BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hadits Nabi Muhammad SAW. merupakan
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia
dan sumber hukum yang pertama. Di lihat dari periwayatannya hadits berbeda
dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan Hadits sebagian
periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.
Kaidah penelitian hadits sejatinya
telah ada sejak lahirnya hadits itu sendiri sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu
Hurairah, dan ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anhum dengan melakukan kebenaran berita
langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Pada kurun berikutnya dimulai pada abad 3
Hijriyah, para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim dan
lain-lain mempertegas kaidah tersebut dalam kerangka yang sistematik
Di antara ulama Hadits yang berhasil
menyusun rumusan kaidah kesahihan Hadits adalah Abu Amr Ustman Ibn Abd Rahman
Ibn Shalah Al-Syahrazuri yang biasa disebut dengan sebutan Ibn Al-Shalah (577
H). Menurutnya Hadits shahih adalah Hadits yang bersambung sanadnya kepada Nabi
Muhammad SAW., diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir
sanad, dan tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (ilat).
Mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan
Hadits oleh para ulama hadits dijadikan syarat untuk mengetahui kualitas sanad
suatu hadits, khususnya dalam hadits Mu’an’an. Oleh ahli hadits kedua
persyaratan ini digunakan untuk menentukan bersambung-tidaknya sanad hadits
tersebut kepada Rasulullah SAW. sehingga dapat dikatakan sebagai hadits yang
shahih. Dalam makalah ini penulis hanya akan memfokuskan dalam pembahasan Kaidah
Riwayat ‘An’Anah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah ?
2.
Bagaimana hukum Sanad yang memakai kata ‘An ?
3.
Bagaimana contoh hadis Mu’an’an ?
4.
Bagaimana bentuk
kualitas hadis dari rawi yang mudallis ?
5.
Bagaimana hukum ‘An‘anah seorang Mudallis ?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah.
2.
Mengetahui hukum Sanad yang memakai kata ‘An.
3.
Mengetahui contoh hadis Mu’an’an.
4.
Mengetahui bentuk
kualitas hadis dari rawi yang mudallis
5.
Mengetahui Bagaimana
hukum ‘An‘anah seorang
Mudallis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KAIDAH RIWAYAT ‘AN’ANAH.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
kata “Kaidah” diartikan dengan : “Patokan, dasar, aturan yang sudah pasti,
rumusan yang menjadi hukum, asas yang menjadi hukum”.[1] Dalam bahasa Arab kata قا عد ة / qa’idah (kaidah) diartikan “asas/fondasi “ jika ia
dikaitkan dengan bangunan , dan ia bermakna “tiang” jika
dikaitkan dengan “kemah”.[2]
Dalam pengertian istilah, kaidah adalah
ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[3] Jadi “Kaidah” merupakan patokan atau ukuran
sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak atau mengambil keputusan.
Riwayat : (1) cerita yang turun
menurun; (2) sejarah ; (3) sumber yang dapat dipercaya dan dapat dijadikan
pegangan, tentu jika riwayatnya terbukti sahih.[4]
‘An’anah adalah menyampaikan hadits
kepada rawi lain dengan lafaz ‘an (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak
mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila
digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
Jadi Kaidah Riwayat ‘An’anah merupakan
aturan atau ukuran yang dijadikan pegangan dalam menyampaikan hadits kepada
rawi lain dengan lafazh ‘an
yangmengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya.
Sebenarnya kalau membicarakan tentang ‘An’anah
tentunya tidak bisa dipisahkan dari kalimat
Mu’an’an. Adapun difenisi Mu’an’an, Menurut
bahasa (etimologi) : mu’an’an adalah isim maf’ul dari kata dasar
“ ‘an’ana “ dengan arti : “berkata dengan menggunakan kata “ ‘an, ‘an “ عَنٌ – وَ عَنٌ ) ).
Menurut istilah
(terminologi) : mu’an’an adalah
ucapan perawi : Si Fulan berkata dari Si Fulan.[5]
Jadi hadits Mu’an’an adalah hadits yang
diriwayatkan dengan memakai lafahz ‘an, tanpa menyebut kalimat/kata-kata untuk
menceriterakan atau mengkhabarkan atau saya mendengarkan.
Rawi yang menggunakan lafazh “ ‘an “
dalam sanadnya, disebut Mu’an-‘in. Sedangkan pekerjaan memakai lafazh “ ‘an “
itu, dalam bahasa Arab disebut ‘An’anah.[6]
B.
HUKUM SANAD YANG MEMAKAI KATA ‘AN
Apabila seorang rawi akan meriwayatkan
suatu hadits dan menyebutkan dari mana sumber hadits itu, biasanya ia
mengatakan beberapa kalimat seperti :
1. سَمِعْتُ
= saya telah mendengar
2. حَدَّ ثَنِى / ثَنِّى = dia telah menceriterakan kepadaku
3. اَ خْبَرَ نَا
= dia mengkhabarkan kepada kami
4. قَا لَ لَنَا
=
dia berkata kepada kami
5. Dan
lain-lainnya. (Namun dalam hadits mu’an’an si rawi tidak memakai
kalimat-kalimat tersebut di atas, hanya menggunakan kata ‘an =dari.
Para Ulama berbeda pendapat tentang
hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an, sebagai berikut :
a. Jumhur
Ulama hadits berpendapat bahwa hadits Mu’an’an dapat dianggap mutashil (Bersambung)
dengan syarat hadits itu selamat dari tadlis, dan adanya keyakinan bahwa perawi
yang mengatakan ‘an = dari itu ada kemungkinan bertemu muka, sebagaimana
disyaratkan oleh Imam Bukhari dan Ibnul Madini. Sedang Imam Muslim hanya
mensyaratkan bahwa perawi yang mengatakan : ‘an tersebut hidupnya semasa dengan
orang yang memberikan hadits (adaul hadits), jadi tidak perlu adanya keyakinan
bahwa mereka bertemu muka.
b. Ibnu
Shalah berpendapat bahwa bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits
Mu’an’an itu menjadi baik, karena kebanyakan orang mengirsalkan (membuang rawi
dalam sanad) itu adalah orang-orang yang samasa hidupnya dengan orang yang
memberitakan itu dan tidak pernah bertemu muka.[7]
Apakah sebabnya kata ‘an = dari ini
dipersoalkan ? Karena kata-kata ‘an =dari itu mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang banyak.Umpamanya : A berkata dari B. demikian.
Hal yang demikian ini, mungkin A menerima berita itu sendiri dari B atau
mungkin A itu sebetulnya tidak menerima berita itu dari B secara langsung
tetapi menerimanya dengan perantaraan orang lain (umpamanya dengan perantaraan
: C). Karena adanya motif-motif tertentu, si C tidak disebutkan (karena umpamanya dlaif
atau tidak kuat hafalannya oleh si A tersebut. Kemungkinan yang kedua ini biasa
dilakukan oleh Mudallis. Karena kegelapan inilah hadits Mu’an’an dihukumi
dhaif.
C.
CONTOH HADITS MU’AN’AN
حدثنا محمد بن يوسف قال أخبرنا سفيان عن الأعمش عن أبي وائل عن
ابن مسعود قال
: كان النبي صلى الله عليه
و سلم يتخولنا بالموعظة في الأيام كراهة السآمة علينا
[ 70 ، 6048 ]
“Telah memberitakan kepada kami Sufyan dari Al ‘Amsy, dari
Abu Wa-il, dari Ibnu Mas’ud , ia berkata : Adalah Nabi Saw., selalu
memilih waktu yang baik untuk memberikan pelejaran kepada kami karena beliau
takut kami menjadi bosan terhadap pelajaran-pelajaran itu” (H.R. Bukhari).[8]
Dari sanad tersebut tampak bahwa Sufyan,
Al ‘Amsy dan Abu Wail memakai kata-kata ‘an. Tetapi karena semua perawi
tersebut orang yang dapat dipercaya dan Imam Bukhari sendiri mensyaratkan bahwa
rawi yang satu dengan yang lain harus bertemu muka (Liqa’), maka hadits
tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits shahih
(اَبُوْ دَاوُد) حَدَّ ثَنَا عبد الله بن محمد النفيلىٌّ ثنّا
محمّد بن سلمة ثنَّا محمّد بن اسحاق عن مكحولٍ عن محمود بن الزَّبيعِ عن عبادة ابن
الصَّامت قال : كُنَّا خَلْفَ رَسُوْلُ اللهِ ص م فِى صَلَاةِ الفَجْرِ فَقَرَأ
رَسُوْلُ اللهِ فَسَقُلَتْ عَلَيْهِ القِرَاَةُ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لعَلَّكُمْ
تَقْرَؤُنَ خَلْفَ اِمَا مِكُمْ قُلْنَا نَعَمْ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ :
لاَ تَفْعَلُوْا اِلَّابِفَا تِحَةِ اْلكِتَابِ فَاِنَّهُ لَا صَلاَ ةَ لَمْ
يَقْرَأْبِهَا. (علم الحديث)
“(Abu Dawud berkata) : Telah menceriterakan
kepada kami, Abdullah bin Muhammad An Nufaily, telah menceriterakan kepada
kami, Muhammad bin Salamah,dari Muahammad bin Ishaq, dari Mak-hul, dari Mahmud
bin Rabi’, dari Ubadah bin Shamit, ia berkata : Kami pernah shalat fajar di
belakang Rasulullah Saw, Rasulullah membaca, tetapi bacaan itu itu menjadi
berat atasnya. Tatkala selesai, ia bertanya: Barangkali kamu membaca di
belakang imam kamu ? Kami menjawab : Benar ya Rasulullah ! Nabi Saw. bersabda
pula : janganlah kamu kerjakan (yang demikian itu), melainkan pembacaan
fatihatul kitab, karena sesungguhnya tidak shah bagi orang yang tidak
membacanya” (Lihat Ilmu Hadits 1: 112).[9]
Dalam sanad tersebut di atas, terdapat
Muhammad bin Ishaq dari Mak-hul, dari Muhammad bin Rabi’. Sedangkan Muhammad
bin Ishaq dan Mak-hul adalah termasuk mudallis. Lagi pula tidak ada keterangan
lain yang menegaskan bahwa Muhammad mendengar sendiri Mak-hul dan Mak-hul
mendengar dari Mahmud. Oleh karena itulah hadits Mu’an’an di atas dianggap dlaif dan tidak boleh
dipakai.
D. BENTUK KUALITAS HADIS DARI RAWI MUDALLIS
Sebelum kita membahas tentang bentuk kualitas hadis dari rawi yang mudallis
kita harus mengerti pengertian hadis mudallis itu sendiri. Kata “tadlis” secara
etimologi adalah isim maf'ul dari ,(دلّس- يدلّس- تدليسا) yang artinya
menutupi aib dari pedagang[10]
Menurut Syaikh Mana' Al-Qaththan secara
istilah adalah menyembunyikan aib dalam
hadits dan menampakkan kebaikan pada dzahirnya.[11]
Menurut Drs. Fatchur Rachman, secara
istilah adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa
hadis itu tiada noda.[12]
Adapun menurut
terminologi, yaitu:
“Apabila seorang periwayat meriwayat kan (hadits) dari seorang guru yang
pernah ia temui dan ia dengar darinya, (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu)
tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang
mengandung makna mendengar, seperti ‘dari’ atau ‘ia bekata’.”[13]
“Menurut Syaikh Mana' Al-Qaththan
secara istilah adalah menyembunyikan aib
dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dzahirnya”[14]
Mudallis adalah rawi yang meriwayatkan
(mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnyanamun
kali ini hadis itu tidak diterima darinya. Dan dalam penyampainnya, ia
menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya.
Seperti kata-kata ‘an fulan, qala fulan.[15]
Para
muhaddisin mempunyai
perhatian yang besar dalam ilmu hadis. Maka dari itu, para imam menyusun kitab
khusus yang membahsa nama-nama mudallisin, diantaranya;
1.
Al-tabyin fi Asma’ al-Mudallisin karya al-Burhan al-Halabi
al-Hafidh
2.
Ta’rif Ahli al-Taqdis bi maratib al-maushufin bi al-tadlis karya
Ibnu Hajar. Kitab ini paling klengkap dan banyak memuata jumlah mudallis, yakni
sebanyak 152 orang.
Pernyataan
tersebut sekaligus mendebat pendapat Dr. Shubhi Shalih, bahwa “Alangkah
sedikitnya orang yang selamat dari melakukan tadlis.” Kalimat tersebut sangat
berlebih-lebihan dan menjadi suatu fanatisme yang tidak berlandaskan bukti
ilmiah. [16]
1. Pengelompokan Mudallisun
Mudallis
yang dimaafkan adalah mereka yang tsiqah (dapat dipercaya) dan jarang melakukan tadlis, dengan catatan setiap muhaddis mengetahui bahwa
hadis yang didapatkannya adalah hadis shahih, bukan hadis yang ditadliskannya.
Para
imam juga memaafkan
mereka karena ia tidak melakukan tadlis terhadap rawi yang tsiqah, seperti
al-Imam al-Kabir Sufyan bin ‘Uyainah.
Mudallis
yang tsiqah dan
banyak melakukan tadlis terhadap para rawi dhaif dan majhul (tidak
diketahui), seperti Baqiyyah bim al-Walid al-Himmashi. Hadis para rawi
tersebut tidak dapat dipakai hujjah kecuali bila ia menyatakan bahwa ia
mendengar langsung.
Sebagian
mudallis
adalah para rawi yang dlaif, maka hadis mereka tidak dapat dijadikan hujjah
meskipun mereka mendengar langsung. Dan dengan melakukan tadlis, berarti bertambah dlaif, seperti ‘Athiyyah al-‘Auti.
2.
Macam-macam Tadlis
Pertama, Tadlis
Isnad; Tadlis Al-Isnad adalah
أَنْ ْيَرْوِيَ الرَّاوِي عَمَّنْ لَقِيَهُ مَا لَمْ
يَسْمَعْه مِنْهُ مُوْهِمًا سَمَاعَه
Seorang perawi meriwayatkan suatu hadis yang ia tidak
mendengarnya dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan
dugaan bahwa ia mendengarnya.
Tadlis al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan
sebagian hadis yang telah ia dengar dari seorang syaikh, tetapi hadis yang di tadlis-kan
ini memang tidak mendengar darinya, ia mendengar dari syaikh lain yang
mendengar daripadanya. Kemudian syaikh lain ini digugurkan dalam periwayatan
dengan menggunakan ungkapan yang seolah-olah ia mendengar dari syaikh pertama
tersebut. Seperti kata qala Fulan = berkata Fulan atau ‘an Fulan =
dinukildari si Fulan. Tidak dengan ungkapan periwayatan yang
tegas, seperti haddatsani = memberitakan kepadaku atau sami’tu = aku
mendengar, maka ia dihukumi pendusta.
Contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi,
dan Ibnu Majah melalui jalan Abu Ishaq As-Syuba’I dari Al-Barra bin Azib R.A
berkata: Rasulullah S.A.W bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ
إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Tidak ada dari dua orang muslim yang bertemu kemudian
bersalam-salaman, kecuali diampuni bagi mereka sebelum berpisah.
Abu Ishaq As-Subay’i nama aslinya Amr bin Abdullah, ia
seorang tsiqah, tetapi disifati mudallis. Ia mendengar
beberapa hadis dari Al-Barra bin Azib, tetapi dalam hadis ini, ia tidak
mendengar daripadanya secara langsung, ia mendengar dari Abu Dawud Al-Ama yang matruk
hadisnya, kemudian meriwayatkannya dari Al-Barra bin Azib dan
menyembunyikan Abu Dawud Al-Ama dengan ungkapan ‘an’anah = dari
(sanad-nya menggunakan kata ‘an = dari).
Kedua, Tadlis Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang
diriwayatkan hadits-nya dengan identitas yang tidak masyhur baginya, baik
dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah. Hal itu dilakukan karena kedha’ifannya
atau karena kemajhulannya, dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya
guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam
Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ
مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى
ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ
بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في
طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan
kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu
Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia
menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadits tentang talak
tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin
Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan
riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia
telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya,
lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para
ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan
tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu
Juraij pada hadits ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk.[17]
Al Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadits” Ibnu Ma’in berkata,
“Tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata, “haditsnya sangat munkar, dan
ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama
gurunya pada riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak (2/491), dari
Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis
syaikh. Bentuknya, seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan
kepadaku Al Bukhari”, yang dimaksudkan dengan kata Al Bukhari adalah orang yang
menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh Al Baghdadi, “telah
menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai
Tigris. Atau Al Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadits di Andalus” yang
dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan,
“Fulan dan fulan mengajarkan hadits kepadaku”, padahal ia hanya
mendengar dari orang yang pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadits dari
orang yang kedua.
Contoh, Hadits yang disebutkan oleh Al
Hakim di dalam ‘Ulum Al Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim
–salah seorang rawi yang disebut-sebut telah melakukan tadlis–
pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak akan mengambil hadits yang ditadliskan
oleh Hasyim. Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata
dalam setiap hadits yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan
kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka,
“Apakah aku telah mentadliskan riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka
menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu
huruf pun dari apa yang aku sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain
menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadits mengatakan haddatsana
(telah mengajarkan hadits kepada kami) atau sami’tu (aku telah
mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan
kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu
Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadits dari Hisyam.
Contoh, hadits yang disebutkan oleh
Ibnu Adi di dalam Al Kamil fi adh-Dhu’afa’. Dari Umar bin Ubaid
ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan kepada
kami)” kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan,
Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu seolah-olah
Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak pernah
menerima hadits darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang
paling buruk. Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang
bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedha’ifannya
atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadits tampak diriwayatkan oleh rijal
yang siqah dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini
adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal
yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah Al Walid bin Muslim
dan Baqiyah bin Al Walid.
Pada pendapat lain di buku Muhammad alwi Ilmu Ushul Hadits menyebutkan bahwa hadits Tadlis
Isnad terbagi menjadi [18]:
1.
Hadits Tadlis Qatha’
2.
Hadits Tadlis Taswiyah
3.
Hadits Tadlis ‘Athaf
Jadi 2 bagian di atas yaitu Taswiyah dan Athaf merupakan bagian dari
tadlis isnad bukan dari bagian sendiri.
E.
HUKUM ‘AN‘ANAH SEORANG MUDALLIS
Secara umum[19] seorang
mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa
riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’
(mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan
menerima hadits secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya,
yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya
ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan
suatu hadits. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan haditsnya
dan menguji riwayatnya.
Para rawi
yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa
tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan
mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
a) Orang
yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin
Sa’id Al Anshari
b)
Orang yang tadlisnya ringan, dan haditsnya masih
disebutkan di dalam kitab Ash Shahih karena keimamannya di satu sisi dan
sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti
Sufyan bin Uyainah.
c)
Orang yang haditsnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah
mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila
dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya
selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa haditsnya itu telah ditadliskan,
seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi[21] dan Abu
Ishaq as-Sabi’i
d)
Orang yang disepakati oleh ahli hadits untuk tidak berhujjah
dengan haditsnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena
banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti
Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
e)
Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis,
yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, haditsnya tertolah meskipun
diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab Al Kalbiy dan Abu Sa’id Al
Biqal
2.
Motivasi Mudallis Untuk Mentadlis
a)
Motivasi yang mendorong tadlis syuyukh
ada empat, yaitu:
1)
Lemahnya syaikh atau tidak tsiqah.
2)
Meninggalnya lebih akhir dibandingkan dengan guru-guru lain yang sekelompok.
3)
Usia syaikhnya lebih muda dibandingkan dengan perawi yang
meriwayatkan haditsnya.
4) Banyak
riwayatnya untuk mengesankan gurunya banyak, sementara ia tidak suka
menyebut-nyebut nama gurunya dengansatu bentuk.
b)
Motivasi yang mendorong tadlis isnad ada lima, yaitu:
1)
Supaya dikira derajat sanadnya tinggi.
2)
Terlewatinya bagian hadits yang berasal dari syaikh yang
didengarnya, karena banyaknya.
3)
tiga motivasi pertama yang terdapat pada tadlis syuyukh.
3.
Sebab-sebab Cacatnya Mudallis
a)
Diragukannya mendengar dari syekh yang belum pernah ia
dengar.
b)
Sengaja menutup-nutupi suatu perkara yang disembunyikan.
c)
Diketahui bahwa jika menyebutkan hadits yang ditadliskannya,
maka ia tidak disukai.
4. Hukum Riwayat Mudallis
Para ulama berbeda pendapat menerima
riwayat mudallis. Akan tetapi pendapat yang masyur ada dua:
a)
Riwayat mudallis tertolak secara mutlak meskipun jelas-jelas
mendengar. Karena perbuatan tadlis itu sendiri merupakan perbuatan yang cacat
(pendapat ini tidak bisa dijadikan sebagai pegangan).
b)
Perlu dirinci lebih dahulu (ini pendapat yang shahih):
1)
Apabila jelas-jelas mendengar, maka riwayatnya diterima;
yaitu jika berkata sami’tu (aku telah mendengar) dan yang sejenisnya, haditsnya
diterima
2)
Apabila tidak jelas mendengar, maka riwayatnya tidak bisa
diterima; yaitu jika berkta ‘an (dari) dan sejenisnya, haditsnya tidak bisa
diterima.[22]
5.
Cara
Mengetahui Tadlis
a.
Pemberitahuan dari
mudallis itu sendiri, apabila
misalnya dia ditanya. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu ‘Uyainah.
b. Penetapan
salah seorang imam (hadits) yang didasarkan pada pengetahuannya yang diperoleh
melalui kajian dan penelusuran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
PENGERTIAN KAIDAH RIWAYAT ‘AN’ANAH
‘An’anah adalah menyampaikan hadits
kepada rawi lain dengan lafaz ‘an (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak
mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila
digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
2.
HUKUM SANAD YANG MEMAKAI KATA ‘AN
Para Ulama berbeda pendapat tentang
hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an, yaitu dari Jumhur ulama dapat dianggap mutashil (Bersambung)
dengan syarat hadits itu selamat dari tadlis, dan ibnu shalah bertemu muka tersebut merupakan
keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi baik
3.
CONTOH HADITS MU’AN’AN
“Telah
memberitakan kepada kami Sufyan dari Al ‘Amsy, dari Abu Wa-il, dari Ibnu Mas’ud
, ia berkata : Adalah Nabi Saw., selalu memilih waktu yang baik untuk
memberikan pelejaran kepada kami karena beliau takut kami menjadi bosan
terhadap pelajaran-pelajaran itu” (H.R. Bukhari).
4.
BENTUK KUALITAS
HADIS DARI RAWI MUDALLIS
Mudallis adalah rawi yang meriwayatkan
(mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnyanamun
kali ini hadis itu tidak diterima darinya. Dan dalam penyampainnya, ia
menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya.
Seperti kata-kata ‘an fulan, qala fulan
Macam-macam Tadlis
Pertama, Tadlis Isnad, Kedua, Tadlis Syaikh, Ketiga, Tadlis Bilad; , Keempat, Tadlis
‘Athf, Kelima, Tadlis as-Sukut. Keenam, Tadlis Taswiyah.
5.
HUKUM ‘AN‘ANAH SEORANG MUDALLIS
Secara umum seorang mudallis yang
banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah,
dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar) maka
periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits secara sima’
maka riwayat itu dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Al Qaththan, Syaikh
Mana', Terjemah Mabahits fi 'Ulum Al Hadits.
alwi.Muhammad 2009. Ilmu Ushul Hadits.Yokyakarta. Pustaka Pelajar.
Anwar, Moh.1981. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya. Al Ikhlas.
Asrori, M.Mizan. 1989. Mustholah Hadits. Surabaya. Al-Ihsan.
Hassan, A. Qadir 1983. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung. Diponegoro.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul
Hadits. Jakarta. Amzah.
Novia,Windy. Tth. Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia .Surabaya. Kashiko.
Nuruddin ITR. 1994 ‘ulum
al-Hadis. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang. Lentera Hati.
Thohhan,Syaikh Mahnud Ath. Taisir
Mushtolah Al Hadits.
Triyasyid Nuruddin, Hadits Mudallas.
B.
Internet
Ibnuumarbgr.Wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits diakses tanggal 01.11.2016
http://studi-ilmuislam.blogspot.com/2016/08/hadits-mudallas.html diakses tanggal
01.11.2016
http://alquranmulia.wordpress.com/2013/05/20/hadits-mudallas/diakses 01.11.2016
[1]Windy Novia, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko), h. 247
[3] Ibid
[7] Moh. Anwar , Ilmu
Mushthalah Hadis, (Surabaya: Al Ikhlas,1981), h. 175
[8] Ibid.,
h. 176
[10]Triyasyid Nuruddin, Hadits Mudallas.
[11] Syaikh Mana' Al Qaththan, Terjemah Mabahits fi 'Ulum
Al Hadits, h. 139.
[12] Definisi ini disusun oleh Drs. Fatchur Rachman, Dosen
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Kalijaga” Yogyakarta. Para ahli hadis
tidak banyak mendefinisikan hadis mudallas ini secara khusus. Fatchur Rachman,
ilmu Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1991), Cet Ke-7, h. 187.
[19] Adapun secara terperinci, pembahasan tentang ‘an‘anah
seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan yang berbeda-beda, saya telah
menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu
Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah merujuk ke sana.
[20] Ta’rif Ahli at-Tadhis Bimaratib al-Muwashsahafin bi
at-Tadhis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan ittikhaf dawi ar-Rasukh biman rumiya
bi at-Tadhis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah Syaikh Hammad bin Muhammad
al-Anshari, h.10.
[21] Terdapat perbedaan pendapat tentang
beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala
al-Alsinah al-Wafidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar