Jumat, 11 November 2016

QAIDAH HADITS AN'ANAH DAN MU'ANAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Hadits Nabi Muhammad SAW. merupakan sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dan sumber hukum yang pertama. Di lihat dari periwayatannya hadits berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an  semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan Hadits sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.
Kaidah penelitian hadits sejatinya telah ada sejak lahirnya hadits itu sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anhum dengan melakukan kebenaran berita langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Pada kurun berikutnya dimulai pada abad 3 Hijriyah, para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain mempertegas kaidah tersebut dalam kerangka yang sistematik
Di antara ulama Hadits yang berhasil menyusun rumusan kaidah kesahihan Hadits adalah Abu Amr Ustman Ibn Abd Rahman Ibn Shalah Al-Syahrazuri yang biasa disebut dengan sebutan Ibn Al-Shalah (577 H). Menurutnya Hadits shahih adalah Hadits yang bersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW., diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (ilat).
Mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan Hadits oleh para ulama hadits dijadikan syarat untuk mengetahui kualitas sanad suatu hadits, khususnya dalam hadits Mu’an’an. Oleh ahli hadits kedua persyaratan ini digunakan untuk menentukan bersambung-tidaknya sanad hadits tersebut kepada Rasulullah SAW. sehingga dapat dikatakan sebagai hadits yang shahih. Dalam makalah ini penulis hanya akan memfokuskan dalam pembahasan Kaidah Riwayat ‘An’Anah.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah ?
2.      Bagaimana hukum Sanad yang memakai kata ‘An ?
3.      Bagaimana contoh hadis Mu’an’an ?
4.      Bagaimana bentuk kualitas hadis dari rawi yang mudallis ?
5.      Bagaimana hukum ‘An‘anah seorang Mudallis ?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah.
2.      Mengetahui hukum Sanad yang memakai kata ‘An.
3.      Mengetahui contoh hadis Mu’an’an.
4.      Mengetahui bentuk kualitas hadis dari rawi yang mudallis
5.      Mengetahui Bagaimana hukum ‘An‘anah seorang Mudallis





BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN KAIDAH RIWAYAT ‘AN’ANAH.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata “Kaidah” diartikan dengan : “Patokan, dasar, aturan yang sudah pasti, rumusan yang menjadi hukum, asas yang menjadi hukum”.[1]  Dalam bahasa Arab kata قا عد ة / qa’idah (kaidah) diartikan “asas/fondasi “ jika ia dikaitkan dengan bangunan , dan ia bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan “kemah”.[2]
Dalam pengertian istilah, kaidah adalah ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[3] Jadi “Kaidah” merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak atau mengambil keputusan.
Riwayat : (1) cerita yang turun menurun; (2) sejarah ; (3) sumber yang dapat dipercaya dan dapat dijadikan pegangan, tentu jika riwayatnya terbukti sahih.[4]
‘An’anah adalah menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafaz ‘an (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
Jadi Kaidah Riwayat ‘An’anah merupakan aturan atau ukuran yang dijadikan pegangan dalam menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh ‘an  yangmengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya.


Sebenarnya kalau membicarakan tentang ‘An’anah tentunya tidak bisa dipisahkan dari kalimat  Mu’an’an. Adapun difenisi Mu’an’an, Menurut bahasa    (etimologi) :    mu’an’an adalah isim maf’ul dari kata dasar “ ‘an’ana “ dengan arti : “berkata dengan menggunakan kata “ ‘an, ‘an “ عَنٌ – وَ عَنٌ )  ).
Menurut   istilah   (terminologi) :  mu’an’an adalah ucapan perawi : Si Fulan berkata dari Si Fulan.[5]
Jadi hadits Mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafahz ‘an, tanpa menyebut kalimat/kata-kata untuk menceriterakan atau mengkhabarkan atau saya mendengarkan.
Rawi yang menggunakan lafazh “ ‘an “ dalam sanadnya, disebut Mu’an-‘in. Sedangkan pekerjaan memakai lafazh “ ‘an “ itu, dalam bahasa Arab disebut ‘An’anah.[6]

B.       HUKUM SANAD YANG MEMAKAI KATA ‘AN
Apabila seorang rawi akan meriwayatkan suatu hadits dan menyebutkan dari mana sumber hadits itu, biasanya ia mengatakan beberapa kalimat seperti :
1.       سَمِعْتُ            = saya telah mendengar
2.       حَدَّ ثَنِى / ثَنِّى    = dia telah menceriterakan kepadaku
3.       اَ خْبَرَ نَا          = dia mengkhabarkan kepada kami
4.       قَا لَ لَنَا           = dia berkata kepada kami
5.      Dan lain-lainnya. (Namun dalam hadits mu’an’an si rawi tidak memakai kalimat-kalimat tersebut di atas, hanya menggunakan kata ‘an =dari.
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an, sebagai berikut :
a.       Jumhur Ulama hadits berpendapat bahwa hadits Mu’an’an dapat dianggap mutashil (Bersambung) dengan syarat hadits itu selamat dari tadlis, dan adanya keyakinan bahwa perawi yang mengatakan ‘an = dari itu ada kemungkinan bertemu muka, sebagaimana disyaratkan oleh Imam Bukhari dan Ibnul Madini. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi yang mengatakan : ‘an tersebut hidupnya semasa dengan orang yang memberikan hadits (adaul hadits), jadi tidak perlu adanya keyakinan bahwa mereka bertemu muka.
b.      Ibnu Shalah berpendapat bahwa bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi baik, karena kebanyakan orang mengirsalkan (membuang rawi dalam sanad) itu adalah orang-orang yang samasa hidupnya dengan orang yang memberitakan itu dan tidak pernah bertemu muka.[7]
Apakah sebabnya kata ‘an = dari ini dipersoalkan ? Karena kata-kata ‘an =dari itu mengandung kemungkinan-kemungkinan yang banyak.Umpamanya : A berkata dari B. demikian. Hal yang demikian ini, mungkin A menerima berita itu sendiri dari B atau mungkin A itu sebetulnya tidak menerima berita itu dari B secara langsung tetapi menerimanya dengan perantaraan orang lain (umpamanya dengan perantaraan : C). Karena adanya motif-motif tertentu, si C tidak disebutkan (karena umpamanya dlaif atau tidak kuat hafalannya oleh si A tersebut. Kemungkinan yang kedua ini biasa dilakukan oleh Mudallis. Karena kegelapan inilah hadits Mu’an’an dihukumi dhaif.

C.      CONTOH HADITS MU’AN’AN
حدثنا محمد بن يوسف قال أخبرنا سفيان عن الأعمش عن أبي وائل عن ابن مسعود قال
 : كان النبي صلى الله عليه و سلم يتخولنا بالموعظة في الأيام كراهة السآمة علينا
 [ 70 ، 6048 ]
Telah memberitakan kepada kami Sufyan dari Al ‘Amsy, dari Abu Wa-il, dari Ibnu Mas’ud , ia berkata : Adalah Nabi Saw., selalu memilih waktu yang baik untuk memberikan pelejaran kepada kami karena beliau takut kami menjadi bosan terhadap pelajaran-pelajaran itu” (H.R. Bukhari).[8]
Dari sanad tersebut tampak bahwa Sufyan, Al ‘Amsy dan Abu Wail memakai kata-kata ‘an. Tetapi karena semua perawi tersebut orang yang dapat dipercaya dan Imam Bukhari sendiri mensyaratkan bahwa rawi yang satu dengan yang lain harus bertemu muka (Liqa’), maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits shahih
(اَبُوْ دَاوُد) حَدَّ ثَنَا عبد الله بن محمد النفيلىٌّ ثنّا محمّد بن سلمة ثنَّا محمّد بن اسحاق عن مكحولٍ عن محمود بن الزَّبيعِ عن عبادة ابن الصَّامت قال : كُنَّا خَلْفَ رَسُوْلُ اللهِ ص م فِى صَلَاةِ الفَجْرِ فَقَرَأ رَسُوْلُ اللهِ فَسَقُلَتْ عَلَيْهِ القِرَاَةُ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لعَلَّكُمْ تَقْرَؤُنَ خَلْفَ اِمَا مِكُمْ قُلْنَا نَعَمْ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تَفْعَلُوْا اِلَّابِفَا تِحَةِ اْلكِتَابِ فَاِنَّهُ لَا صَلاَ ةَ لَمْ يَقْرَأْبِهَا. (علم الحديث)
“(Abu Dawud berkata) : Telah menceriterakan kepada kami, Abdullah bin Muhammad An Nufaily, telah menceriterakan kepada kami, Muhammad bin Salamah,dari Muahammad bin Ishaq, dari Mak-hul, dari Mahmud bin Rabi’, dari Ubadah bin Shamit, ia berkata : Kami pernah shalat fajar di belakang Rasulullah Saw, Rasulullah membaca, tetapi bacaan itu itu menjadi berat atasnya. Tatkala selesai, ia bertanya: Barangkali kamu membaca di belakang imam kamu ? Kami menjawab : Benar ya Rasulullah ! Nabi Saw. bersabda pula : janganlah kamu kerjakan (yang demikian itu), melainkan pembacaan fatihatul kitab, karena sesungguhnya tidak shah bagi orang yang tidak membacanya” (Lihat Ilmu Hadits 1: 112).[9]
Dalam sanad tersebut di atas, terdapat Muhammad bin Ishaq dari Mak-hul, dari Muhammad bin Rabi’. Sedangkan Muhammad bin Ishaq dan Mak-hul adalah termasuk mudallis. Lagi pula tidak ada keterangan lain yang menegaskan bahwa Muhammad mendengar sendiri Mak-hul dan Mak-hul mendengar dari Mahmud. Oleh karena itulah hadits Mu’an’an  di atas dianggap dlaif dan tidak boleh dipakai.



D.      BENTUK KUALITAS HADIS DARI RAWI MUDALLIS

Sebelum kita membahas tentang bentuk kualitas hadis dari rawi yang mudallis kita harus mengerti pengertian hadis mudallis itu sendiri. Kata “tadlis” secara etimologi adalah isim maf'ul dari ,(دلّس- يدلّس- تدليسا) yang artinya menutupi aib dari pedagang[10]
Menurut Syaikh Mana' Al-Qaththan secara istilah adalah  menyembunyikan aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dzahirnya.[11]
Menurut Drs. Fatchur Rachman, secara istilah adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadis itu tiada noda.[12]

 Adapun menurut terminologi, yaitu:
“Apabila seorang periwayat meriwayat kan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar darinya, (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti ‘dari’ atau ‘ia bekata’.”[13]
“Menurut Syaikh Mana' Al-Qaththan secara istilah adalah  menyembunyikan aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dzahirnya”[14]
Mudallis adalah rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnyanamun kali ini hadis itu tidak diterima darinya. Dan dalam penyampainnya, ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya. Seperti kata-kata  ‘an fulan, qala fulan.[15]
Para muhaddisin mempunyai perhatian yang besar dalam ilmu hadis. Maka dari itu, para imam menyusun kitab khusus yang membahsa nama-nama mudallisin, diantaranya;
1.      Al-tabyin fi Asma’ al-Mudallisin karya al-Burhan al-Halabi al-Hafidh
2.      Ta’rif Ahli al-Taqdis bi maratib al-maushufin bi al-tadlis karya Ibnu Hajar. Kitab ini paling klengkap dan banyak memuata jumlah mudallis, yakni sebanyak 152 orang.
Pernyataan tersebut sekaligus mendebat pendapat Dr. Shubhi Shalih, bahwa “Alangkah sedikitnya orang yang selamat dari melakukan tadlis.” Kalimat tersebut sangat berlebih-lebihan dan menjadi suatu fanatisme yang tidak berlandaskan bukti ilmiah. [16]

1.      Pengelompokan Mudallisun
Mudallis yang dimaafkan adalah mereka yang tsiqah (dapat dipercaya) dan jarang melakukan tadlis, dengan catatan setiap muhaddis mengetahui bahwa hadis yang didapatkannya adalah hadis shahih, bukan hadis yang ditadliskannya.
Para imam juga memaafkan mereka karena ia tidak melakukan tadlis terhadap rawi yang tsiqah, seperti al-Imam al-Kabir Sufyan bin ‘Uyainah.
Mudallis yang tsiqah dan banyak melakukan tadlis terhadap para rawi dhaif dan majhul (tidak diketahui), seperti Baqiyyah bim al-Walid al-Himmashi. Hadis para rawi tersebut tidak dapat dipakai hujjah kecuali bila ia menyatakan bahwa ia mendengar langsung.
Sebagian mudallis adalah para rawi yang dlaif, maka hadis mereka tidak dapat dijadikan hujjah meskipun mereka mendengar langsung. Dan dengan melakukan tadlis, berarti  bertambah dlaif, seperti ‘Athiyyah al-‘Auti.

2.      Macam-macam Tadlis

Pertama, Tadlis Isnad; Tadlis Al-Isnad adalah
أَنْ ْيَرْوِيَ الرَّاوِي عَمَّنْ لَقِيَهُ مَا لَمْ يَسْمَعْه مِنْهُ مُوْهِمًا سَمَاعَه
Seorang perawi meriwayatkan suatu hadis yang ia tidak mendengarnya dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya.
Tadlis al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan sebagian hadis yang telah ia dengar dari seorang syaikh, tetapi hadis yang di tadlis-kan ini memang tidak mendengar darinya, ia mendengar dari syaikh lain yang mendengar daripadanya. Kemudian syaikh lain ini digugurkan dalam periwayatan dengan menggunakan ungkapan yang seolah-olah ia mendengar dari syaikh pertama tersebut. Seperti kata qala Fulan = berkata Fulan atau ‘an Fulan = dinukildari si Fulan. Tidak dengan ungkapan periwayatan yang tegas, seperti haddatsani = memberitakan kepadaku atau sami’tu = aku mendengar, maka ia dihukumi pendusta.
Contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah melalui jalan Abu Ishaq As-Syuba’I dari Al-Barra bin Azib R.A berkata: Rasulullah S.A.W bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Tidak ada dari dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalam-salaman, kecuali diampuni bagi mereka sebelum berpisah.

Abu Ishaq As-Subay’i nama aslinya Amr bin Abdullah, ia seorang tsiqah, tetapi disifati mudallis. Ia mendengar beberapa hadis dari Al-Barra bin Azib, tetapi dalam hadis ini, ia tidak mendengar daripadanya secara langsung, ia mendengar dari Abu Dawud Al-Ama yang matruk hadisnya, kemudian meriwayatkannya dari Al-Barra bin Azib dan menyembunyikan Abu Dawud Al-Ama dengan ungkapan ‘an’anah = dari (sanad-nya menggunakan kata ‘an = dari).

Kedua, Tadlis Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadits-nya dengan identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah. Hal itu dilakukan karena kedha’ifannya atau karena kemajhulannya, dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’,  pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadits tentang talak tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadits ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk.[17] Al Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadits” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata, “haditsnya sangat munkar, dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku Al Bukhari”, yang dimaksudkan dengan kata Al Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh Al Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau Al Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadits di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan mengajarkan hadits kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadits dari orang yang kedua.
Contoh, Hadits yang disebutkan oleh Al Hakim di dalam ‘Ulum Al Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi yang disebut-sebut telah melakukan tadlis– pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak akan mengambil hadits yang ditadliskan oleh Hasyim. Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadits yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadits mengatakan haddatsana (telah mengajarkan hadits kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadits dari Hisyam.
Contoh, hadits yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam Al Kamil fi adh-Dhu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadits darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk. Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedha’ifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadits tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah Al Walid bin Muslim dan Baqiyah bin Al Walid.
Pada pendapat lain di buku Muhammad alwi Ilmu Ushul Hadits menyebutkan bahwa hadits Tadlis Isnad terbagi menjadi [18]:
1.  Hadits Tadlis Qatha’
2.  Hadits Tadlis Taswiyah
3.  Hadits Tadlis ‘Athaf
Jadi 2 bagian di atas yaitu Taswiyah dan Athaf merupakan bagian dari tadlis isnad bukan dari bagian sendiri.

E.       HUKUM ‘AN‘ANAH SEORANG MUDALLIS
Secara umum[19] seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadits. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan haditsnya dan  menguji riwayatnya.

1.      Tingkatan Mudallis [20]
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
a)      Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id Al Anshari
b)      Orang yang tadlisnya ringan, dan haditsnya masih disebutkan di dalam kitab Ash Shahih karena keimamannya di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti Sufyan bin Uyainah.
c)      Orang yang haditsnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa haditsnya itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi[21] dan Abu Ishaq as-Sabi’i
d)     Orang yang disepakati oleh ahli hadits untuk tidak berhujjah dengan haditsnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
e)      Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, haditsnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab Al Kalbiy dan Abu Sa’id Al Biqal

2.       Motivasi Mudallis Untuk Mentadlis
a)       Motivasi yang mendorong tadlis syuyukh ada empat, yaitu:
1)      Lemahnya syaikh atau tidak tsiqah.
2)      Meninggalnya lebih akhir dibandingkan dengan guru-guru lain yang sekelompok.
3)      Usia syaikhnya lebih muda dibandingkan dengan perawi yang meriwayatkan haditsnya.
4)      Banyak riwayatnya untuk mengesankan gurunya banyak, sementara ia tidak suka menyebut-nyebut nama gurunya dengansatu bentuk.
b)      Motivasi yang mendorong tadlis isnad ada lima, yaitu:
1)      Supaya dikira derajat sanadnya tinggi.
2)      Terlewatinya bagian hadits yang berasal dari syaikh yang didengarnya, karena banyaknya.
3)      tiga motivasi pertama yang terdapat pada tadlis syuyukh.

3.      Sebab-sebab Cacatnya Mudallis
a)      Diragukannya mendengar dari syekh yang belum pernah ia dengar.
b)      Sengaja menutup-nutupi suatu perkara yang disembunyikan.
c)      Diketahui bahwa jika menyebutkan hadits yang ditadliskannya, maka ia tidak disukai.

4.      Hukum  Riwayat Mudallis
Para ulama berbeda pendapat menerima riwayat mudallis. Akan tetapi pendapat yang masyur ada dua:
a)      Riwayat mudallis tertolak secara mutlak meskipun jelas-jelas mendengar. Karena perbuatan tadlis itu sendiri merupakan perbuatan yang cacat (pendapat ini tidak bisa dijadikan sebagai pegangan).
b)      Perlu dirinci lebih dahulu (ini pendapat yang shahih):
1)        Apabila jelas-jelas mendengar, maka riwayatnya diterima; yaitu jika berkata sami’tu (aku telah mendengar) dan yang sejenisnya, haditsnya diterima
2)        Apabila tidak jelas mendengar, maka riwayatnya tidak bisa diterima; yaitu jika berkta ‘an (dari) dan sejenisnya, haditsnya tidak bisa diterima.[22]

5.      Cara  Mengetahui Tadlis
a.       Pemberitahuan dari  mudallis itu  sendiri, apabila misalnya dia ditanya. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu ‘Uyainah.
b.      Penetapan salah seorang imam (hadits) yang didasarkan pada pengetahuannya yang diperoleh melalui kajian dan penelusuran.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.        PENGERTIAN KAIDAH RIWAYAT ‘AN’ANAH
‘An’anah adalah menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafaz ‘an (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
2.        HUKUM SANAD YANG MEMAKAI KATA ‘AN
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an, yaitu dari Jumhur ulama dapat dianggap mutashil (Bersambung) dengan syarat hadits itu selamat dari tadlis, dan ibnu shalah bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi baik
3.        CONTOH HADITS MU’AN’AN
        “Telah memberitakan kepada kami Sufyan dari Al ‘Amsy, dari Abu Wa-il, dari Ibnu Mas’ud , ia berkata : Adalah Nabi Saw., selalu memilih waktu yang baik untuk memberikan pelejaran kepada kami karena beliau takut kami menjadi bosan terhadap pelajaran-pelajaran itu” (H.R. Bukhari).
4.        BENTUK KUALITAS HADIS DARI RAWI MUDALLIS
Mudallis adalah rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnyanamun kali ini hadis itu tidak diterima darinya. Dan dalam penyampainnya, ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya. Seperti kata-kata  ‘an fulan, qala fulan
Macam-macam Tadlis
Pertama, Tadlis Isnad, Kedua, Tadlis Syaikh, Ketiga, Tadlis Bilad; , Keempat, Tadlis ‘Athf, Kelima, Tadlis as-Sukut. Keenam, Tadlis Taswiyah.
5.        HUKUM ‘AN‘ANAH SEORANG MUDALLIS
Secara umum seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku
Al Qaththan, Syaikh Mana', Terjemah Mabahits fi 'Ulum Al Hadits.

alwi.Muhammad 2009. Ilmu Ushul Hadits.Yokyakarta. Pustaka Pelajar.

Anwar, Moh.1981. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya. Al Ikhlas.

Asrori, M.Mizan. 1989. Mustholah Hadits. Surabaya. Al-Ihsan.

Hassan, A. Qadir 1983. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung. Diponegoro.

Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta. Amzah.

Novia,Windy. Tth. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia .Surabaya. Kashiko.

Nuruddin ITR. 1994 ‘ulum al-Hadis. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang. Lentera Hati.

Thohhan,Syaikh Mahnud Ath.  Taisir Mushtolah Al Hadits.

Triyasyid Nuruddin, Hadits Mudallas.

B.  Internet
Ibnuumarbgr.Wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits diakses tanggal 01.11.2016

http://studi-ilmuislam.blogspot.com/2016/08/hadits-mudallas.html diakses tanggal 01.11.2016

http://alquranmulia.wordpress.com/2013/05/20/hadits-mudallas/diakses 01.11.2016


[1]Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko), h. 247

[2] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet ke-2, h. 6

[3] Ibid

[4] Ibnuumarbgr.Wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits diakses tanggal 01.11.2016
[5] M.Mizan Asrori, Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Ihsan, 1989), h. 80

[6] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1983), Cet ke-1, h. 117
[7] Moh. Anwar , Ilmu Mushthalah Hadis, (Surabaya: Al Ikhlas,1981), h. 175

[8] Ibid., h. 176
[9] Ibid., h. 177
[10]Triyasyid Nuruddin, Hadits Mudallas.

[11] Syaikh Mana' Al Qaththan, Terjemah Mabahits fi 'Ulum Al Hadits, h. 139.

[12] Definisi ini disusun oleh Drs. Fatchur Rachman, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Kalijaga” Yogyakarta. Para ahli hadis tidak banyak mendefinisikan hadis mudallas ini secara khusus. Fatchur Rachman, ilmu Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1991), Cet Ke-7, h. 187.

[13] http://studi-ilmuislam.blogspot.com/2016/08/hadits-mudallas.html diakses tanggal 01.11.2016

[14] Syaikh Mahnud Ath Thohhan,  Taisir Mushtolah Al Hadits.

[15] Nuruddin ITR, ‘ulum al-Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), h. 124.

[16] Ibid., h.125.
[17] Abdul Majid Khon. Ulumul Hadits. (Jakarta: Amzah. 2009). h. 181
[18] Muhammad alwi. Ilmu Ushul Hadits.(Yokyakarta : 2009. Pustaka Pelajar). h. 96

[19] Adapun secara terperinci, pembahasan tentang ‘an‘anah seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan yang berbeda-beda, saya telah menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah merujuk ke sana.
[20] Ta’rif Ahli at-Tadhis Bimaratib al-Muwashsahafin bi at-Tadhis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan ittikhaf dawi ar-Rasukh biman rumiya bi at-Tadhis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari, h.10.

[21] Terdapat perbedaan pendapat tentang beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala al-Alsinah al-Wafidah
[22] http://alquranmulia.wordpress.com/2013/05/20/hadits-mudallas/diakses 01.11.2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar