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[4] Munasabah secara bahasa berarti kedekatan atau
kesesuaian.
Secara terminologis, Munasabah adalah
kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al Quran baik
surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini, Munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh
secara ‘aqli dan bukan diperoleh melaui tauqifi. Dengan demikian, akallah yang
berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan
antara sesuatu itu. Demikianlah Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang
persoalan Munasabah.[5]
Yang dimaksud dengan Munasabah
di sini ialah sisi-sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain
dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau antara satu surat
dengan surat yang lain. Menurut al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, mengetahui
sejauh mana hubungan antara ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lain hingga
semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur
merupakan suatu ilmu yang besar.[6]
Sedangkan menurut para ulama :
1. Menurut
Manna’ al-Qattan
Manna’ al-Qattan
dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping
berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum
al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu
surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau
tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat;
keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat;
kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu
dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah
dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal
surat.
Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan :
وجـهُ
الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة
والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan
antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat
atau antar surat didalam Al-Qur’an”.
2. Menurut
Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam
al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti
dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan).
Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan
semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka
namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai
ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan
lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan
sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan
sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah
“menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi
seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
المـناسبة
أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala
dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
3. Menurut
Ibn Al-Arabi :
إرتـبــاط
أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ
المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah
keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
4. Menurut
Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah adalah suatu
ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan
bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks
‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau
antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli),
persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab
akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya
pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi
(tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan
pada ijtihadi
seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an,
rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya
pengetahuan tentang Asbabun Nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami
makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi
antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan
dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama
menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam
pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika
(perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah
Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum
Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh
para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik
Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
B.
SEJARAH PERKEMBANGA MUNASABAH AYAT
Menurut Asy Syarahbani,
seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan
munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat
tahun 342 H). Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan
As Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila
dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di
samping ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau
mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburu
merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau
mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun
antarsurat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra
terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang
sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr
an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain beliau terdapat banyak lagi ulama yang
membahas. Antara lain:
1.
Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm
ad-Durar fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2.
Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq
ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3.
Al-Imam al-Farahi al-Hindi
– Dala’il an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi,
Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz
dan lain-lain turut menyentuh tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam
penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati kewujudannya atau
diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan syarat yang ketat
untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani, as-Syinqiti dan
sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini adalah takalluf
(beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.[7]
C.
CARA MENGETAHU MUNASABAH
Para ulama menjelaskan bahwa
pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihad. Artiya, pengetahuan
tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik
dari Nabi maupun sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah
pada setiap ayat. Alasannya, Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur
mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang
seorang mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan
terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenakan
memaksakan diri. Dalam hal ini, syekh’Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata:
“Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antarkalam mensyaratkn
adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan
demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan adalah
salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut
berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia
mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja
pasti terhindar darinya. Apalagi kalam yang terbaik.”
Untuk meneliti keserasian
susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al Quran diperlukan ketelitian
dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang
perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1. Harus diperhatikan
tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memerhatikan uraian
ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan
uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4. Dalam mengambil
kesimpulan dengan benar dan tidak berlebihan.
D.
MACAM-MACAM MUNASABAH AYAT
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup
hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam hubungan tersebut
apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1. Munasabah antara surat dengan surat.
2. Munasabah antara nama
surat dengan kandungan isinya.
3. Munasabah antara
kalimat dalam satu ayat.
4. Munasabah antara ayat
dengan ayat dalam satu surat.
5. Munasabah antara ayat
dengan isi ayat itu sendiri.
6. Munasabah antara
uraian surat dengan akhir uraian surat.
7. Munasabah antara
akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.
Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya
memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah
ini.
1.
Munasabah
Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau
mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari
suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada
masing-masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya
memuat tema sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema
berikut perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu contoh yang
dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat
beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S al-Baqarah (2), dan Q.
S al-Imran (3).
Satu
surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah
/ 1 : 6 disebutkan :
إهدنا
الصراط المستقيم
Artinya
: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu
dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti
petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك
الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين
Artinya
: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
2.
Munasabah
Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu
surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya).
Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama
dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut.
Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya
keterkaitan antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam
suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan
sebagai berikut :
a.
Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan
surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan
disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.
Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa,
kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya;
sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan
ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil,
al-Lahab dan sebagainya.
c.
Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya
al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta
kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.
Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan
acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj
(dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan
kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig
keharmonisan rumah tangga.
e.
Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang
terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap
ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad,
dan Qaf.
3.
Munasabah
Antara Satu Kalimat dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah
antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat
dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit
yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat.
Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid
(penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan
cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
"فإن لم
تفعلوا",
diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh
tafsir:
سبحان
الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian
diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا
Kedua
masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung
secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada.
Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.
Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian
pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah.
Salah satu contoh :
ولإن
سألتهم من خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله لقمن 25
b.
Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih
lanjut). Contoh :
يسألونك
عن الأهله___قل هي___البقره 189
c.
Munasabah berbentuk nazhir / matsil (hubungan
sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس البر
ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___البقرة 177
4.
Munasabah
Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Untuk melihat
munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan
datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada
hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan
informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S
al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan,
kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman,
kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya
surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح
المؤمنون
Artinya
: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian
dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا
يفلح الكافرون
Artinya
: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
5.
Munasabah
Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada
bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir
(memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam
relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك
الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة bahkan
mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).
6.
Munasabah
Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah
satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang
erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh
al-Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan
(respek Tuhan kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh
respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya
munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun
seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi
tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa AS dan
Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.
7.
Munasabah
Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya
akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح
باسم ربك العظيم
“Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu
surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
سبح الله
ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم
“Semua
yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
8.
Munasabah
Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah
antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi,
pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani
menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan
karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya
paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah
al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah
ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua
ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q. S
al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع
الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya
qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali
kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S
an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa
fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci
nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah
al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja
menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.[8]
E.
MANFAAT MEMPELAJARAI MUNASABAH AYAT
Dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an, munasabah juga membantu
dalam interpretasi dan ta’wil ayat dengan baik dan cermat. Di antara
para mufassir, menafsirkan ayat atau surat dengan menampilkan asbabun nuzul
ayat atau surat. Tetapi sebagian dari mereka bertanya-tanya, manakah yang harus
di dahulukan? Aspek asbabun nuzul-nya ataukah munasabah-nya. Hal
ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya
dalam rangkaiannya yang serasi.[9]
Dengan demikian ilmu munasabah mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu ini dipahami sebagai
pembahasan tentang rangkaian ayat-ayat beserta korelasinya, dengan cara
turunnya yang berangsur-angsur dan tema-tema serta penekanan yang berbeda. Dan
ketika menjadi sebuah kitab, ayat yang terpisah secara waktu dan bahasan itu
dirangkai dalam sebuah susunan yang baku.
Dan ketika kita menyadari bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang
utuh, maka ilmu munasabah menjadi satu topik yang dapat membantu
pemahaman dan mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Secara garis besar, terdapat
3 (tiga) arti penting dari munasabah dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an.[10]
Pertama, dari segi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan
keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an. Dan bahasa al-Qur’an adalah
suatu susunan yang paling baligh (tinggi nilai sastranya) dalam hal
keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Kedua, ilmu
munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Dalam
hal penafsiran bil ma’tsur maupun bir ra’yi, jelas membutuhpan pemahaman
mengenai ilmu tersebut. Izzuddin ibn Abdis Salam menegaskan bahwa, ilmu munasabah
adalah ilmu yang baik, manakala seseorang menghubungkan kalimat atau ayat yang
satu dengan lainnya, maka harus tertuju kepada ayat-ayat yang benar-benar
berkaitan, baik di awal maupun di akhirnya. Ketiga, sebagai ilmu kritis,
ilmu munasabah akan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Setelah ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan demikian akan
dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna
terselubung yang terkandung di dalamnya.[11]
Jadi, sudah jelas bahwa memahami munasabah dalam al-Qur’an merupakan hal
yang penting dan sangat urgen, terutama dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
Sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih tepat dan rinci, serta akan
lebih mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan rasio demi memberikan pencerahan
dalam diri untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian
tentang “Munasabah Al-Qur’an” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ‘Ilm
Munâsabah adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan
surat/ayat lainnya yang merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini
posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an
sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sedangkan Munasabah adalah usaha
pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang
dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap
rahasia Ilahi, sekaligus sanggahan-Nya, bagi mereka yang meragukan keberadaan
Al-Qur’an sebagai wahyu.
Secara umum Munasabah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Munasabah antara surah dengan surah
2. Munasabah antara nama surah dengan
kandunganya
3. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam
surah yang sama.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dan
hubungan antara satu sama lain.
5. Munasabah antara akhir suatu surat
dengan awal surat berikunya.
6. Munasabah antara kalimah dengan kalimah
dalam satu surah.
7. Munasabah awal uraian surat dengan
akhirnya
Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam
memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan
kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Quran. Bandung. Pustaka Setia. 2012.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu
Tafsir. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar. 2005.
Chirzin ,Muhammad. Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta .PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 2003.
Syafe’, Rachmat i. Pengantar
Ilmu Tasir. Bandung. Pustaka Setia. 2006.
Syaikh Manna Al-Qathan. Pengantar Studi Ilmu Al-quran (terj) oleh
Aunur Rafiq El-Mazni dari Mabahis fi ‘Ulumul Quran. Jakarta. Pustaka
Al-Kautsar. 2006.
Syakur, M.. Ulum
al-Quran. Semarang. PKPI. 2001.
Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta. Teras. 2009.
B. INTERNET
http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html di
akses tanggal 3 Oktober 2016 pukul 11.30 Wita.
http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html di akses tanggal 10 Oktober 2016 pukul 12.00 WITA.
[2]
Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran,
(Bandung: Pustaka Setia, 2012), cet. III, h. 81.
[6] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar
Studi Ilmu Al-quran (terj) oleh Aunur Rafiq El-Mazni dari Mabahis fi
‘Ulumul Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 119.
[7] http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html
di akses tanggal 3 Oktober 2016 pukul 11.30 Wita.
[8] http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html di akses tanggal 10 Oktober 2016 pukul 12.00 WITA.
[9] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta :PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), Cet. ke II, h.
56.
maaf itu kok albaqarah ayat 2 tilka seharusnya dzalika
BalasHapusKarna lo wibu
Hapus