BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge)
yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan
mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap
orang lain yang mengetahuinya. Suatu pengetahuan baru
bisa dikatakan sebagai ilmu apabila memiliki syarat-syarat yang berupa ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Pembahasan
pada makalah ini yaitu tentang epistemologi. Epistemologi ialah cabang filsafat
yang membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, karakteristik
pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan serta cara mendapatkan pengetahuan.[1]
Wacana
filsafat menjadi topik utama pada zaman modern khususnya abad ke-17, adalah
persoalah epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah
bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai
untuk mencapai pengetahuan yan benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran
itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis
ini, maka pada abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban
berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut ialah
rasionalisme dan empirisme. Pada abad ke-19 dan 20 aliran empirisme berkembang
menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu positivisme, materialisme, dan
pragmatisme.
Sementara
itu, dalam filsafat Islam, berkembang pemikiran burhani. Burhani menyandarkan
diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil akal. Bahkan,
dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika
rasional.
Jadi,
berdasarkan penjelasan di atas, makalah yang akan kami bahas tentang
epistemologi positivistik dan burhani.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana
epistemologi Positivistik?
2.
Bagaimana
epistemologi Burhani?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mendeskripsikan epistemologi Positivistik.
2.
Untuk
mendeskripsikan epistemologi Burhani.
BAB
II
PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI
POSITIVISTIK DAN BURHANI
A.
Epistemologi Positivistik
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani Episte yang
berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos yang berarti pengetahuan atau informasi. Jadi, epistemologi
dikatakan sebagai pengetahuan tentang pengetahuan atau teori pengetahuan.[2] Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber,
metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan.[3]
Jadi,
epistemologi positivistik adalah suatu informasi yang menjelaskan tentang cara
aliran filsafat positivisme dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Filsafat
Positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah
diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya.
Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya,
sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta
tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[4]
Aliran
ini menekankan bahwa kepercayaan dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan
faktawi. Apapun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan.
Pernyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi
secara empiris. Pernyataan yang tidak berdasar pengalaman atau tidak dapat
diverifikasi, dianggap tidak bermakna dan bukan pengetahuan.[5]
Tugas
khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka
ragam coraknya. Positivisme mengutamakan pengalaman, tapi tidak menerima sumber
pengetahuan melalui pengalaman batiniah. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta
belaka.[6]
Beberapa
tokoh: Auguste Comte (1798-1857), John S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer
(1820-1903).
Auguste
Comte (1798-1857)
Ia
lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karyanya adalah Cours de philosophia positive (Kursus tentang filsafat positif) dan
berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Menurut
pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
Pada
tahap teologis, manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah
(sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang
mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Pada
tahap metafisis, manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis.
Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti
dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan
dengan alam.
Pada
tahap ilmiah/positif, manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya
pengenalan teologis dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha
mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai
akal.
Pada
akhir hidupnya, ia berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi atas dasar
filsafat positivnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan
mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai
basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai
istilah ciptaannya yang terkenal alturism
yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi
kepentingan orang lain.[7]
B.
Epistemologi Burhani
1.
Histori Epistemologi Burhani
Menurut
ahli sejarah filsafat, Heraclitus adalah orang pertama yang mengemukakan
pemikiran tentang logos, atau disebut juga akal universal (al-aql al-kauni). Heraclitus memandang alam semesta sebagai kosmos
yang dinamis dan selalu berubah. Akal manusia bisa sampai kepada pengetahuan
yang benar tentang realitas alam jika ia “bersekutu” dengan “akal universal”,
yakni ketika ia berusaha mengkaji sistem natural dan memahami keniscayaan-keniscayaan
dan cakupan yang melekat pada sistem itu.[8]
Konsep
akal universal dikembangkan oleh Aristoteles. Sebelum Aristoteles,
metode-metode logika dan filsafat diuraikan secara terpisah, tidak teratur, dan
tidak ada klasifikasi yang jelas. Dialah yang menyusun metode logika secara
sistematis beserta uraiannya. Logika dijadikan sebagai langkah awal dan pembuka
ilmu-ilmu filsafat.
Dalam
pandangan Aristoteles, semesta alam bisa dipahami oleh akal, karena sistem yang
mendasari alam dan orang yang memahami berarti memahami akal. Dalam konsepsi
Yunani Aristotelian, akal berarti ‘memahami sebab’. Di atas fondasi akal
universal (logos) yang mencari hubungan sebab-akibat atau hukum universal yang
rasionalistik tersebut sistem pengetahuan Yunani dibangun. Selanjutnya
pemikiran Yunani yang telah terdokumentasikan ditransfer ke dunia Arab melalui
terjemahan di era al-Ma’mun dengan tokoh-tokohnya: Abdullah bin Muqaffa, Hunai
ibn Ishaq, Ishaq ibn Hunain, Abu Bisyr Matta ibn Yunus, dan lainnya.
Persoalannya
berbeda dengan konsep nalar Yunani yang berkaitan dengan upaya memahami sebab,
yakni pengetahuan. Sementara makna nalar Arab dalam bahasa Arab dan dalam
pemikiran Arab, pada dasarnya berhubungan dengan perilaku dan akhlak. Dalam
pemikiran Arab, pengetahuan bukan usaha untuk menyingkap hubungan yang merajut
fenomena alam satu sama lain, bukan aktivitas yang dengannya akal menampakkan
diri dalam akal, tetapi untuk membedakan objek pengetahuan (baik indrawi
ataupun sosial) antara yang baik dan yang buruk. Signifikansi dan peran akal
adalah mengarahkan pemiliknya kepada perbuatan yang baik dan mencegahnya dari
perbuatan tercela.[9]
Salah satu ahli logika dan penganut burhani adalah Abu Bisyr Matta (870-940),
menurutnya prinsip-prinsip logika ada lebih dahulu dalam pikiran kemudian
keluar dan menyatu dalam bahasa, dan karena itu sistem logika berlaku umum
terhadap seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa tertentu.[10]
Pemikiran
burhani Yunani didasarkan pada benda-benda eksternal yang ditangkap oleh
indera. Prinsip kerjanya adalah:
1.
Adanya
benda-benda alam yang diindera
2.
Terjadinya
gambaran atau persepsi dalam pikiran
3.
Pengungkapan
atas gambaran yang ada dalam pikiran tersebut lewat bahasa atau kata.
Dengan begitu, dalam burhani, kata atau
bahasa pada hakikatnya tidak lain adalah copian dari benda-benda yang ada di
alam semesta.[11]
2.
Metode Burhani
Metode
burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu
penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Aristoteles
mengatakan, yang dimaksud dengan metode demonstratif adalah silogisme ilmiah,
yakni silogisme yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan memiliki
pengetahuan. Menurutnya silogisme adalah seperangkat metode berpikir yang
dengannya seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru dari
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai premis), terlepas
apakah pengetahuan tersebut benar atau salah dan sesuai dengan realitas atau
tidak.
Metode
burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang
digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau
teori ilmiah dengan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan
sebuah kesimpulan ilmiah.[12]
Sebuah
silogisme baru dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan
pada opini, melainkan pada kebenaran yang telah teruji atau kebenaran utama,
karena hanya apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan
benar. Namun sebaliknya, kalau premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran
yang teruji, kesimpulannya juga akan meragukan, bahkan bisa keliru.
Paparan
di atas menjelaskan metode demonstratif dari sisi logika formal, sementara
Aristoteles menguraikan metode demonstratif dari sisi pengetahuan. Aristoteles
mendefinisikan pengetahuan mengenai sesuatu secara mutlak, tidak bersifat
aksidental dengan menemukan sebab-sebabnya (illah).
Dari aspek ini, menurut Aristoteles tugas ilmu pengetahuan adalah mencari
penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Ia mengemukakan bahwa tiap-tiap
kejadian mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, jika hendak
mengetahui suatu kejadian.
Keempat
penyebab kejadian tersebut yaitu, pertama,
penyebab efisien; inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab final; inilah tujuan
yang menjadi arah setiap kejadian. Ketiga,
penyebab material; inilah bahan dari mana benda dibuat. Keempat, penyebab formal: inilah bentuk
yang menyusun bahan.[13]
Menurut
Jabiri, dengan mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: (a) mengetahui latar belakang dari
penyusunan premis, (b) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan,
(c) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak
menimbulkan kebenaran atau kepastian lain. Karena itu, al-Farabi
mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang
benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi
keyakinan, meyakinkan.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Epistemologi
filsafat positivistik adalah bahwa pemikiran-pemikiran dalam aliran ini
berdasarkan pada fakta yang bersifat objektif. Artinya, pengetahuan diperoleh
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat dari apa yang tampak di alam
semesta. Mereka tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah. Salah
satu tokoh filsafat positivisme adalah Auguste Comte, menurut pendapatnya,
perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis,
tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
2.
Epistemologi
filsafat burhani merupakan aliran filsafat Islam yang pemikiran-pemikirannya
berdasar pada akal, terkait dengan perilaku dan akhlak. Artinya, akal bisa
menentukan perbuatan-perbuatan yang baik dan boleh dilakukan dan
perbuatan-perbuatan yang buruk dan harus dijauhi serta tidak boleh dilakukan.
Salah satu tokohnya yaitu Abu Bisyr Matta, menurutnya prinsip-prinsip logika
ada lebih dahulu dalam pikiran kemudian keluar dan menyatu dalam bahasa, dan
karena itu sistem logika berlaku umum terhadap seluruh bahasa yang ada, tidak
hanya bahasa tertentu.
B.
Saran
Penulis
menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran, maupun masukan yang
membangun, guna kesempurnaan makalah ini agar menjadi lebih baik dan
bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat
Umum, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Praja, Juhaya S., Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta:
Kencana, 2003.
Soleh, A. Khudori, Wacana
Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Sudarsono,
Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta:
Rineka Cipta. tth.
Supriyanto, Stefanus, Filsafat
Ilmu, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2013.
Suriasumantri Jujun S., Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Sinar Harapan, 1985.
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian
Tematik, Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.
![]() |
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta:
Rineka Cipta, h. 3-4.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Sinar Harapan, 1985, h. 34-35.
[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers,
2010, h. 120.
[5] Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2013, h. 18.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Kencana, 2003, h. 133-134.
[7] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, h. 120-122.
[8] Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta:
Rajawali Pers, 2014, h. 56-57.
[9] Ibid’, h. 57-59.
[10] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012, h. 225.
[11] Ibid’, h. 5.
[12] Zaprulkhan, Filsafat Islam, h. 60.
[13] Ibid’, h.61-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar