BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Epistemologi
disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari
dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas
bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Para filosof
aliran Sokratik, atau filosof-filosof pertama di Barat pada waktu itu belum
memberikan perhatian terhadap filsafat pengetahuan. Dan bukan berarti mereka
tidak peduli terhadap filsafat. Kehidupan filsafat di Barat makin menunjukkan
kemajuannya.
Aristoteles
mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu.” Aristoteles
meyakini hal tersebut. Keyakinan tersebut tidak hanya untuk orang lain saja,
tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Socrates, Socrates telah
meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu pondasi yang berbeda, ia
meyakini bahwa tidak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan.[1]
Ada kemungkinan manusia tidak mempunyai pengetahuan
karena tidak menggunakan inderanya untuk mengenali alam ini, manusia akan mengetahui ketika ada rasa kagum.
Ketika manusia
tidak kagum, maka ia tidak akan pernah mengenal filsafat, karena pada dasarnya dari rasa kagumlah filsafat bermula.
Rasa kagum sebenarnya bukan muncul dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman
muncul, sering muncul dan tampak sederhana dalam kehidupan manusia.
Manusia
sering menganggap bahwa sesuatu yang kelihatan adalah dapat dipahami dengan
benar dan seolah-olah ia telah mengetahui keberadaan benda dan materi tersebut
secara mendalam. Anggapan manusia bahwa apa yang terlihat dan dilihatnya serta
dikenalnya, belum tentau dapat dipahami hakekatanya, belum pasti manusia telah
sampai kepada pengetahuan yang ia kenal. Dari sinilah nantinya ada peluang bagi
epistemologi untuk menjelaskan kenapa manusia mengetahui, kenapa sesuatu itu
menjadi seperti itu.
Epistemologi
berusaha menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya
adalah karena ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika
benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and
error untuk mengetahui sesuatu, dengan harapan akan mendapatkan kebenaran.
Bahkan, kalau diperhatikan ternyata pertanyaan-pertanyaan
filosof sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kalau ada orang
bertanya tentang sesuatu yang sudah ada di anggap aneh, bahkan ada kesan bahwa
sesuatu yang hadir, dianggap telah diketahui keadaannya, padahal belum kenal
dan tahu apa hakekat benda itu. Hal tersebut merupakan salah satu
persoalan-persoalan pokok dalam epistemologi. Kekaguman merupakan awal
munculnya epistemologi.
Sesungguhnya peradaban Islam telah berkembang jauh sebelum bangsa-bangsa Barat banyak melakukan berbagai penemuan dalam bidang
ilmu
dan teknologi. Sebut saja pakar-pakar
muslim
seperti Ibnu Sîna yang merupakan filosof
dan ahli
dalam kedokteran. Ibnu Sina juga merupakan bapak kedokteran modern. Ibnu Khaldun
seorang
pakar ekonomi, historiografi dan
sosiologi. Al-Farabi yang mempunyai kontribusi besar pada bidang matematika dan Farmasi. Dan Abu
Musa
Al-Kawarizm yang menggubah dan menggunakan angka Arab modern serta menemukan angka nol
(0) dan nisbat namanya dalam matematika untuk istilah logaritma.
Pada
zaman keemasan Islam tersebut, para Sarjana Muslim sebagai pelopor
perkembangan ilmu
dan teknologi dalam mengaplikasikan ilmunya tidak terlepas dari peran agamanya,
yaitu
Islam. Sebagai sumber utama pengembangan ilmunya tentu saja kembali kepada Al-Qur’an
dan
Hadits t Nabi. Sementara kemerosotan
peradaban Islam saat ini tentunya disebabkan umat muslim sendiri telah melupakan epistomologi yang seharusnya diaplikasikan secara islami. Padahal Allah
telah
berfirman dalam QS. Al-Hajj (22):3 yang
artinya:
“Di antara manusia ada orang yang
membantah tentang
Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat”. Bagaimanakah kita sebagai umat Islam,
sebagai
intelektual muslim, sebagai sarjana dan
calon-
calon sarjana muslim menyikapi
perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban modern saat ini yang kadangkala jika diamati banyak
bertentangan dengan
moral dan akhlak kehidupan yang Islami.
Misalnya
saja perkembangan teknologi nuklir yang akhirnya digunakan untuk membunuh satu
sama
lain, penemuan farmasi yang ternyata
disalah
gunakan untuk merusak generasi muda dengan “narkoba” dan obat-obatan psikotropika,
rekayasa
genetika yang mungkin nantinya mengaburkan silsilah keturunan. Alhasil memang
peradaban modern
yang tidak didampingi oleh akhlak (agama) yang baik akan menuju kehancuran.
Untuk
itu, pada makalah ini tim penulis mencoba membahas dan menguraikan tentang
aspek-aspek teori
ilmu pengetahuan (Epistemologi) dalam pengembangan ilmu Islam. Apakah semua
teori/aliran filasafat yang berkembang selama ini (Positivistik, Rasionalistik,
Phenomenologik, Hermeneutik) sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam (Epistemologi Islam)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Epistemologi
Secara
etimologi epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang
mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti
pengetahuan. Secara
harfiah. Epistemologi
berarti “studi atau teori tentang pengetahuan. Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan
tentang pengetahuan.[2]
Dengan demikian dapat dimengerti
bahwa epistemologi membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang
dirinya sendiri.
Ketika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita menemukan arti epistemologi sebagai salah satu cabang
ilmu
filsafat yang membahas tentang dasar-dasar
dan
batas-batas ilmu pengetahuan. “Epistemologi adalah teori ilmu
pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula,
sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas
sampai soal kebenaran.”
Bagi sesuatu
ilmu, pertanyaan yang menyangkut definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya
merupakan bahan-bahan
pembahasan dari epistemologinya. (Kamrani Buseri)
Dengan demikian epistemologi atau teori pengetahuan didefinisikan
sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
anggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk
mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaraan
tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan
bagaimana cara mengetahui. Membahas epistemologi tidak akan lepas dari berbagai
teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori
tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan
tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya
yang berbeda.
Menurut
Suparlan Suhartono perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda,
metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Menurut Suparlan dari
kedua metode tersebut yang lebih dapat dipercaya tergantung pada jenis dan
sifat obyek studi. Sebagai contoh penganut empirisme lebih cenderung kepada
teori korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik
dengan teori koherensi.[3]
Amsal
Bakhtiar menyatakan bahwa pada hakekatnya epistemeologi adalah berusaha
membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan
bagaimana memperoleh pengetahuan. Dari pendapat Amsal
Bakhtiar tersebut memperjelas makna epistemologi, yaitu sesuatu yang
berhubungan dengan apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan.[4]
Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah
pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode untuk
mendapatkan pengetahuan. Mendapatkan pengetahuan berarti berhubungan dengan
mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah
menyusun pendapat tentang suatu obyek dalam akal tentang sesuatu yang berada di
luar akal.[5]
Pendapat Amsal Bakhtiar merupakan
duplikasi dari pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Lebih
lanjut Amsal menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta
di luar akal dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal
B. Pendidikan
Islam
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani berdasarkan hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian
menurut
ukuran Islam. Selanjutnya M. Arifin menambahkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih,
mengasuh
dan mengawasi berlakunya semua ajaran
Islam.
Dari
sini, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dan segala hal yang berhubungan dengannya harus didasarkan pada ajaran Islam itu
sendiri
yang menurut Nur Uhbiati berlandaskan pada
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan juga hadits Nabi SAW. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam membangun ilmu pendidikan Islam harus berorientasi kepada Al-Qur’an dan Hadits
yang
statusnya adalah wahyu.
Dalam tulisannya,
M.Solly
Lubis, menyatakan bahwa dasar pengetahuan
ada
beberapa macam, yaitu wahyu, intuisi, dan penalaran
(cirinya adalah logis dan analisis). Menurutnya, wahyu dan intuisi termasuk
dasar pengetahuan yang non analitis. Melalui wahyu yang disampaikan Tuhan kepada para
utusan-Nya dengan
perantaraan malaikat dan diteruskan kepada umat manusia, sehingga mereka memperoleh pengetahuan melalui keyakinan
dan
kepercayaan bahwa apa yang diwahyukan itu adalah suatu kebenaran. Demikian juga
intuisi
menjadi dasar pengetahuan, meskipun tidak mempunyai logika dan pola pikir tertentu.
Dalam hal ini,
M.Solly Lubis kembali menjelaskan bahwa seseorang harus bisa membedakan antara kebenaran ilmu atau
filsafat
dengan kebenaran agama. Berbeda dengan
ilmu,
agama juga mempermasalahkan objek-objek di
luar
pengalaman manusia, baik sebelum manusia berada di bumi maupun sesudah kematiannya. Perbedaan lingkup permasalahannya juga menyebabkan berbedanya metode dalam memecahkan masalah.
Hal ini harus
diketahui dengan
benar agar mampu menempatkan keduanya dalam perspektif yang sungguh-sungguh. Dengan menguasai
hakikat ilmu dan dengan secara baik, maka kedua pengetahuan tersebut justru akan bersifat saling
melengkapi (komplementaristis).
C. Epistemologi dalam
Islam
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui
pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu,
Nabi Muhammad SAW., mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan
muslimat. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu
sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah akan
meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan
kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mujadalah: 11).
Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena
dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah SWT dan di sisi manusia.
Dalam hadits yang lain
Nabi Muhammad SAW., menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka
harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan
ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akhirat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa ilmu akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan
akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan benar tidaknya manusia dalam
mencari kebenaran.
Kebenaran
tersebut bermula ketika manusia mampu membaca tanda-tanda kekuasaan Allah. Di
antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis.
Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran, dengan membaca
manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Ayat
tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang
tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap
tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar
manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia
mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi
kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus
mempunyai ilmu. Al-Qur’an
menyatakan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu pengetahuan dengan yang
tidak berilmu pengetahuan, sebagaimana firman-Nya:
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran”. (QS.
Az-Zumar: 9)
Dalam
ayat tersebut juga dinyatakan bahwa hanya orang yang berakal-lah yang dapat
menerima pelajaran. Artinya adalah manusia yang berakal akan mendapatkan
pelajaran dan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya orang yang berakal-lah yang dapat
memahami ayat-ayat Allah.
Islam
memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu
dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut; pertama,
metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang agung, menjawab
pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana, dan bagimana. Dengan
menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan
memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi-studi yang
berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya
dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain
sebagainya. Ketiga yaitu aspek material yang termasuk dalam aspek ini
adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti
dengan uji coba di laboratorium.[6]
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas,
empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan
menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran. Bahkan dalam Al-Qur’an
dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat
Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-Qur’an tidak dapat mengandalkan akal
sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Qur’an
menyatakan semau tanda-tanda/ayat-ayat Allah tidak ada gunanya kecuali bagi mereka yang beriman. Dalam ayat
lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar
mendapatkan pengetahuan dan kebenaran.
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah
mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian
menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari
celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya
(butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya
dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir
menghilangkan penglihatan.” (QS.
An-Nur: 43)
Ayat
tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua orang akan mendapatkan kebenaran,
hal ini membuktikan bahwa meskipun manusia mempunyai akal tetapi dengan akalnya
ia tidak serta merta mendapatkan kebenaran hakiki. Kalau
tidak izin Allah dan kehendak Allah maka manusia tidak akan mendapatkan ilmu
dan kebenaran. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah menganjurkan
kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk memahami ayat-ayat/
tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera merupakan jalan untuk
mendapatkan ilmu dan kebenaran.
Al-Qur’an
menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akal untuk memperoleh
pengetahuan, dengan berbagai fonomena akal manusia dapat memahami tanda-tanda
kekuasaan Allah. Meskipun Islam menyuruh akal manusia
untuk memahami, meneliti ayat-ayat Allah, tetapi peran akal dalam eksperimen
tidak sebebas-bebasnya. Dalam arti masih ada batas akhir dari kemampuan akal
untuk mencapai kebenaran. Ketika akal manusia tersbentur maka yang berlaku pada
saat itu adalah keimanan terhadap wahyu Allah. Dengan demikian adanya anggapan
bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah sudah mencukupi untuk menemukan kebenaran
tentang adanya Tuhan, sudah cukup untuk menjadi sarana mengenal Tuhan. Padahal
Allah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang tidak ada keraguan di
dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Panca
indera adalah alat bagi akal untuk mencerap pengetahuan. Akal akan sempurna
ketika diperkaya oleh wawasan yang didapatkan melalui indera.
Pengetahuan yang bersifat inderawi dapat dicerap secara inderawi, sedangkan
pengetahuan yang bersifat non inderawi/metafisika hanya dapat diyakini dan
dibenarkan dengan keimanan. Ada kemungkinan manusia mengetahui rahasia pengetahuan yang diberikan Allah,
permasalahannya hanya terletak pada kemampuan manusia untuk menggunakan panca
indera sebagai alat akal dan menggunakan wahyu sebagi sumber pengetahuan.
Sebagai uraian penutup pada poin ini, perlu dipahami
bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan/premis keyakinan.
Keyakinan akan kebenaran Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Dikatakan Al-Qur’an
sumber pengetahuan karena di antara fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk
dan pembeda antara yang hak dan yang batil.
Islam
sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi
motivasi agar manusia berusaha mencari ilmu dan meneliti, hal ini membuktikan
bahwa kedudukan ilmu dalam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan. Untuk
mendapatkan ilmu adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua
kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu merupakan puncak segala
sumber pengetahuan yang merupakan manisfestasi dari firman Allah.
D. Beberapa
Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam
Dari pengertian tentang epsitemologi pada bagian terdahulu dapat
dikatakan bahwa pada bagian ini (Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu
Islam) mengehendaki satu pembahasan tentang apsek apa saja yang terdapat dalam espitemologi
(teori ilmu pengetahun) tersebut dalam usaha umat Islam untuk mengembangkan ilmu
dalam konteks Islam, artinya ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar
dari koridor ajaran Islam sebagai ajaran yang universal (Rahmatan li
al-‘Alamîn). Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang
epistemologi Islam itu sendiri berdasarkan wahyu (Al-Qur’andan al-Hadîts)-(Mujamil
Qomar, M.Ag, 2007:187).
Dengan demikian setiap ilmu-ilmu pengetahuan ke duniaan dan
teknologinya maupun ilmu agama yang dikembangkan dalam Islam harus senantiasa
mengacu kepada Al-Qur’an dan al-Hadîts sebagai suatu landasan berpijak yang diyakini
kebenaran yang qath’i. Ketika membangun ilmu Islam, maka bangunan ilmu tersebut
mestilah sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan alam serta tidak mengabaikan dimensi
ilahiyah, dalam arti bahwa ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar
dari koridor kemanusiaan yang senantiasa tunduk dengan senantiasa patuh kepada
hukum Ilahiyah, baik itu hokum meminjam istilah Quraish Shihab yaitu qauliyah
maupun kauniyah.
Epistemologi
harus dikembalikan menjadi epistemologi yang Islami dalam arti mengedepankan 2
unsur yang seimbang yaitu ilmu pengetahuan berdasar ayat-ayat yang bersifat
“Qauliyah” atau Empirik termasuk didalamya rasio, panca indera dan intuisi (hati),
kedua, ayat-ayat “Kauniyah” atau berdasarkan sumber-sumber formal Islam seperti
wahyu dalam Al-Qur’anyang menerangkan kepadamanusia tentang sesuatu bersifat
meta-empirik atau supra rasional dan Hadits t Nabi. Kenyataan empirik mungkin
dapat dibuktikan dengan metodologi penelitian yang sudah berkembang saat ini,
tapi untuk ayat-ayat “Kauniyah” maka hati atau intuisilah yang memegang peranan
dimana ketaqwaan dan keimanan seorang akan mempengaruhi hal tersebut, Allah
sendiri telah menyampaikan firmannya sebagai berikut: “Dan di antara manusia
ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa
petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS. Al Hajj: 8).
Peringatan Allah
tersebut ditujukan kepada orang-orang yang hanya menggunakan ayat-ayat Qauliyah
atau empirik saja tanpa ada pertanggungjawabannya terhadap sesuatu yang ghaib
atau meta-empirik dalam hal ini tentunya keberadaan Allah SWT., sebagai Tuhan
mereka, sebagai yang Maha Tahu. Para intelektual saat ini seakan-akan mulai
terkena syndrome atheism dimana semua kepandaiannya dan kejeniusannya dalam
penemuan-penemuan ilmu dan teknologi karena hasil jerih payahnya sendiri dalam menggunakan
akal dan panca inderanya.
Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam, yaitu:
1. Positivistik
Dipelopori oleh
Francis Bacon (1561-1626) yang menegaskan bahwa pengalaman empirislah yang
menjadi sumber ilmu pengetahuan. (http:// rizazaimun.blogspot.com). Apa-apa
yang didapat dari eksperimen empiris, melalui metoda induktif, yang dapat dikatakan
ilmiah. Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman
empiris.
Dalam Islam, hal
tersebut tidaklah bertentangan, karena kebenaran yang dianut oleh Positivistik hanya
berada pada wilayah material (Quraish Shihab:144-145; Murtadha Muthahhari:72),
dan Al-qur’ân mejelasan bahwa: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An Nahl [16]: 78) Pada ayat
tersebut, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa alat pokok yang digunakan
untuk meraih pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan (material),
sehingga Islam mengakui kebenaran yang berdasarkan empiris (teramati dengan
kedua indra tersebut). Al-Qur’ân juga menyampaikan metode observasi ketika
melakukan penelitian, yang artinya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung
gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku,
mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan
mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”
(QS. Al-Maidah [6]: 31) Observasi atau pengamatan indrawi bisa melalui alat
indra telanjang atau dengan bantuan alat seperti mikroskop mapun teleskop.
(Mulyadhi Kartanegara:3).
Pada tataran
ilmiah Al-Qur’an, dapat diterapkan epistemologi Positivistik ini, misalnya untuk kajian keislaman yang mengarah kepada
ilmu-ilmu kealaman, seperti biologi, fisika, astronomi yang sifatnya
kuantitatif empirik dapat diterapkan dalam mencari pemahaman yang tepat terhadap
nash Al-Qur’an yang menyinggung persolan-persoalan tersebut.
Tidak sedikit
ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kejadian alam semesta, ilmu perbintangan
(falak), proses penciptaan makhluk dan perkembangannya, mulai dari manusia,
hewan dan tumbuhan. Ilmu-ilmu tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Nico Syukur
Dister, adalah berpangkal dan bertolak dari fakta-fakta pengalaman, kemudian
sasarannya adalah suatu intelgibilitas (yang jelas) dan dapat dikontrol secara
diverifikasi (dibuktikan) oleh fakta pengalaman. Semua itu memerlukan pendekatan
positivistik dalam memahaminya, sehingga kebenaran yang dicari itu memang memiliki
standar yang bisa diuji. Oleh karena itu, dalam dunia penafsiran Al-Qur’an, ada
dikenal istilah tafsir ilmi yang menggunakan kajian positivistik (pengamatan
lahiriah), meskipun jenis tafsir ini masih diperdebatkan ulama.
2. Rasionalisme
Rasionalisme dan
Phenomenologik (yang mengembangkan Rasionalisme kritis ): kebenaran adalah
sesuatu yang masuk akal, satu-satunya cara mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui
metoda ilmiah yang ditopang oleh rasionalisme. Rasionalisme dipelopori oleh Rene
Descartes (1596-1650) yang mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah
rasio. Hanya pengetahuan yang didapat dari akallah, dengan metoda deduktif,
yang memenuhi syarat lmiah. (http://rizazaimun.blogspot.com) Selain observasi dan eksperimen
(positivistik), juga disyaratkan kemampuan imajinatif, analisis, dan sintesis,
terutama ketika menjawab pertanyaan yang susah ketika dicari jawabannya melalui
observasi dan eksperimen. (Abudin Nata, MA). Hal tersebut juga diisyaratkan dalam
firman Allah SWT yang artinya: “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana Dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghâsiyah
[88]: 17-20)
Kembali, Al-Qur’ân
menyatakan bahwa kebenaran ilmu bisa diperoleh dengan mengarahkan dan mendayagunakan
akal (fu’ad, sebagaimana QS. Al-Nahl [16]: 78), sehingga ilmu yang diperoleh dengan
mendayagunakan indra jika dibarengi dengan pengerahan akal, maka akan diperoleh
ilmu/kebenaran yang optimal. Akal mampu memahami substansi-substansi dan esensi-esensi
yang bersifat non-fisik (Mulyadhi Kartanegara, 2005:108), sehingga akal dapat menangkap
informasi dari objek-objek yang tidak mungkin ditangkap oleh indra.
Pada tataran
gramatikal, sastra maupun sejarah dan segala yang bersifat deduktif kualitatif
bisa dipergunakan rasionalistik sebagai
epistemologinya. Untuk kajian ilmiah keislamanpun rasionalistik dapat
diterapkan pada aspek ini. Dalam Al-Qur’an sendiri Allah menyuruh manusia untuk
menggunakan akal (rasio) nya dalam menangkap isyarat Ilahi yang ada di alam.
Dengan
epistemologi ini, anak didik dilatih penalaran rasionalitasnya. Dari uraian
ini, jelas bahwa dalam ilmu pendidikan Islam dapat saja diterapkan berbagai epistemologi
sesuai dengan aspeknya masing-masing dalam arti semua epistemologi tersebut dapat
saling melengkapi kekurangan yang ada antara satu epistemologi dengan yang
lain.
3. Phenomenologik
Sedang Phenomenologik
berangapan bahwa kebenaran/ilmu diperoleh dengan intuisi langsung terhadap
sumber utama pengetahuan serta studi intuisi atas esensi-esensi dan kebenaran berdasar
pada gejala yang diamati melalui deduksi atau induksi (Rajihah dan Nidawati, 2008:11).
Untuk kajian antropologi, psikologi, sosial budaya, keberagamaan masyarakat
yang sifatnya ekploratif, maka phenomenologik sebagai epistemologinya bisa diterapkan
melalui proses intuisi yang intens dalam mencapai kebenaran hakiki yang sesuai dengan
kesadaran murni, tanpa adanya reduksi ilmiah. Kalau positivistik menggunakan pengamatan
lahiriah, maka phenomenologik menggunakan pengamatan batiniah. Banyak ayat Al-Qur’an
yang menyinggung tentang umat manusia, baik pada sisi kebudayaan, psikologinya,
perilakunya yang semua ini memerlukan pendekatan phenomenologik yang tolak
ukurnya adalah fenomena (gejala). Dalam penafsiran Al- Qur’an, dikenal bentuk
tafsir adabi ijtima’i yang menggunakan kajian phenomenologik untuk memahami
sekian banyak ayat yang menyinggung masalah sosial.
4. Hermeneutik
Pada dasarnya Hermeneutik
adalah suatu metode untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang
diperlakukan seperti teks untuk dicari arti dan maksudnya, dimana metode ini
mensyaratkan adanya kemampuan menafsirkan masa
lampau yang telah
dialami penafsir untuk dibawa ke masa sekarang.
Hermeneutik bisa
juga kiat untuk memahami teks-teks keagamaan dalam pencarian melalui pencarian
makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir transendensi dan yang
lainnya. Dalam kajian ilmu keislaman, epistemologi ini bisa digunakan dalam
rangka memahami ayat-ayat al- Qur’ân dan hadîts dengan melihat pada konteks keadaan
atau situasi dan kondisi masyarakat pada saat ayat tersebut turun (asbab
al-nuzûl) dan kondisi saat hadits (asbab al-wurûd) dikeluarkan, juga dengan
kondisi dan situasi satu tafsir dikarang oleh seorang mufassir, serta dengan konteks
kekinian (keadaan masyarakat sekarang), dalam corak tafsir kita kenal dengan
corak adab al-Ijtima’iy.
Namun tentu saja
kajian tafsir hermeneutik ini harus sesuai dengan koridor “keagungan” dan “kesucian”
wahyu. Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar (akal), jadi harus kita
akui bahwa disamping ada hal yang rasional, irrasional, tetapi juga ada yang supra-rasional
(diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya, karena akal manusia didesain
terbatas).
Menurut Noeng
Muhadjir, konsep teoritiknya berangkat dari linguistik, narasi bahasa,
historis, hukum, etika dan lain-lain. Al-Qur’an yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan
Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam pencarian kebenaran kontekstual.
Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi dua, yaitu teks
pembentuk (naskah al- Qur’an), dan teks penjelas/hermeneutik
(literatur-literatur yang memberikan interpretasi dan penjelasan terhadap teks
pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir Islam sejak empat abad pertama
hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW).
Dengan berangkat
dari hermeneutik sebagai epistemologinya, maka rangka bangunan ilmu pendidikan
Islam akan menjadi kuat dan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu
untuk membentuk kepribadian muslim sejati yang status sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya
di muka bumi ini. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa hermeneutik bisa
diterapkan pada aspek-aspek tertentu, seperti keiman, ibadah (termasuk hukum), dan
moral atau akhlak. Meskipun dalam Islam, wahyu merupakan dasar pengetahuan yang
utama, tetapi dalam wahyu (Al-Qur’an) itu sendiri mengisyaratkan bahwa kebenaran
juga bisa diperoleh melalui penalaran dan perenungan yang mendalam terhadap
alam ciptaan-Nya. Arkoun kembali menyatakan bahwa naskah Al-Qur’an secara hukum
dan kandungannya diakui sebagai ungkapan otentik ajaran Tuhan, namun secara
faktual telah dieksploitasi pada lima tataran pokok seperti layaknya sebuah
karya manusia yaitu tataran etis yuridis (tauhid, fiqh dan akhlak); tataran
metafisik ilmiah (antropologi, psikologi, astronomi, astrobiologi dan
geobiologi); tataran historis (sejarah keagamaan bangsa semit yang kemudian diperluas
menjadi sejarah dunia); tataran gramatikal dan tataran sastra (tata bahasa dan
retorika).
Untuk tataran
etis yuridis, kebenaran bisa diperoleh dari wahyu dan juga intuisi. Oleh karena
itu, dalam pendidikan keimanan, ibadah dan moral, maka normativitaslah yang
menjadi sandarannya dengan hermeneutik dan realisme metaphisik sebagai
epistemologinya. Melalui hermeneutik, anak didik diajarkan untuk memiliki
keyakinan dan iman yang kokoh, ibadah yang mantap dan budi pekerti yang mulia
(akhlak al-Karimah) dengan pemahaman makna agama yang terkandung dalam nash
al-Qur’an.
E. Epistemologi dalam Membangun Ilmu yang Islami
Teori-teori ilmiah hanya semata-mata hasil pengamatan manusia
secara sistematis terhadap realitas empiris tanpa ada pengaruh nilai. Itulah
pandangan epistemologis yang cenderung “antroposentrisme” seperti nampak dalam
pandangan positivisme. Epistemologi “antropo-sentrisme” Barat yang hampa nilai
telah gagal memanusiakan manusia, seperti dikritik Bond dan Saunderaraj.
Hasil-hasil rumusan empiris dalam bentuk teori, hukum, norma, dan etika yang
semata-mata didasarkan pada manusia menimbulkan berbagai kontradisksi, seperti
kebebasan tanpa batas, kesenjangan ekonomi, hedonistik dan yang
semacamnya. Asumsi yang melahirkan teori
bahwa manusia merupakan makhluk ekonomi yang berusaha mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin melahirkan pola hidup
hedonistik, mencari keuntungan dengan menghalalkan segala cara yang mendorong
kejahatan kerah putih.[7]
Kegagalan
epistemologi Barat mendorong para pemikir muslim merumuskan kembali kerangka
dasar keilmuan. Namun sayangnya sampai kini mereka belum sepakat dalam
merumuskan epistemologi keilmuan. Muhamamd Abduh, misalnya, mengembangkan epistemologi
yang bersifat “anrtroposentrisme” dengan asumsi bahwa sains bersifat profan,
semata-mata hasil pengamatan terhadap fakta dan realitas empiris.
Hal
ini barangkali tidak menjadi persoalan bagi sains eksperimental-laboratoris.
Tapi bagaimana dengan teori ilmu-ilmu sosial, ekonomi dan politik yang sarat
nilai? Apakah hal ini juga akan dibebaskan dari nilai? Secara faktual, apa yang
diklaim sebagai produk sains seringkali bertolak dari sudut pandang, ideologi,
atau bahkan keyakinan tertentu. Sebagai ilustrasi, kita mengenal dua teori
tentang terciptanya jagat raya, yakni: teori penciptaan kontinyu dan teori
singularitas. Teori pertama menyatakan, jagat raya tercipta secara terus
menerus dengan asumsi bahwa ruang menjadi penyebab kebolehjadian terbentuknya
materi. Dengan kata lain, kebolehjadian merupakan pangkal terbentuknya alam
semesta. Sementara itu, teori kedua menyatakan bahwa jagad raya diawali ledakan
besar titik materi maharapat (bigbanng
theory). Teori ini nampak ambiguitas, dengan mengklaim bahwa teori yang
satu lebih religius dari yang lain karena memberi peluang akan eksistensi
Tuhan.[8]
Fakta
memang netral, tetapi teori yang merupakan penjelasan terhadap fakta seringkali
tidak bebas nilai. Karena itu, seorang ahli filsafat ilmu, Thomas Khun,
mempertanyakan obyektivitas dan universalisme ilmu.[9]
Lalu,
di manakah kita melakukan internalisasi nilai dalam proses ilmiah? Jika kita
sepakat bahwa ilmu merupakan produk penalaran yakni pemikiran dalam suatu
kerangka tertentu, kita harus masuk dalam wilayah pemikiran sebagai upaya
membangun kembali kerangka epistemologis, setelah menolak epistemologi
Barat-antroposentrisme-sekularistik yang mendistorsi nilai-nilai religi. Harus
diakui, pola berfikir sains memang bersifat empiris, faktual, laboratoris, dan
replicable. Ilmu berbicara tentang fakta, hipotesis, teori, dan hukum.
Fakta-fakta, tulis Hoodboy, dianggap berlaku bila pengamat independen lain
sepakat dengan hal yang sama, atau jika pengamatan dalam waktu dan tempat yang
berbeda memberikan hasil yang sama. Jika sejumlah pengamat yang dilengkapi
dengan teleskop yang cukup baik, misalnya,
telah mencapai kesepakatan mengenai gerak orbit, ukuran, dan bentuk dari
bulan-bulan planet Jupiter, hasil pengamatan mereka diterima sebagai fakta yang
sah, terlepas banyak di antara mereka atau bahkan seluruhnya terkenal bermoral
buruk asal tidak bersekongkol mengungkap
fakta yang keliru. Sebaliknya, mimpi seorang darwis sekalipun terkenal
kesalehannya tidak dianggap ilmiah karena tidak dapat diperiksa kebenarannya,
tidak dapat diulangi, dan bersifat pribadi.[10]
Selanjutnya, Hoodbhoy menegaskan, ilmu tertelak pada universalitasnya.[11]
Pola
pikir sains merupakan suatu penelitian ilmiah melalui berbagai
eksperimen-laboratoris untuk mengetahui
hakikat suatu obyek, dan ini hanya berlaku untuk benda-benda fisik material
yang nampak dan dapat diukur melalui proses laboratoris, tidak berlaku untuk hal-hal
abstrak berupa ide-ide, baik ide yang terkait dengan masalah sosial
ekonomi maupun ide yang terkait dengan dunia fisik. Kesimpulan yang diperoleh
dari metode ilmiah tidak bersifat pasti (fixed), karena dapat digugurkan oleh
hasil penelitian lain, sekalipun seringkali sebuah teori mapan yang dibangun
atas dasar eksperimen untuk sementara dianggap sebagai kebenaran. Atom,
misalnya, dalam rentang waktu tertentu dikatakan sebagai benda terkecil yang
tidak dapat dipecah. Tetapi eksperimen berikutnya menyimpulkan bahwa atom bukan
benda terkecil.
Dalam
lingkup metode ilmiah, kita mengakui bahwa benda-benda bebas nilai. Hasil
penelitian ilmiah dengan sendirinya bersifat universal, selama tidak bersifat
ideologis. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak hasil
eksperimen yang dilakukan melalui metode ilmiah.[12]
Dalam
hal ini, barangkali kita sepakat dengan Hoodbhoy yang menganggap tidak perlu
adanya sains Islam. Setiap upaya untuk menggiring sains yang bersifat empiris
ke dalam ideologi tertentu, tegas Hoodbhoy, hanya akan melahirkan
pseudo-science yang akan bermuara pada kegagalan. Karena itu, tidak ada sains
Islam, juga tidak ada sains Marxis.[13]
Lysenko,
seorang ahli biologi Soviet memasukkan pandangan sosialis terhadap pertumbuhan
tanaman dengan menyatakan bahwa pohon-pohon dari spesies yang sama yang ditanam
berdekataan memiliki “solidaritas sosialis,” tidak akan bersaing untuk
mempertahankan hidup, sebaliknya akan saling menolong untuk mempertahankan
hidup. Pandangan biologis sosialis ini mengakibatkan perkebunan Soviet rugi
besar karena mempercayai pandangan Lysenko.[14]
Dari
gambaran tersebut, metode ilmiah akan hanya menghasilkan madaniah (penemuan
ilmiah akibat ketinggian dan perkembangan sains) yang bersifat obyektif, tidak
terkait dengan kepercayaan, keyakinan, atau ideologi tertentu. Penemuan sains
secara lebih praktis akan melahirkan teknologi, yang tidak terkait dengan
kepercayaan.[15]
Dalam konteks ini, kita dapat menerima
(fixasi) setiap teori yang dibangun berdasarkan realiats empiris, faktual, dan
laboratoris. Dalam waktu yang sama kita harus membangun world view Islam terhadap setiap hasil
penemuan ilmiah dengan memasukkan kesadaran ketuhanan (kesadaran tauhid)
terhadap benda-benda yang dikaji melalui proses ilmiah-laboratoris, tanpa
mengganggu proses alamiah (sunnatullah) yang terdapat benda fisik-material tersebut.
Kesimpulan yang diperoleh tidak hanya
menghasilkan hal-hal yang bersifat madaniah melainkan adanya kesadaran
ketuhanan (idrok sillah billah). Semakin tinggi pemahaman terhadap materi melalui
proses ilmiah, akan semakin memahami takdir Allah tentang benda tersebut.
Inilah makna internalisasi nilai dalam proses epistemologis. Berbeda dengan
pola pikir sains yang bebas nilai, hasil dari pola pikir aqliyyah justru sarat
nilai. MM Ismail, seorang guru besar Universitas Mesir menyebutkan: “Pola pikir
rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai
pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra yang
menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indra menuju ke
otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan
memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran
atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini
mencakup pengkajian obyek yang dapat diindra maupun yang abstrak yang
berkaiatan dengan pemikiran.”[16]
Hampir
disepakati para ilmuan bahwa teori-teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan
budaya seringkali merupakan refleksi seseorang terhadap realitas, atau dibangun
berdasarkan interpretasi atas realitas. Teori-teori sosial dan ekonomi
Marxisme, misalnya, merupakan hasil refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan
sosial akibat laju industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad
ke-19. Ketika membangun sebuah teori, tentunya, ada nilai-nilai yang mendorong
seseorang untuk bersikap terhadap realitas tersebut. Dengan demikian,
teori-teori ilmu sosial tidak bebas nilai. Michael Kunczik mengingatkan bahwa
teori-teori perubahan sosial dan pembangunan sarat dengan etnosentrisme
tertentu, sehingga seringkali tidak tepat jika diadopsi dan diterapkan pada
proses pembangunan dunia ketiga.[17]
Berbagai
rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini sebenarnya merupakan
pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh
informasi atau pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki seseorang. Demikian halnya teori-teori yang terkait
dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti
persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai.
Teori Darwin tentang asal-usul manusia
jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan
tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail
menegaskan, pola pikir aqliyyah terdiri dari: fakta empiris, benak manusia,
panca indra, dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki.[18]
Berpikir
dalam perspektif pola pikir rasional (metode aqliyyah) merupakan proses
pemindahan fakta empiris dan pengambilan keputusan atau sikap atas fakta
berdasarkan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki. Karena pola pikir
rasional (metode aqliyyah) menghasilkan ide dan teori yang merupakan produk
kontemplatif yang dibangun atas pemahaman terhadap fakta berdasarkan informasi
yang dimiliki sebelumnya (maklumat sabiqoh), metode aqliyyah akan menghasilkan
ide-ide teoritis yang bernuansa hadhoroh. Husein Abdullah (1990) menegaskan,
hadhoroh merupakan “… kumpulan pemahaman tentang kehidupan…” Sedangkan hadhoroh
Islam ialah “… kumpulan pemahaman tentang kehidupan dari sudut pandang (world
view) Islam.[19]
Ketika
kita menerima pandangan teoritis yang bernuansa ideologis dan kepercayaan, maka
tidak ada cara lain kecuali melakukan koreksi, serta membangun teori-teori baru
(adition) dari sudut pandang hadhoroh Islam untuk menggantikan (substutution)
teori-teori konvensional yang mengandung etnosentrisme, budaya, kepercayaan dan
agama tertentu. Setelah melakukan
pemilahan kerangka berfikir, menjadi pola berfikir sains dan pola pikir
rasional (aqliyyah), maka rekonstruksi epistemologis dapat dilakukan
melalui proses: fiksasi, internalisasi,
koreksi, substitusi, dan adisi. Fiksasi berarti menerima teori-teori yang
dihasilkan melalui proses empiris-laboratoris yang bersifat obyektif, faktual,
dan replicable. Dalam waktu yang sama kita dapat melakukan internalisasi nilai
terhadap proses berfikir ilmiah dan produk ilmiah. Kita juga dapat melakukan
adisi jika ditemukan teori baru dari proses kajian ilmiah. Sementara itu, bagi
teori-teori yang merupakan produk kontemplatif dan bernuansa hadhoroh yang
dibangun atas pola pikir rasional, maka kita dapat melakukan koreksi dan
substitusi terhadap teori-teori lama yang dinilai sudah usang.
Pola
pikir sains secara epistemologis bersifat “antropo-sentris” yang bebas nilai.
Sedangkan pola pikir rasional lebih bersifat “teo-sentris.” Artinya, berbagai
teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya harus dibangun di atas landasan
wahyu. Dari sini sesungguhnya tidak ada
pertentangan antara epistemologi “antropo-sentris” dengan epistemologi
“teo-sentris.” Keduanya memiliki poporsi masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari
uraian tersebut dapat di simpulkan epistemologi pada hakekatnya adalah membahas
tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh pengetahuan.
Epistemologi menurut Islam adalah pengetahuan dikatakan pengetahuan jika
pengetahuan itu menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia untuk kebagiaan hidup
di dunia dan akherat, bermanfaat bagi diri dan orang lain serta dengan ilmu
pengetahuan tersebut mendekatkan dirinya kepada Allah.
Untuk mendapatkan ilmu menurut islam adalah
dengan mempergunakan panca indra, akal dan hati untuk melihat, mencermati dan
meneliti ayat-ayat Allah baik yang qauniyah maupun yang qauliyah, yang tersirat
dan tersurat. Islam sangat peduli
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar
manusia berusaha mencari ilmu dan meneliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan
ilmu dalam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan.
Untuk
mendapatkan ilmu adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua
kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu merupakan puncak segala
sumber pengetahuan yang merupakan manisfestasi dari firman Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais Agama RI.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu.
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat
Agama. Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
Khun, Thomas. 1993. Peran Paradigma dalam
Revoluasi Sains. Bandung: Rosdakarya.
Mulyanto. 2000. “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Pedebatan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Cidesindo.
Hadi, Hardono. 1994. Epistemologi; Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Hoodbhoy,Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan
Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terjemahan Sari Meutia. Bandung: Mizan.
Supartono, Suparlan. 2005. Filsafat
ilmu Pengetahuan (Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media)
Zainuddin, M. 2006. Filsafat
Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam,(Jakarta: Lintas Pustaka).
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 168
[8] Mulyanto, “Islamisasi
Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Pedebatan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Cidesindo, 2000), hal.19
[10] Pervez
Hoodbhoy, Ikhtiar Meneghakkan Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, terjemahan Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hal. 33-34
[12] Hanya saja
dalam konteks ini, perlu diperhatikan persoalan etika, terutama yang terkait
dengan persoalan keyakinan, seperti peneltiian rekayasa genetik (seperti
kloning) akan bertabrakan dengan keyakinan agama tertentu. Demikian halnya
penelitian yang menggunakan lemak babi.
[15] Muhammad
Husein Abdullah, Ad-Dirosah fi al-fikry-al Islamy (Aman: Dar al-Bayariq,
1990), hal.
74
[17] Michael
Kunczik, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung,
1986), hal.
59-60
[18] MM
Ismail, op.cit. hal 88
[19] Muhammad
Husein Abdullah, op.cit. hal. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar