Sabtu, 12 November 2016

EPISTEMOLOGI POSITIVISTIK DAN BURHANI



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang mengetahuinya. Suatu pengetahuan baru bisa dikatakan sebagai ilmu apabila memiliki syarat-syarat yang berupa ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Pembahasan pada makalah ini yaitu tentang epistemologi. Epistemologi ialah cabang filsafat yang membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, karakteristik pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan serta cara mendapatkan pengetahuan.[1]
Wacana filsafat menjadi topik utama pada zaman modern khususnya abad ke-17, adalah persoalah epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yan benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka pada abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut ialah rasionalisme dan empirisme. Pada abad ke-19 dan 20 aliran empirisme berkembang menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu positivisme, materialisme, dan pragmatisme.
Sementara itu, dalam filsafat Islam, berkembang pemikiran burhani. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil akal. Bahkan, dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, makalah yang akan kami bahas tentang epistemologi positivistik dan burhani.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.        Bagaimana epistemologi Positivistik?
2.        Bagaimana epistemologi Burhani?
C.      Tujuan Penulisan
1.        Untuk mendeskripsikan epistemologi Positivistik.
2.        Untuk mendeskripsikan epistemologi Burhani.




BAB II
PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI POSITIVISTIK DAN BURHANI
A.      Epistemologi Positivistik
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episte yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos yang berarti pengetahuan atau informasi. Jadi, epistemologi dikatakan sebagai pengetahuan tentang pengetahuan atau teori pengetahuan.[2] Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan.[3]
Jadi, epistemologi positivistik adalah suatu informasi yang menjelaskan tentang cara aliran filsafat positivisme dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Filsafat Positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[4]
Aliran ini menekankan bahwa kepercayaan dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Pernyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Pernyataan yang tidak berdasar pengalaman atau tidak dapat diverifikasi, dianggap tidak bermakna dan bukan pengetahuan.[5]
Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Positivisme mengutamakan pengalaman, tapi tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.[6]
Beberapa tokoh: Auguste Comte (1798-1857), John S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).
Auguste Comte (1798-1857)
Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karyanya adalah Cours de philosophia positive (Kursus tentang filsafat positif) dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
Pada tahap teologis, manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Pada tahap metafisis, manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
Pada tahap ilmiah/positif, manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal.
Pada akhir hidupnya, ia berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positivnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptaannya yang terkenal alturism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[7]
B.       Epistemologi Burhani
1.        Histori Epistemologi Burhani
Menurut ahli sejarah filsafat, Heraclitus adalah orang pertama yang mengemukakan pemikiran tentang logos, atau disebut juga akal universal (al-aql al-kauni). Heraclitus memandang alam semesta sebagai kosmos yang dinamis dan selalu berubah. Akal manusia bisa sampai kepada pengetahuan yang benar tentang realitas alam jika ia “bersekutu” dengan “akal universal”, yakni ketika ia berusaha mengkaji sistem natural dan memahami keniscayaan-keniscayaan dan cakupan yang melekat pada sistem itu.[8]
Konsep akal universal dikembangkan oleh Aristoteles. Sebelum Aristoteles, metode-metode logika dan filsafat diuraikan secara terpisah, tidak teratur, dan tidak ada klasifikasi yang jelas. Dialah yang menyusun metode logika secara sistematis beserta uraiannya. Logika dijadikan sebagai langkah awal dan pembuka ilmu-ilmu filsafat.
Dalam pandangan Aristoteles, semesta alam bisa dipahami oleh akal, karena sistem yang mendasari alam dan orang yang memahami berarti memahami akal. Dalam konsepsi Yunani Aristotelian, akal berarti ‘memahami sebab’. Di atas fondasi akal universal (logos) yang mencari hubungan sebab-akibat atau hukum universal yang rasionalistik tersebut sistem pengetahuan Yunani dibangun. Selanjutnya pemikiran Yunani yang telah terdokumentasikan ditransfer ke dunia Arab melalui terjemahan di era al-Ma’mun dengan tokoh-tokohnya: Abdullah bin Muqaffa, Hunai ibn Ishaq, Ishaq ibn Hunain, Abu Bisyr Matta ibn Yunus, dan lainnya.
Persoalannya berbeda dengan konsep nalar Yunani yang berkaitan dengan upaya memahami sebab, yakni pengetahuan. Sementara makna nalar Arab dalam bahasa Arab dan dalam pemikiran Arab, pada dasarnya berhubungan dengan perilaku dan akhlak. Dalam pemikiran Arab, pengetahuan bukan usaha untuk menyingkap hubungan yang merajut fenomena alam satu sama lain, bukan aktivitas yang dengannya akal menampakkan diri dalam akal, tetapi untuk membedakan objek pengetahuan (baik indrawi ataupun sosial) antara yang baik dan yang buruk. Signifikansi dan peran akal adalah mengarahkan pemiliknya kepada perbuatan yang baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela.[9] Salah satu ahli logika dan penganut burhani adalah Abu Bisyr Matta (870-940), menurutnya prinsip-prinsip logika ada lebih dahulu dalam pikiran kemudian keluar dan menyatu dalam bahasa, dan karena itu sistem logika berlaku umum terhadap seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa tertentu.[10]
Pemikiran burhani Yunani didasarkan pada benda-benda eksternal yang ditangkap oleh indera. Prinsip kerjanya adalah:
1.        Adanya benda-benda alam yang diindera
2.        Terjadinya gambaran atau persepsi dalam pikiran
3.        Pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran tersebut lewat bahasa atau kata.
Dengan begitu, dalam burhani, kata atau bahasa pada hakikatnya tidak lain adalah copian dari benda-benda yang ada di alam semesta.[11]
2.        Metode Burhani
Metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Aristoteles mengatakan, yang dimaksud dengan metode demonstratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme adalah seperangkat metode berpikir yang dengannya seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai premis), terlepas apakah pengetahuan tersebut benar atau salah dan sesuai dengan realitas atau tidak.
Metode burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori ilmiah dengan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.[12]
Sebuah silogisme baru dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran yang telah teruji atau kebenaran utama, karena hanya apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Namun sebaliknya, kalau premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulannya juga akan meragukan, bahkan bisa keliru.
Paparan di atas menjelaskan metode demonstratif dari sisi logika formal, sementara Aristoteles menguraikan metode demonstratif dari sisi pengetahuan. Aristoteles mendefinisikan pengetahuan mengenai sesuatu secara mutlak, tidak bersifat aksidental dengan menemukan sebab-sebabnya (illah). Dari aspek ini, menurut Aristoteles tugas ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Ia mengemukakan bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, jika hendak mengetahui suatu kejadian.
Keempat penyebab kejadian tersebut yaitu, pertama, penyebab efisien; inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab final; inilah tujuan yang menjadi arah setiap kejadian. Ketiga, penyebab material; inilah bahan dari mana benda dibuat. Keempat, penyebab formal: inilah bentuk yang menyusun bahan.[13]
Menurut Jabiri, dengan mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: (a) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (b) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (c) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak menimbulkan kebenaran atau kepastian lain. Karena itu, al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan.[14]























BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.        Epistemologi filsafat positivistik adalah bahwa pemikiran-pemikiran dalam aliran ini berdasarkan pada fakta yang bersifat objektif. Artinya, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat dari apa yang tampak di alam semesta. Mereka tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah. Salah satu tokoh filsafat positivisme adalah Auguste Comte, menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
2.        Epistemologi filsafat burhani merupakan aliran filsafat Islam yang pemikiran-pemikirannya berdasar pada akal, terkait dengan perilaku dan akhlak. Artinya, akal bisa menentukan perbuatan-perbuatan yang baik dan boleh dilakukan dan perbuatan-perbuatan yang buruk dan harus dijauhi serta tidak boleh dilakukan. Salah satu tokohnya yaitu Abu Bisyr Matta, menurutnya prinsip-prinsip logika ada lebih dahulu dalam pikiran kemudian keluar dan menyatu dalam bahasa, dan karena itu sistem logika berlaku umum terhadap seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa tertentu.
B.       Saran
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran, maupun masukan yang membangun, guna kesempurnaan makalah ini agar menjadi lebih baik dan bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Praja, Juhaya S., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2003.
Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta. tth.
Supriyanto, Stefanus, Filsafat Ilmu, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2013.
Suriasumantri Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.




[1] Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 134.
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, h. 3-4.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, h. 34-35.
[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 120.
[5] Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2013, h. 18.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2003, h. 133-134.
[7] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, h. 120-122.
[8] Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 56-57.
[9] Ibid’, h. 57-59.
[10] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, h. 225.
[11] Ibid’, h. 5.
[12] Zaprulkhan, Filsafat Islam, h. 60.
[13] Ibid’, h.61-62
[14] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, h. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar