Sabtu, 12 November 2016

BEBERAPA ASPEK EPISTEMOLOGI DALAM MEMBANGUN ILMU YANG ISLAMI



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Para filosof aliran Sokratik, atau filosof-filosof pertama di Barat pada waktu itu belum memberikan perhatian terhadap filsafat pengetahuan. Dan bukan berarti mereka tidak peduli terhadap filsafat. Kehidupan filsafat di Barat makin menunjukkan kemajuannya.
            Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu.” Aristoteles meyakini hal tersebut. Keyakinan tersebut tidak hanya untuk orang lain saja, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Socrates, Socrates telah meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu pondasi yang berbeda, ia meyakini bahwa tidak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan.[1] Ada kemungkinan manusia tidak mempunyai pengetahuan karena tidak menggunakan inderanya untuk mengenali alam ini, manusia akan mengetahui ketika ada rasa kagum.
            Ketika manusia tidak kagum, maka ia tidak akan pernah mengenal filsafat, karena pada dasarnya dari rasa kagumlah filsafat bermula. Rasa kagum sebenarnya bukan muncul dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman muncul, sering muncul dan tampak sederhana dalam kehidupan manusia.
            Manusia sering menganggap bahwa sesuatu yang kelihatan adalah dapat dipahami dengan benar dan seolah-olah ia telah mengetahui keberadaan benda dan materi tersebut secara mendalam. Anggapan manusia bahwa apa yang terlihat dan dilihatnya serta dikenalnya, belum tentau dapat dipahami hakekatanya, belum pasti manusia telah sampai kepada pengetahuan yang ia kenal. Dari sinilah nantinya ada peluang bagi epistemologi untuk menjelaskan kenapa manusia mengetahui, kenapa sesuatu itu menjadi seperti itu.
            Epistemologi berusaha menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya adalah karena ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, dengan harapan akan mendapatkan kebenaran. Bahkan, kalau diperhatikan ternyata pertanyaan-pertanyaan filosof sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kalau ada orang bertanya tentang sesuatu yang sudah ada di anggap aneh, bahkan ada kesan bahwa sesuatu yang hadir, dianggap telah diketahui keadaannya, padahal belum kenal dan tahu apa hakekat benda itu. Hal tersebut merupakan salah satu persoalan-persoalan pokok dalam epistemologi. Kekaguman merupakan awal munculnya epistemologi.
            Sesungguhnya peradaban Islam telah berkembang jauh sebelum bangsa-bangsa Barat banyak melakukan berbagai penemuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Sebut saja pakar-pakar muslim seperti Ibnu Sîna yang merupakan filosof dan ahli dalam kedokteran. Ibnu Sina juga merupakan bapak kedokteran modern. Ibnu Khaldun seorang pakar ekonomi, historiografi dan sosiologi. Al-Farabi yang mempunyai kontribusi besar pada bidang matematika dan Farmasi. Dan Abu Musa Al-Kawarizm yang menggubah dan menggunakan angka Arab modern serta menemukan angka nol (0) dan nisbat namanya dalam matematika untuk istilah logaritma.
            Pada zaman keemasan Islam tersebut, para Sarjana Muslim sebagai pelopor perkembangan ilmu dan teknologi dalam mengaplikasikan ilmunya tidak terlepas dari peran agamanya, yaitu Islam. Sebagai sumber utama pengembangan ilmunya tentu saja kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits t Nabi. Sementara kemerosotan peradaban Islam saat ini tentunya disebabkan umat muslim sendiri telah melupakan epistomologi yang seharusnya diaplikasikan secara islami. Padahal Allah telah berfirman dalam QS. Al-Hajj (22):3 yang artinya: “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat”. Bagaimanakah kita sebagai umat Islam, sebagai intelektual muslim, sebagai sarjana dan calon- calon sarjana muslim menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern saat ini yang kadangkala jika diamati banyak bertentangan dengan moral dan akhlak kehidupan yang Islami.
            Misalnya saja perkembangan teknologi nuklir yang akhirnya digunakan untuk membunuh satu sama lain, penemuan farmasi yang ternyata disalah gunakan untuk merusak generasi muda dengan “narkoba” dan obat-obatan psikotropika, rekayasa genetika yang mungkin nantinya mengaburkan silsilah keturunan. Alhasil memang peradaban modern yang tidak didampingi oleh akhlak (agama) yang baik akan menuju kehancuran.
            Untuk itu, pada makalah ini tim penulis mencoba membahas dan menguraikan tentang aspek-aspek teori ilmu pengetahuan (Epistemologi) dalam pengembangan ilmu Islam. Apakah semua teori/aliran filasafat yang berkembang selama ini (Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Hermeneutik) sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam (Epistemologi Islam)?
           
















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Epistemologi
            Secara etimologi epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Secara harfiah. Epistemologi berarti “studi atau teori tentang pengetahuan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan.[2] Dengan demikian dapat dimengerti bahwa epistemologi membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri.
            Ketika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita menemukan arti epistemologi sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan. “Epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.”
            Bagi sesuatu ilmu, pertanyaan yang menyangkut definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya. (Kamrani Buseri)
            Dengan demikian epistemologi atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, anggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
            Pembicaraan tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Membahas epistemologi tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
            Menurut Suparlan Suhartono perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda, metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Menurut Suparlan dari kedua metode tersebut yang lebih dapat dipercaya tergantung pada jenis dan sifat obyek studi. Sebagai contoh penganut empirisme lebih cenderung kepada teori korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan teori koherensi.[3]
            Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa pada hakekatnya epistemeologi adalah berusaha membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Dari pendapat Amsal Bakhtiar tersebut memperjelas makna epistemologi, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan.[4]
            Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode untuk mendapatkan pengetahuan. Mendapatkan pengetahuan berarti berhubungan dengan mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek dalam akal tentang sesuatu yang berada di luar akal.[5]
            Pendapat Amsal Bakhtiar merupakan duplikasi dari pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Lebih lanjut Amsal menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta di luar akal dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal

B.   Pendidikan Islam
            Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani berdasarkan hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian menurut ukuran Islam. Selanjutnya M. Arifin menambahkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
            Dari sini, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dan segala hal yang berhubungan dengannya harus didasarkan pada ajaran Islam itu sendiri yang menurut Nur Uhbiati berlandaskan pada Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan juga hadits Nabi SAW. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam membangun ilmu pendidikan Islam harus berorientasi kepada Al-Qur’an dan Hadits yang statusnya adalah wahyu.
            Dalam tulisannya, M.Solly Lubis, menyatakan bahwa dasar pengetahuan ada beberapa macam, yaitu wahyu, intuisi, dan penalaran (cirinya adalah logis dan analisis). Menurutnya, wahyu dan intuisi termasuk dasar pengetahuan yang non analitis. Melalui wahyu yang disampaikan Tuhan kepada para utusan-Nya dengan perantaraan malaikat dan diteruskan kepada umat manusia, sehingga mereka memperoleh pengetahuan melalui keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diwahyukan itu adalah suatu kebenaran. Demikian juga intuisi menjadi dasar pengetahuan, meskipun tidak mempunyai logika dan pola pikir tertentu.
            Dalam hal ini, M.Solly Lubis kembali menjelaskan bahwa seseorang harus bisa membedakan antara kebenaran ilmu atau filsafat dengan kebenaran agama. Berbeda dengan ilmu, agama juga mempermasalahkan objek-objek di luar pengalaman manusia, baik sebelum manusia berada di bumi maupun sesudah kematiannya. Perbedaan lingkup permasalahannya juga menyebabkan berbedanya metode dalam memecahkan masalah.
            Hal ini harus diketahui dengan benar agar mampu menempatkan keduanya dalam perspektif yang sungguh-sungguh. Dengan menguasai hakikat ilmu dan dengan secara baik, maka kedua pengetahuan tersebut justru akan bersifat saling melengkapi (komplementaristis).
C.   Epistemologi dalam Islam
            Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad SAW., mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah: 11).
            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah SWT dan di sisi manusia.
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad SAW., menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akhirat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan benar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran.
            Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran, dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
            Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu. Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu pengetahuan dengan yang tidak berilmu pengetahuan, sebagaimana firman-Nya:
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar: 9)
            Dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa hanya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. Artinya adalah manusia yang berakal akan mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya orang yang berakal-lah yang dapat memahami ayat-ayat Allah.
            Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut; pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana, dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi-studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga yaitu aspek material yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.[6]
            Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran. Bahkan dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-Qur’an tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Qur’an menyatakan semau tanda-tanda/ayat-ayat Allah tidak ada gunanya kecuali bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan pengetahuan dan kebenaran.
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS. An-Nur: 43)
            Ayat tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua orang akan mendapatkan kebenaran, hal ini membuktikan bahwa meskipun manusia mempunyai akal tetapi dengan akalnya ia tidak serta merta mendapatkan kebenaran hakiki. Kalau tidak izin Allah dan kehendak Allah maka manusia tidak akan mendapatkan ilmu dan kebenaran. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk memahami ayat-ayat/ tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran.
            Al-Qur’an menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akal untuk memperoleh pengetahuan, dengan berbagai fonomena akal manusia dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Allah. Meskipun Islam menyuruh akal manusia untuk memahami, meneliti ayat-ayat Allah, tetapi peran akal dalam eksperimen tidak sebebas-bebasnya. Dalam arti masih ada batas akhir dari kemampuan akal untuk mencapai kebenaran. Ketika akal manusia tersbentur maka yang berlaku pada saat itu adalah keimanan terhadap wahyu Allah. Dengan demikian adanya anggapan bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah sudah mencukupi untuk menemukan kebenaran tentang adanya Tuhan, sudah cukup untuk menjadi sarana mengenal Tuhan. Padahal Allah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
            Panca indera adalah alat bagi akal untuk mencerap pengetahuan. Akal akan sempurna ketika diperkaya oleh wawasan yang didapatkan melalui indera. Pengetahuan yang bersifat inderawi dapat dicerap secara inderawi, sedangkan pengetahuan yang bersifat non inderawi/metafisika hanya dapat diyakini dan dibenarkan dengan keimanan. Ada kemungkinan manusia mengetahui rahasia pengetahuan yang diberikan Allah, permasalahannya hanya terletak pada kemampuan manusia untuk menggunakan panca indera sebagai alat akal dan menggunakan wahyu sebagi sumber pengetahuan.
            Sebagai uraian penutup pada poin ini, perlu dipahami bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan/premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Dikatakan Al-Qur’an sumber pengetahuan karena di antara fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil.
            Islam sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar manusia berusaha mencari ilmu dan meneliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan ilmu dalam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan. Untuk mendapatkan ilmu adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu merupakan puncak segala sumber pengetahuan yang merupakan manisfestasi dari firman Allah.

D.   Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam
            Dari pengertian tentang epsitemologi pada bagian terdahulu dapat dikatakan bahwa pada bagian ini (Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam) mengehendaki satu pembahasan tentang apsek apa saja yang terdapat dalam espitemologi (teori ilmu pengetahun) tersebut dalam usaha umat Islam untuk mengembangkan ilmu dalam konteks Islam, artinya ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar dari koridor ajaran Islam sebagai ajaran yang universal (Rahmatan li al-‘Alamîn). Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang epistemologi Islam itu sendiri berdasarkan wahyu (Al-Qur’andan al-Hadîts)-(Mujamil Qomar, M.Ag, 2007:187).
            Dengan demikian setiap ilmu-ilmu pengetahuan ke duniaan dan teknologinya maupun ilmu agama yang dikembangkan dalam Islam harus senantiasa mengacu kepada Al-Qur’an dan al-Hadîts sebagai suatu landasan berpijak yang diyakini kebenaran yang qath’i. Ketika membangun ilmu Islam, maka bangunan ilmu tersebut mestilah sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan alam serta tidak mengabaikan dimensi ilahiyah, dalam arti bahwa ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar dari koridor kemanusiaan yang senantiasa tunduk dengan senantiasa patuh kepada hukum Ilahiyah, baik itu hokum meminjam istilah Quraish Shihab yaitu qauliyah maupun kauniyah.
            Epistemologi harus dikembalikan menjadi epistemologi yang Islami dalam arti mengedepankan 2 unsur yang seimbang yaitu ilmu pengetahuan berdasar ayat-ayat yang bersifat “Qauliyah” atau Empirik termasuk didalamya rasio, panca indera dan intuisi (hati), kedua, ayat-ayat “Kauniyah” atau berdasarkan sumber-sumber formal Islam seperti wahyu dalam Al-Qur’anyang menerangkan kepadamanusia tentang sesuatu bersifat meta-empirik atau supra rasional dan Hadits t Nabi. Kenyataan empirik mungkin dapat dibuktikan dengan metodologi penelitian yang sudah berkembang saat ini, tapi untuk ayat-ayat “Kauniyah” maka hati atau intuisilah yang memegang peranan dimana ketaqwaan dan keimanan seorang akan mempengaruhi hal tersebut, Allah sendiri telah menyampaikan firmannya sebagai berikut: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS. Al Hajj: 8).
            Peringatan Allah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang hanya menggunakan ayat-ayat Qauliyah atau empirik saja tanpa ada pertanggungjawabannya terhadap sesuatu yang ghaib atau meta-empirik dalam hal ini tentunya keberadaan Allah SWT., sebagai Tuhan mereka, sebagai yang Maha Tahu. Para intelektual saat ini seakan-akan mulai terkena syndrome atheism dimana semua kepandaiannya dan kejeniusannya dalam penemuan-penemuan ilmu dan teknologi karena hasil jerih payahnya sendiri dalam menggunakan akal dan panca inderanya.
Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam, yaitu:

1.    Positivistik
            Dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626) yang menegaskan bahwa pengalaman empirislah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. (http:// rizazaimun.blogspot.com). Apa-apa yang didapat dari eksperimen empiris, melalui metoda induktif, yang dapat dikatakan ilmiah. Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris.
            Dalam Islam, hal tersebut tidaklah bertentangan, karena kebenaran yang dianut oleh Positivistik hanya berada pada wilayah material (Quraish Shihab:144-145; Murtadha Muthahhari:72), dan Al-qur’ân mejelasan bahwa: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An Nahl [16]: 78) Pada ayat tersebut, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa alat pokok yang digunakan untuk meraih pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan (material), sehingga Islam mengakui kebenaran yang berdasarkan empiris (teramati dengan kedua indra tersebut). Al-Qur’ân juga menyampaikan metode observasi ketika melakukan penelitian, yang artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS. Al-Maidah [6]: 31) Observasi atau pengamatan indrawi bisa melalui alat indra telanjang atau dengan bantuan alat seperti mikroskop mapun teleskop. (Mulyadhi Kartanegara:3).
            Pada tataran ilmiah Al-Qur’an, dapat diterapkan epistemologi Positivistik ini, misalnya untuk kajian keislaman yang mengarah kepada ilmu-ilmu kealaman, seperti biologi, fisika, astronomi yang sifatnya kuantitatif empirik dapat diterapkan dalam mencari pemahaman yang tepat terhadap nash Al-Qur’an yang menyinggung persolan-persoalan tersebut.
            Tidak sedikit ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kejadian alam semesta, ilmu perbintangan (falak), proses penciptaan makhluk dan perkembangannya, mulai dari manusia, hewan dan tumbuhan. Ilmu-ilmu tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Nico Syukur Dister, adalah berpangkal dan bertolak dari fakta-fakta pengalaman, kemudian sasarannya adalah suatu intelgibilitas (yang jelas) dan dapat dikontrol secara diverifikasi (dibuktikan) oleh fakta pengalaman. Semua itu memerlukan pendekatan positivistik dalam memahaminya, sehingga kebenaran yang dicari itu memang memiliki standar yang bisa diuji. Oleh karena itu, dalam dunia penafsiran Al-Qur’an, ada dikenal istilah tafsir ilmi yang menggunakan kajian positivistik (pengamatan lahiriah), meskipun jenis tafsir ini masih diperdebatkan ulama.


2.    Rasionalisme
            Rasionalisme dan Phenomenologik (yang mengembangkan Rasionalisme kritis ): kebenaran adalah sesuatu yang masuk akal, satu-satunya cara mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui metoda ilmiah yang ditopang oleh rasionalisme. Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah rasio. Hanya pengetahuan yang didapat dari akallah, dengan metoda deduktif, yang memenuhi syarat lmiah. (http://rizazaimun.blogspot.com) Selain observasi dan eksperimen (positivistik), juga disyaratkan kemampuan imajinatif, analisis, dan sintesis, terutama ketika menjawab pertanyaan yang susah ketika dicari jawabannya melalui observasi dan eksperimen. (Abudin Nata, MA). Hal tersebut juga diisyaratkan dalam firman Allah SWT yang artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghâsiyah [88]: 17-20)
            Kembali, Al-Qur’ân menyatakan bahwa kebenaran ilmu bisa diperoleh dengan mengarahkan dan mendayagunakan akal (fu’ad, sebagaimana QS. Al-Nahl [16]: 78), sehingga ilmu yang diperoleh dengan mendayagunakan indra jika dibarengi dengan pengerahan akal, maka akan diperoleh ilmu/kebenaran yang optimal. Akal mampu memahami substansi-substansi dan esensi-esensi yang bersifat non-fisik (Mulyadhi Kartanegara, 2005:108), sehingga akal dapat menangkap informasi dari objek-objek yang tidak mungkin ditangkap oleh indra.
            Pada tataran gramatikal, sastra maupun sejarah dan segala yang bersifat deduktif kualitatif bisa dipergunakan rasionalistik sebagai epistemologinya. Untuk kajian ilmiah keislamanpun rasionalistik dapat diterapkan pada aspek ini. Dalam Al-Qur’an sendiri Allah menyuruh manusia untuk menggunakan akal (rasio) nya dalam menangkap isyarat Ilahi yang ada di alam.
            Dengan epistemologi ini, anak didik dilatih penalaran rasionalitasnya. Dari uraian ini, jelas bahwa dalam ilmu pendidikan Islam dapat saja diterapkan berbagai epistemologi sesuai dengan aspeknya masing-masing dalam arti semua epistemologi tersebut dapat saling melengkapi kekurangan yang ada antara satu epistemologi dengan yang lain.
3.    Phenomenologik
            Sedang Phenomenologik berangapan bahwa kebenaran/ilmu diperoleh dengan intuisi langsung terhadap sumber utama pengetahuan serta studi intuisi atas esensi-esensi dan kebenaran berdasar pada gejala yang diamati melalui deduksi atau induksi (Rajihah dan Nidawati, 2008:11). Untuk kajian antropologi, psikologi, sosial budaya, keberagamaan masyarakat yang sifatnya ekploratif, maka phenomenologik sebagai epistemologinya bisa diterapkan melalui proses intuisi yang intens dalam mencapai kebenaran hakiki yang sesuai dengan kesadaran murni, tanpa adanya reduksi ilmiah. Kalau positivistik menggunakan pengamatan lahiriah, maka phenomenologik menggunakan pengamatan batiniah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang umat manusia, baik pada sisi kebudayaan, psikologinya, perilakunya yang semua ini memerlukan pendekatan phenomenologik yang tolak ukurnya adalah fenomena (gejala). Dalam penafsiran Al- Qur’an, dikenal bentuk tafsir adabi ijtima’i yang menggunakan kajian phenomenologik untuk memahami sekian banyak ayat yang menyinggung masalah sosial.
           
4.    Hermeneutik
            Pada dasarnya Hermeneutik adalah suatu metode untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan seperti teks untuk dicari arti dan maksudnya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan menafsirkan masa lampau yang telah dialami penafsir untuk dibawa ke masa sekarang.
            Hermeneutik bisa juga kiat untuk memahami teks-teks keagamaan dalam pencarian melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir transendensi dan yang lainnya. Dalam kajian ilmu keislaman, epistemologi ini bisa digunakan dalam rangka memahami ayat-ayat al- Qur’ân dan hadîts dengan melihat pada konteks keadaan atau situasi dan kondisi masyarakat pada saat ayat tersebut turun (asbab al-nuzûl) dan kondisi saat hadits (asbab al-wurûd) dikeluarkan, juga dengan kondisi dan situasi satu tafsir dikarang oleh seorang mufassir, serta dengan konteks kekinian (keadaan masyarakat sekarang), dalam corak tafsir kita kenal dengan corak adab al-Ijtima’iy.
            Namun tentu saja kajian tafsir hermeneutik ini harus sesuai dengan koridor “keagungan” dan “kesucian” wahyu. Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar (akal), jadi harus kita akui bahwa disamping ada hal yang rasional, irrasional, tetapi juga ada yang supra-rasional (diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya, karena akal manusia didesain terbatas).
            Menurut Noeng Muhadjir, konsep teoritiknya berangkat dari linguistik, narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-lain. Al-Qur’an yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi dua, yaitu teks pembentuk (naskah al- Qur’an), dan teks penjelas/hermeneutik (literatur-literatur yang memberikan interpretasi dan penjelasan terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW).
            Dengan berangkat dari hermeneutik sebagai epistemologinya, maka rangka bangunan ilmu pendidikan Islam akan menjadi kuat dan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk kepribadian muslim sejati yang status sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa hermeneutik bisa diterapkan pada aspek-aspek tertentu, seperti keiman, ibadah (termasuk hukum), dan moral atau akhlak. Meskipun dalam Islam, wahyu merupakan dasar pengetahuan yang utama, tetapi dalam wahyu (Al-Qur’an) itu sendiri mengisyaratkan bahwa kebenaran juga bisa diperoleh melalui penalaran dan perenungan yang mendalam terhadap alam ciptaan-Nya. Arkoun kembali menyatakan bahwa naskah Al-Qur’an secara hukum dan kandungannya diakui sebagai ungkapan otentik ajaran Tuhan, namun secara faktual telah dieksploitasi pada lima tataran pokok seperti layaknya sebuah karya manusia yaitu tataran etis yuridis (tauhid, fiqh dan akhlak); tataran metafisik ilmiah (antropologi, psikologi, astronomi, astrobiologi dan geobiologi); tataran historis (sejarah keagamaan bangsa semit yang kemudian diperluas menjadi sejarah dunia); tataran gramatikal dan tataran sastra (tata bahasa dan retorika).
            Untuk tataran etis yuridis, kebenaran bisa diperoleh dari wahyu dan juga intuisi. Oleh karena itu, dalam pendidikan keimanan, ibadah dan moral, maka normativitaslah yang menjadi sandarannya dengan hermeneutik dan realisme metaphisik sebagai epistemologinya. Melalui hermeneutik, anak didik diajarkan untuk memiliki keyakinan dan iman yang kokoh, ibadah yang mantap dan budi pekerti yang mulia (akhlak al-Karimah) dengan pemahaman makna agama yang terkandung dalam nash al-Qur’an.


E.   Epistemologi dalam Membangun Ilmu yang Islami
            Teori-teori ilmiah hanya semata-mata hasil pengamatan manusia secara sistematis terhadap realitas empiris tanpa ada pengaruh nilai. Itulah pandangan epistemologis yang cenderung “antroposentrisme” seperti nampak dalam pandangan positivisme. Epistemologi “antropo-sentrisme” Barat yang hampa nilai telah gagal memanusiakan manusia, seperti dikritik Bond dan Saunderaraj. Hasil-hasil rumusan empiris dalam bentuk teori, hukum, norma, dan etika yang semata-mata didasarkan pada manusia menimbulkan berbagai kontradisksi, seperti kebebasan tanpa batas, kesenjangan ekonomi, hedonistik dan yang semacamnya.  Asumsi yang melahirkan teori bahwa manusia merupakan makhluk ekonomi yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin melahirkan pola hidup hedonistik, mencari keuntungan dengan menghalalkan segala cara yang mendorong kejahatan kerah putih.[7]
            Kegagalan epistemologi Barat mendorong para pemikir muslim merumuskan kembali kerangka dasar keilmuan. Namun sayangnya sampai kini mereka belum sepakat dalam merumuskan epistemologi keilmuan. Muhamamd Abduh, misalnya, mengembangkan epistemologi yang bersifat “anrtroposentrisme” dengan asumsi bahwa sains bersifat profan, semata-mata hasil pengamatan terhadap fakta dan realitas empiris.
            Hal ini barangkali tidak menjadi persoalan bagi sains eksperimental-laboratoris. Tapi bagaimana dengan teori ilmu-ilmu sosial, ekonomi dan politik yang sarat nilai? Apakah hal ini juga akan dibebaskan dari nilai? Secara faktual, apa yang diklaim sebagai produk sains seringkali bertolak dari sudut pandang, ideologi, atau bahkan keyakinan tertentu. Sebagai ilustrasi, kita mengenal dua teori tentang terciptanya jagat raya, yakni: teori penciptaan kontinyu dan teori singularitas. Teori pertama menyatakan, jagat raya tercipta secara terus menerus dengan asumsi bahwa ruang menjadi penyebab kebolehjadian terbentuknya materi. Dengan kata lain, kebolehjadian merupakan pangkal terbentuknya alam semesta. Sementara itu, teori kedua menyatakan bahwa jagad raya diawali ledakan besar  titik materi maharapat (bigbanng theory). Teori ini nampak ambiguitas, dengan mengklaim bahwa teori yang satu lebih religius dari yang lain karena memberi peluang akan eksistensi Tuhan.[8]
            Fakta memang netral, tetapi teori yang merupakan penjelasan terhadap fakta seringkali tidak bebas nilai. Karena itu, seorang ahli filsafat ilmu, Thomas Khun, mempertanyakan obyektivitas dan universalisme ilmu.[9]
            Lalu, di manakah kita melakukan internalisasi nilai dalam proses ilmiah? Jika kita sepakat bahwa ilmu merupakan produk penalaran yakni pemikiran dalam suatu kerangka tertentu, kita harus masuk dalam wilayah pemikiran sebagai upaya membangun kembali kerangka epistemologis, setelah menolak epistemologi Barat-antroposentrisme-sekularistik yang mendistorsi nilai-nilai religi. Harus diakui, pola berfikir sains memang bersifat empiris, faktual, laboratoris, dan replicable. Ilmu berbicara tentang fakta, hipotesis, teori, dan hukum. Fakta-fakta, tulis Hoodboy, dianggap berlaku bila pengamat independen lain sepakat dengan hal yang sama, atau jika pengamatan dalam waktu dan tempat yang berbeda memberikan hasil yang sama. Jika sejumlah pengamat yang dilengkapi dengan teleskop yang cukup baik, misalnya,  telah mencapai kesepakatan mengenai gerak orbit, ukuran, dan bentuk dari bulan-bulan planet Jupiter, hasil pengamatan mereka diterima sebagai fakta yang sah, terlepas banyak di antara mereka atau bahkan seluruhnya terkenal bermoral buruk asal tidak bersekongkol mengungkap  fakta yang keliru. Sebaliknya, mimpi seorang darwis sekalipun terkenal kesalehannya tidak dianggap ilmiah karena tidak dapat diperiksa kebenarannya, tidak dapat diulangi, dan bersifat pribadi.[10] Selanjutnya, Hoodbhoy menegaskan, ilmu tertelak pada universalitasnya.[11]
            Pola pikir sains merupakan suatu penelitian ilmiah melalui berbagai eksperimen-laboratoris  untuk mengetahui hakikat suatu obyek, dan ini hanya berlaku untuk benda-benda fisik material yang nampak dan dapat diukur melalui proses laboratoris, tidak berlaku untuk hal-hal abstrak berupa ide-ide, baik ide yang terkait dengan masalah sosial ekonomi maupun ide yang terkait dengan dunia fisik. Kesimpulan yang diperoleh dari metode ilmiah tidak bersifat pasti (fixed), karena dapat digugurkan oleh hasil penelitian lain, sekalipun seringkali sebuah teori mapan yang dibangun atas dasar eksperimen untuk sementara dianggap sebagai kebenaran. Atom, misalnya, dalam rentang waktu tertentu dikatakan sebagai benda terkecil yang tidak dapat dipecah. Tetapi eksperimen berikutnya menyimpulkan bahwa atom bukan benda terkecil.
            Dalam lingkup metode ilmiah, kita mengakui bahwa benda-benda bebas nilai. Hasil penelitian ilmiah dengan sendirinya bersifat universal, selama tidak bersifat ideologis. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak hasil eksperimen yang dilakukan melalui metode ilmiah.[12]
            Dalam hal ini, barangkali kita sepakat dengan Hoodbhoy yang menganggap tidak perlu adanya sains Islam. Setiap upaya untuk menggiring sains yang bersifat empiris ke dalam ideologi tertentu, tegas Hoodbhoy, hanya akan melahirkan pseudo-science yang akan bermuara pada kegagalan. Karena itu, tidak ada sains Islam, juga tidak ada sains Marxis.[13]
            Lysenko, seorang ahli biologi Soviet memasukkan pandangan sosialis terhadap pertumbuhan tanaman dengan menyatakan bahwa pohon-pohon dari spesies yang sama yang ditanam berdekataan memiliki “solidaritas sosialis,” tidak akan bersaing untuk mempertahankan hidup, sebaliknya akan saling menolong untuk mempertahankan hidup. Pandangan biologis sosialis ini mengakibatkan perkebunan Soviet rugi besar karena mempercayai pandangan Lysenko.[14]
            Dari gambaran tersebut, metode ilmiah akan hanya menghasilkan madaniah (penemuan ilmiah akibat ketinggian dan perkembangan sains) yang bersifat obyektif, tidak terkait dengan kepercayaan, keyakinan, atau ideologi tertentu. Penemuan sains secara lebih praktis akan melahirkan teknologi, yang tidak terkait dengan kepercayaan.[15]
Dalam konteks ini, kita dapat menerima (fixasi) setiap teori yang dibangun berdasarkan realiats empiris, faktual, dan laboratoris. Dalam waktu yang sama kita harus membangun  world view Islam terhadap setiap hasil penemuan ilmiah dengan memasukkan kesadaran ketuhanan (kesadaran tauhid) terhadap benda-benda yang dikaji melalui proses ilmiah-laboratoris, tanpa mengganggu proses alamiah (sunnatullah) yang terdapat benda fisik-material tersebut.
            Kesimpulan yang diperoleh tidak hanya menghasilkan hal-hal yang bersifat madaniah melainkan adanya kesadaran ketuhanan (idrok sillah billah). Semakin tinggi pemahaman terhadap materi melalui proses ilmiah, akan semakin memahami takdir Allah tentang benda tersebut. Inilah makna internalisasi nilai dalam proses epistemologis. Berbeda dengan pola pikir sains yang bebas nilai, hasil dari pola pikir aqliyyah justru sarat nilai. MM Ismail, seorang guru besar Universitas Mesir menyebutkan: “Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indra menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindra maupun yang abstrak yang berkaiatan dengan pemikiran.”[16]
            Hampir disepakati para ilmuan bahwa teori-teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya seringkali merupakan refleksi seseorang terhadap realitas, atau dibangun berdasarkan interpretasi atas realitas. Teori-teori sosial dan ekonomi Marxisme, misalnya, merupakan hasil refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan sosial akibat laju industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad ke-19. Ketika membangun sebuah teori, tentunya, ada nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk bersikap terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, teori-teori ilmu sosial tidak bebas nilai. Michael Kunczik mengingatkan bahwa teori-teori perubahan sosial dan pembangunan sarat dengan etnosentrisme tertentu, sehingga seringkali tidak tepat jika diadopsi dan diterapkan pada proses pembangunan dunia ketiga.[17]
            Berbagai rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki seseorang.  Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai.
            Teori Darwin tentang asal-usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail menegaskan, pola pikir aqliyyah terdiri dari: fakta empiris, benak manusia, panca indra, dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki.[18]
            Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional (metode aqliyyah) merupakan proses pemindahan fakta empiris dan pengambilan keputusan atau sikap atas fakta berdasarkan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki. Karena pola pikir rasional (metode aqliyyah) menghasilkan ide dan teori yang merupakan produk kontemplatif yang dibangun atas pemahaman terhadap fakta berdasarkan informasi yang dimiliki sebelumnya (maklumat sabiqoh), metode aqliyyah akan menghasilkan ide-ide teoritis yang bernuansa hadhoroh. Husein Abdullah (1990) menegaskan, hadhoroh merupakan “… kumpulan pemahaman tentang kehidupan…” Sedangkan hadhoroh Islam ialah “… kumpulan pemahaman tentang kehidupan dari sudut pandang (world view) Islam.[19]
            Ketika kita menerima pandangan teoritis yang bernuansa ideologis dan kepercayaan, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan koreksi, serta membangun teori-teori baru (adition) dari sudut pandang hadhoroh Islam untuk menggantikan (substutution) teori-teori konvensional yang mengandung etnosentrisme, budaya, kepercayaan dan agama tertentu.  Setelah melakukan pemilahan kerangka berfikir, menjadi pola berfikir sains dan pola pikir rasional (aqliyyah), maka rekonstruksi epistemologis dapat dilakukan melalui  proses: fiksasi, internalisasi, koreksi, substitusi, dan adisi. Fiksasi berarti menerima teori-teori yang dihasilkan melalui proses empiris-laboratoris yang bersifat obyektif, faktual, dan replicable. Dalam waktu yang sama kita dapat melakukan internalisasi nilai terhadap proses berfikir ilmiah dan produk ilmiah. Kita juga dapat melakukan adisi jika ditemukan teori baru dari proses kajian ilmiah. Sementara itu, bagi teori-teori yang merupakan produk kontemplatif dan bernuansa hadhoroh yang dibangun atas pola pikir rasional, maka kita dapat melakukan koreksi dan substitusi terhadap teori-teori lama yang dinilai sudah usang. 
            Pola pikir sains secara epistemologis bersifat “antropo-sentris” yang bebas nilai. Sedangkan pola pikir rasional lebih bersifat “teo-sentris.” Artinya, berbagai teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya harus dibangun di atas landasan wahyu. Dari  sini sesungguhnya tidak ada pertentangan antara epistemologi “antropo-sentris” dengan epistemologi “teo-sentris.” Keduanya memiliki poporsi masing-masing.



















BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
            Dari uraian tersebut dapat di simpulkan epistemologi pada hakekatnya adalah membahas tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Epistemologi menurut Islam adalah pengetahuan dikatakan pengetahuan jika pengetahuan itu menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia untuk kebagiaan hidup di dunia dan akherat, bermanfaat bagi diri dan orang lain serta dengan ilmu pengetahuan tersebut mendekatkan dirinya kepada Allah.
             Untuk mendapatkan ilmu menurut islam adalah dengan mempergunakan panca indra, akal dan hati untuk melihat, mencermati dan meneliti ayat-ayat Allah baik yang qauniyah maupun yang qauliyah, yang tersirat dan tersurat. Islam sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar manusia berusaha mencari ilmu dan meneliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan ilmu dalam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan.                        
            Untuk mendapatkan ilmu adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu merupakan puncak segala sumber pengetahuan yang merupakan manisfestasi dari firman Allah.













DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qodri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais Agama RI.

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Bakhtiar,  Amsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta:Logos Wacana Ilmu.

Khun, Thomas. 1993. Peran Paradigma dalam Revoluasi Sains. Bandung: Rosdakarya.

Mulyanto. 2000. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Pedebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Cidesindo.

Hadi, Hardono. 1994. Epistemologi; Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Hoodbhoy,Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terjemahan Sari Meutia. Bandung: Mizan.

Supartono, Suparlan. 2005. Filsafat ilmu Pengetahuan (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media)

Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,(Jakarta: Lintas Pustaka).



[1] Hardono Hadi, Epistimologi;Filsafat Pengetahuan,(Yogyakarta: Kanisius,1994), h. 13
[2] Suparlan Supartono, Filsafat ilmu Pengetahuan,(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2005), h.157
[3] Suparlan, Op.Cit., h.157.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999), h.37
[5] Ibid.
[6] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektip Pemikiran Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka: 2006), h. 53
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 168
[8] Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Pedebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Cidesindo, 2000), hal.19
[9] Thomas Khun, Peran Paradigma dalam Revoluasi Sains (Bandung: Rosdakarya, 1993),  hal. 43-53
[10] Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Meneghakkan Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terjemahan Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hal. 33-34
[11] Ibid., hal. 36
[12] Hanya saja dalam konteks ini, perlu diperhatikan persoalan etika, terutama yang terkait dengan persoalan keyakinan, seperti peneltiian rekayasa genetik (seperti kloning) akan bertabrakan dengan keyakinan agama tertentu. Demikian halnya penelitian yang menggunakan lemak babi.
[13] Hoodbhoy, op.cit., hal. 138-144
[14] Ibid., hal. 146.
[15] Muhammad Husein Abdullah, Ad-Dirosah fi al-fikry-al Islamy (Aman: Dar al-Bayariq, 1990), hal. 74
[16] MM Ismail, Al-Fiku al-Islami (Beirut: Maktabah Al-Wa’ie, 1958), hal. 88.
[17] Michael Kunczik, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986), hal. 59-60
[18] MM Ismail, op.cit. hal 88
[19] Muhammad Husein Abdullah, op.cit. hal. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar